Dewa Penyelamat Itu Daffa

1062 Words
Meja itu sudah terlihat bersih, tidak ada lagi buku yang bertumpuk tidak jelas, juga alat tulis yang kacau ada dimana-mana. semuanya sudah dibereskan oleh Luna. Hingga sesaat kemudian dirinya sadar kalau kelas sudah begitu sepi. Tidak ada siapa-siapa. Ditambah lagi, pintu kelas dalam keadaan sudah tertutup. Saat itulah, firasatnya tiba-tiba tidak enak. Luna mulai berjalan menuju ke arah pintu. Saat itulah, instingnya benar. Pintu tersebut ternyata tidak bisa dibuka. “Apa!” Luna bingung harus apa. Ia pun mengetuk pintu itu dengan sangat keras, berharap ada siapa saja yang kemungkinan lewat dan bisa menolongnya. “Kok nggak bisa dibuka sih? Gimana dong ini?” Luna semakin bingung karena, saat dilihat jam di pergelangan tangannya. Ternyata sudah berlalu hampir tiga puluh menit, sejak bel berbunyi. Mungkinkah ada orang yang lewat. Atau dirinya harus menunggu lagi, dan terus mengetuk agar kalau ada orang yang lewat mendengar dan tahu kalau di dalam kelas ini ada orangnya. “Ya Allah … kok makin kesini malah begini sih! AKu udha susah oayah buta hidu ini smenenyenakngkan mungkin. Tapi …!” Luna menyadari kalau ini semua pasti sudah direncanakan Mellya. Entah mengapa malah semakin menjadi saja saudara tirinya itu untuk menjadi pengganggu. ‘Mell! Salah aku apa sih?’ Luna sudah mengetuk, bahkan memukul daun pintu kelasnya dengan sangat keras. Namun, memang kebetulan sudah tidak anak-anak. Sialnya lagi, hari semua kegiatan ekstrakurikuler juga diliburkan. Karena guru pembimbing sedang mengikuti seminar di luar kota. Sepasang kaki Luna mulai lemas. Ia merasa berat seketika. Dalam hatinya mencaci Mellya. Ingin rasanya cacian itu dilayangkan tepat di wajah Mellya. ya, mungkin sudah waktunya kesabaran ini ada batasnya. Sekali lagi, sambil merasakan kedua kaki lemasnya. Luna berusaha lagi mengetuk pintu dengan tenaga secukupnya. Ia hanya berpikir sesuatu paling buruk yang bisa terjadi. Kalau dirinya mungkin saja akan terkunci sampai malam nanti. “Hey, bantu buka pintu dong! Siapa pun yang lewat, tolong aku!” ucap Luna lirih. Ia kemudian memutar tubuhnya, menyandarkan punggung lelahnya di dinding pintu. Lalu menatap isi kelas yang kosong. “Sepi banget!” ‘Di saat seperti ini, aku mesti bayangin, kalau aja ada pintu kemana saja!’ batin Luna mengingat hal yang bisa jadi jalan keluar. Luna kemudian ingat kalau dirinya bawa ponsel. Tapi, di dalam kelas, ponselnya selalu tidak ada sinyal. Kedua kakinya mulai ditekuk dan dipeluk dengan kedua tangannya. Luna benar-benar menyerah. Mungkin sudah nasibnya terkunci di dalam kelas hari ini. Berharap saja dirinya tidak akan ketakutan kalau memang harus bermalam. ‘Tidak akan ada apa-apa. Kelas ini aman dari hantu! Lagian bukannya manusia itu lebih menyeramkan dari bangsa mereka.’ masih saja Luna bicara sendiri dengan hatinya. Sementara itu, beberapa menit yang lalu. Mellya sudah keluar dari sekolah. Tampak Mellya menuju mobil daddy-nya, dan tidak lama setelah itu, mobil tersebut meluncur. Pergi meninggalkan sekolah SMA Pelita. Ternyata Daffa sejak tadi memperhatikan mobil yang dia tahu, kalau itu mobil yang biasanya mengantar Luna pulang. Ia sengaja menyuruh sopirnya dulu untuk tidak menyalakan mesin mobil, dan berhenti sejenak di salah satu sisi jalan untuk melihat, apakah Luna akan pulang bersama dengan Mellya seperti biasanya, atau tidak. Ia menunggu dengan sabar. Entah mengapa hati Daffa mengatakan, seperti akan terjadi sesuatu. Hingga sepasang matanya berhasil melihat Mellya keluar gerbang sekolah sendirian. Lalu tidak lama setelah itu, mobil yang ditumpanginya malah berjalan, melaju menjauh dari sekolah. ‘Mana Luna. Kok mobilnya nggak nungguin Luna sih!’ Cemas langsung merajai isi harti Daffa. Ia pun lekas saja turun dari mobil dan memeriksa kelas dimana dirinya terakhir kali melihat Luna disana. Berjalan cepat, Daffa bahkan berlari. Ia lekas menuju kelasnya dan kaget melihat ada sapu yang berdiri miring menyangga knop pintu agar tidak bisa diputar. “Apa-apaan ini?” gumam Daffa, dan langsung mengambil sapu tersebut, lalu dijatuhkan begitu saja. Daffa pun langsung masuk dan mencari apa ada seseorang di dalam kelas. Saat itulah dia menengok ke bawah sisi kanannya, dan ada Luna. “Luna!” Daffa melihat Luna duduk bersimpuh bersandar di dinding. Luna seperti melihat dewa penyelamatnya. Tanpa basa-basi, Luna langsung memeluk sambil mengatakan sesuatu. “Makasih Daff! Makasih kamu udah baik lagi ke kelas! Aku takut! Meski aku terbiasa sendiri, tapi aku tetap takut!” ucap Luna yang seperti sudah pasrah kalau harus menginap di kelas. Daffa menghela nafas lega. Ia pun membalas pelukan Luna. “Aku akan jagain kamu kok! Nggak usah takut ya!” Baru sadar setelah itu, kalau Luna terbawa perasaan. Ia pun lekas menarik tangannya. Lalu menatap Daffa. ‘Apa yang udah aku lakukan barusan. Bisa-bisanya aku malah peluk dia. Hah …!’ batin Luna. Luna segera mengambil jarak satu langkah mundur lalu menundukkan wajah untuk bersikap sopan. “Minta maaf. Ah! Maksud aku terima kasih!” “Sama-sama, udah kenapa malah formal gini sih, cara bicara kamu!!” Daffa tersenyum satu sisi. “Ehm …, kalau kamu masih takut, terus mau peluk lagi juga nggak papa!” Luna jadi tersenyum tidak beraturan. “Takutnya udah ilang kok!” sahut Luna seolah sudah tidak apa-apa. Padahal hatinya meracau mengomeli diri sendiri yang sembrono. Ah, bisa dibilang ambil kesempatan dalam kesempitan dirinya tadi. Lagipula Daffa terlalu wangi untuk dipeluk terus menerus, bisa overdosis parfum Daffa Luna nanti. “Balik yuk!” ajak Daffa. “Apa! Balik? Emangnya kamu nggak ada yang ketinggalan?” tanya Luna. Ia masih menutupi kegugupan hatinya karena insiden terbawa perasaan barusan. “Nggak ada!” “Terus kenapa kamu balik ke kelas?” “Iya, kalaupun kamu tanya, apa nggak ada yang ketinggalan. Mungkin jawabannya kamu. Kamu yang ketinggalan!” Luna semakin bingung. ‘Bicara apa sih dia?’ batin Luna bertanya. “Kenapa kamu nggak percaya? Buktinya aku balik lagi ‘kan ke dalam kelas buat cari kamu!” Daffa sekali lagi membuat penjelasan. “Gitu ya!” “Ya iyalah! Udah yuk balik!” Sampai di depan gerbang sekolah, Luna malah menghentikan langkah. Ia melihat ke sisi jalan manapun, tidak ada mobil yang biasa dirinya tumpangi. “Kamu antar pulang aja, kebetulan Mellya udah balik duluan!” “Apa! Kamu kok tau!” “Tahu aja, soalnya tempe itu kadang terlalu jual mahal.” Daffa mulai garing. “Apa, maksudnya tahu, mengetahui Daff!” Luna menatap kesal. “Ih … ketawa dong! Udah susah bikin guyonan, kenapa malah ditanggepin serius sih! Aku tadi ‘kan bercanda!” “Abis candaan kamu garing, kayak jemuran tiga hari tiga malam nggak diangkat.” “Ih kok malah kamu sih Lun yang lucu.” Daffa lekas senyum tidak jelas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD