Makan siang Dengan Om Ferdi

1038 Words
Memangnya bisa apa seorang Luna dalam kehidupan ini. Ia hanya sekeping koin yang jatuh dan menggelinding, berhenti di atas permukaan tanah yang siap diinjak siapa saja. “Ah …! Koin kan ada yang terbuat dari emas. Yang disimpen di kotak perhiasan mewah dan dipajang di etalase penuh cermin yang megkilat kena lampu,’ gumam Luna. Ia merasa kesuntukan yang harus dirasakan dari hari ke hari semakin lama semakin parah. Halusinasi itu sekana menyurh Luna bicara sendiri. Berntung kondisi kelas sedang sepi. Semenjak insiden perutnya yang sakit, Luna terus terbayang wajah Om Ferdi. Pria itu sebenarnya cukup rupawan. Bagi wanita dewasa semacam ibunya, tentu saja orang lain akan bilang. Kalau ibunya punya selera tinggi. Ditambah Om Ferdi juga punya mobi mentereng. Jelas ada merk yang erkenal dengan nilai oajak tinggi. Luna jadi penasaran, apa sebenarnya pekerjaan Om Ferdi. “Kenapa aku jadi mikirn dia!” Luna membereskan tas. Masih ada dua menit lagi sebelum jam pulang berbunyi. Tidak berselang lama, anak-anak yang menempati kelas bersama Luna muncul satu per satu. Tampaknya mereka baru saja menghabiskan waktu di kantin. Begitulah kondisi temannya yang punya uang. “Eh Lun! Dari tadi Lu di dalam kelas aja! Cecian! Mlarat amat sih hidup lu!” Nawang terysneyum puas. Ia lalu membuka bungkus snack berwarna coklat tua, dengan gambar kentang di depannya. Membukanya di hadapan Luna. “Gue yakin deh, lu nggak bisa beli ginian!” Nawang tertawa puas. Ia bahkan makan makanan itu dengan begitu berisiki. “Cara makan lu kayak orang katro! Berisik!” “Bialang aja lu pengen!” “Enggak pengen sama sekali, kebanyakan micin, bikin otak beku kayak beruang hibernasi. Bawaanya pengen molor aja.” Nawang meremas bungkus makanannya. “Emang lu paling pinter ngeles. Iri bilang! Lu kan nggak pernah beli ginian. Sekolah aja jalan kaki! Ya, keculai pas lu dijemput sama dua teman kaya kamu yang sekolah di SMA Pelita!” Luna diam, dan tak lama bel sekolah berbunyi. Ia un bersiap membawa tasnya. Sedangkan Nawang merasa makanannya sudah habis. Ia melihat bingkusnya telah kosong tidak berisi. “Eh Lun! Tunggu dulu!” Nawang yang melihat Luna akan pergi, menarik tas ranselnya dan membuka resleting tas tersebut. “Tas ini mirip tempat sampah, jadi bungkusnya aku buang sini ya! Bener nggak sih? Iya kok! Iya kan, ini tas mirip tempat sampah yang udah digigitin tikus. Lihat aja! Tu banyak lubang lho!” Nawang meminta bantuan teman sekelasnya. Tentu saja mereka yang notebanenya lebih membela Nawang, akhirnya ikut serta untuk setuju terhadap omongan Nawang, dan ikut tertawa puas. ‘Nyebelin!’ batin Luna dan segera pergi dari kelasnya. Dengan gusar dan langkah kaki yang menghentak ke bumi. Rasanya ada emosi yang tersalur di tiap hentakan kaki tersebut. Luna tidak bisa tersenyum, bahkan kalau ada yang akan bilang jika wajahnya seperti anakonda. Ia pun pasrah. Dirinya memang tempat paling tempat untuk dihina. Pagar sekolah yang dibuka lebar, terlihat semrawut dengan liarnya anak-anak yang menyerobot, cepat-cepat ingin segera pulang. Luna melaluinya, hanya bisa memasang wajah kosong dan membiarkan dirinya ditabrak banyak manusia. Ia tahu ini haru selasa. Tentu kedua temannya juga tidak datang karena harus ikuti kegiatan ekstra kurikuler di sekolahnya. Saat langkah sudah sampai di trotoar jalan. Luna masih memasang kedataran di wajahnya. Ia bahkan tidak ingat kalau di tasnya masih ada sampah bungkus makanan dari Nawang. “Luna ….!” “Lun …!” sesorang memanggil tapi karena pikiran Luan yang melayang di langit, panggilan dari manusia bui pun tidak terdengar sama sekali. Orang yang memanggil Luna itu terpaksa berlari kecil, menyela dan menyalip kerumunan siswa yang juga pulang siang itu. “Luna!” Sambil terus memanggil nama tersebut. Berharap Luna segera berbalik tubuh dan sadar kalau ada seseorang yang sedang memngejar. Hingga langlah kaki orang itu sudah begitu cepat dan sampai tepat di belakang tubuh Luna. Berhasil tangannya menggapai pundak Luna. “Luna!” Luna sdar ada seseorang yang memegangi pundaknya. ia pun berbalik, dan ternyata. “Om Ferdi, Om ngapain kesini?” Ferdi tdak mengira kalau gadis kecil di hadapannya bisa menyebut namanya. Ia kira Luna akan bertindak tidak sopan. “Om, pengen ngajak kamu makan siang! Gimana?” Suasana hati Luna sedang tidak bagus, ia kira mungkin makan siang di kafe bisa membuat perasaannya jadi baik. Namun, di uar dugaan. Om Ferdi bukannya mengajak Luan makan siang di kafe sejenis coffe shop atau kafe pinggiran. Malah emnagjaka dirinay makan makanan laut di restoran yang menunya saja tidak ada yang dibawah seratys ribu. ‘Nggak salah, nggak takut bangkrut apa ini orang!’ batin Luna. Ia berusaha tidak tegang meski pikirannya langsung dipenuhi oleh daftar menu makanan yang ada. *** Tobi yang sedang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah bersama dengan Rena. Akhirnya ingat sesautu. Ingat tentang mobil yang teraprkir di depan rumah Luna. “Ren!” panggil Tobi. “Apa!” Rena hanya berani menjawab dengan berbisik. “Mobil yang ada di rumahnya Luna kemarin itu lho!” “Kinipi sih?” gemas Rena, karena masih saja diajak bicara oleh Tobi. Padahal guru yang mengajar kegiatan ekstrakurikuler siang ini terkenal killer dan mematikan cara bicaranya. “Itu mobil Pak Ferdi nggak sih! Yang biasanya ikut upacara pembinaan leadership.” Rena coba mengingat. “Eh! kayaknya iya! Wuih kalau itu beneran mobil pak Ferdi, Luna bisa minta disekolahin disini dong!” Rena semangat dan tanpa sengaja malah mengeluarkan suara yang keras. Membuat guru siang itu menoleh padanya. “Rena Anggita Salasabilah! Kamu mau pulang lebih awal dari kelas saya?” ucap Pak Sius, sosok guru seni yang mengajarkan seni lukis, sedang menjelasakan apa saja media lukis yang sedang dikembangkan di dunia saat ini. Rena tersenyum takut. Ia hanya berani menjawab dengan gelengan kecil. “Berhenti bicara dan dengarkan omongan saya!” tegas Pak Sius memebri perintah. Sementara itu makan siang di restoran seafood itu ternyata berakhir bahagia. Luna sudah akan pulang, namun tas yang dipakainya sedikit menggangu pemandangan bagi Om Ferdi. “Lun! Tas kamu bagus banget, punya nilai seni tinggi. beoleh Om beli nggak?” “Tas ini jelek banget Om, mana mungkin punya nilai seni tinggi. Om jangan ngadi-ngadi!” “Apa ngadi-ngadi!” “Maksudnya mengada-ngada.” “Ah bahasa anak zaman sekarang! Tapi, Om serius.” “Terus kalau tas ini Om beli, aku pakai tas apa dong?” “Ya, beli tas baru aja!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD