bc

Platonic Marriage

book_age16+
4.0K
FOLLOW
17.7K
READ
dark
friends to lovers
tragedy
like
intro-logo
Blurb

Menikah dengan Seto, sahabatnya sendiri, awalnya Luna pikir adalah hal yang mudah. Mereka sudah berteman semenjak masih balita, dan tentunya sudah saling mengenal karakter masing-masing. Luna tidak berharap akan ada romantisme dalam pernikahan mereka dan murni menjalaninya sebagai hubungan platonis semata.

Nyatanya, layaknya sebuah cerita, masing-masing dari mereka punya premis tersendiri. Mereka melakoni pernikahan itu berdasarkan sebuah alasan yang hanya mereka sendiri yang tahu.

Perlahan-lahan mulai terungkap bahwa mereka mungkin tidak mengenal satu sama lain seperti yang mereka pikir sebelumnya. Keduanya menyembunyikan trauma masa lalu di balik topeng mahasempurna.

Ketika pada suatu hari premis yang mereka miliki ternyata saling berseberangan, akankah pernikahan tersebut bertahan?

chap-preview
Free preview
1. Telepathy
Tidak ada manusia yang bisa lari dari kehidupannya sendiri.   “Eh, saya dengar, kepala Biro Umum meninggal, ya?” “Innalillahi! Kapan, Bu?” “Tadi pagi. Katanya, sih, beliau terkena penyakit angin duduk.” “Baru dua hari yang lalu kami bertemu. Beliau terlihat sehat-sehat saja.” “Yah, namanya juga ajal, siapa yang tahu?” Luna mendengarkan celotehan beberapa rekan sekantornya yang membicarakan berita meninggalnya salah satu pejabat di instansi pemerintahan pagi itu. Jemarinya bergerak lincah membelai touchpad dan menggeser pointer ke tombol shut down. Ia mendinginkan laptop itu sebentar untuk berjaga-jaga agar layarnya tidak cepat rusak terkena sisa panas dari body laptop sebelum melipatnya dan memasukkannya ke dalam ransel. Bila dihitung-hitung, biaya untuk mengganti layar LCD tidaklah murah. Daripada menggantinya, mungkin lebih baik ia menabung sedikit lagi dan mempertimbangkan untuk membeli unit yang baru. Atau, syukur-syukur kalau ia mendapat jatah pengadaan barang dan jasa untuk para auditor tahun depan. Berbicara mengenai kematian, Luna sendiri pernah meminta malaikat maut mencabut nyawanya. Bukan hanya sekali, tetapi dua kali. Ia memohon sambil meratap putus asa. Namun, sama halnya dengan permintaan akan perpanjangan waktu hidup di dunia, meminta percepatan waktu kematian pun sama saja nasibnya. Kalau Tuhan belum berkehendak, sampai kau mengeluarkan air mata darah pun, permintaan itu tak akan pernah terkabul. Kecuali, kau memutuskan mengakhiri hidupmu sendiri dengan konsekuensi berada dalam keabadian di neraka j*****m. Sialan memang! “Akhir bulan ini, kamu ikut, kan, Na?” Tanpa Luna sadari, pembicaraan mengenai kematian itu telah beralih ke topik panas seputar liburan. Secepat itulah kematian seseorang terlupakan. Life goes on, begitu kata orang bijak. “Belum tahu, Bu. Lihat nanti dulu,” jawab Luna sembari memasukkan sisa berkas, lalu menutup resleting ranselnya. “Ikut aja kenapa, sih, Na? Kamu itu masih single, bebas dari t***k bengek urusan keluarga. Tiap kali ada tour kamu nggak pernah mau ikut,” timpal Bu Irma, Irban paling senior yang sebentar lagi memasuki usia pensiun. “Nggak enak ya, ngumpul bareng kita-kita?” “Eh, bukan begitu, Bu,” jawab Luna tak enak hati. Ucapan Bu Irma terdengar seperti sindiran halus di telinganya. “Nanti saya pikir-pikir dulu.” Bibirnya menyunggingkan seringaian canggung, sedangkan rekan-rekannya beralih membahas mengenai dress code yang cocok untuk dikenakan selama mengarungi Yogyakarta dan Jawa Tengah agar terlihat kompak dan serasi. Padahal kalau dipikir-pikir, keserasian itu nyaris seperti kepalsuan yang dipaksakan. Di luar mereka terlihat kompak, tetapi di kantor seringkali berselisih paham dan saling sindir.  Luna sendiri bukan tipe perempuan yang suka hangout dengan sesamanya. Ia cenderung lebih sibuk berurusan dengan kebisingan di dalam benaknya. Lagipula, apa tujuan mereka pelesiran ke sana? Memelototi candi Borobudur?  Satu-satunya tempat yang ingin ia injak di muka bumi, di mana ia rela menghabiskan seluruh uangnya hanyalah Machu Pichu. Ia sudah lama membayangkan menginjakkan kaki pertama kalinya di Lima, lalu terbang menuju Cusco sembari menikmati pemandangan Pegunungan Andes yang diselimuti kabut. Kakinya bahkan menggigil sendiri seolah-olah berada di puncak tertinggi Wayna Pichu yang berdiri angkuh menyerupai kerucut, memandang sisa-sisa peradaban manusia berabad-abad yang lalu sambil membayangkan seperti apa kehidupan bangsa Inca saat itu. Namun, jangankan bertualang ke Peru, sekadar membuat paspor untuk ke luar negeri pun, ia tak mampu. Hidupnya memang sekejam itu! Ia mengangkat ransel yang berisi laptop dan berkas-berkas kantor ke atas kepala. Kakinya tergesa-gesa turun dari kendaraan roda dua yang ditumpanginya. Ia menyerahkan beberapa lembaran rupiah pada pengemudi, lalu mulai berlari-lari kecil menghindari rintik hujan yang semakin rapat. Kakinya berjalan mengendap-endap menuju seorang pria yang sedang membungkuk memperbaiki motor dan membelakangi jalan. Pria berambut cepak itu mengenakan kaos buntung dekil berwarna hitam dengan celana jeans selutut yang sudah sobek di sana-sini. Sandal jepit yang dikenakannya juga menghitam akibat terkena oli bekas. Kedua tangannya pun sama. “Duarr!” pekik Luna tiba-tiba. Pria itu terlonjak kemudian memaki nyaring. “k*****t!”  Luna tertawa cekikikan seraya menjulurkan lidahnya. “Ngapain lo kesini?” Seto kembali mengalihkan pandangan pada objek yang sedang dikerjakannya. Ia mengambil kunci ringdan mengeratkan kembali mur yang longgar. “Ngecengin pacar.” Seto mendongak celingukan. “Pacar? Mana?” “Kan, elo pacar gue,” balas Luna seenaknya. Seto memasang ekspresi jijik. “Mimpi apa gue punya pacar kayak elo? Cantik enggak, seksi juga enggak!” “Jelek-jelek begini banyak yang naksir gue, lho.”  “Siapa yang sudi naksir elo?” Luna merengut tanpa menjawab sepatah kata pun. Kenyataannya, memang ada beberapa pria yang menyukainya, baik secara terang-terangan maupun diam-diam. Contohnya saja, rekan kerjanya sesama auditor. “Dasar perawan tua!” ejek Seto lagi. Ia kurang percaya ada pria yang naksir pada Luna. Walaupun wajah Luna terbilang cantik dan ayu bagi kebanyakan orang, baginya perempuan itu terlihat biasa saja. Luna tak pernah terlihat berkencan dengan siapa pun, malah terkesan menutup diri. Luna nyengir lalu menoyor kepala Seto. Bila orang lain yang mengatainya perawan tua, sudah sejak tadi ia bersungut-sungut dalam hati. Terkadang sambil menyumpah agar karma berbalik menghampiri orang tersebut, entah melalui anak-anak, keponakan, cucu, cicit dan sebagainya. Label tersebut sudah melekat padanya sejak lama, pemberian para tetangga julid, paling tidak menjelang ia berusia kepala tiga dan tidak kunjung menikah sampai sekarang. Luna meringis memegangi perutnya. Hujan semakin deras. Jam tangannya menunjukkan pukul setengah enam sore. “Gue mau pesan mie rebus, nih. Lo mau nggak?” tanya Luna pada Seto yang masih asik dengan motor pelanggannya.  “Boleh.” Ia beranjak ke warung sebelah dan memesan dua porsi mie rebus serta dua gelas es teh. Lumayan sebagai pengganjal perut sebelum ia sampai di kontrakan senja nanti. “Jangan pakai rawit, Mbak!” Seto berseru dari jauh pada pemilik warung. Ia tahu Luna memiliki riwayat sakit maag dan hanya cabe rawit yang tega membuat penyakit itu kambuh. “Lo yang traktir ya, To.” “Duit lo, kan, banyak,” sahut Seto sembari mencibir, “ASN!”  “Sejak kapan ASN punya duit banyak? Yang ada gaji gue pas-pasan Senin–Kamis.” “Masa, sih?” balas Seto sangsi. “Terus, kenapa lo mau jadi ASN?” “Paling nggak, di masa tua nanti gue dapat jaminan uang pensiun,” kata Luna sambil mengangkat bahu, lalu sibuk memeriksa ponselnya. Seto mendengus, tidak habis pikir dengan pola pikir kebanyakan orang yang berlomba-lomba menjadi pegawai pemerintah karena mengharapkan pensiun atau jaminan di masa tua, termasuk anggota keluarganya sendiri yang mayoritas merupakan pegawai negeri. Seto tiba-tiba termenung mengenang keluarga yang ia tinggalkan, atau lebih tepatnya, membuangnya dalam kurun waktu belasan tahun terakhir. Mereka memaksanya hidup terlunta-lunta di jalanan meski ia mengakui itu adalah buah dari kesalahannya sendiri. Namun tetap saja, ditinggalkan saat ia butuh dukungan dari orang-orang terdekat rasanya sangatlah buruk. Rindu? Ya, ia merindukan mereka. Terlebih ibu dan adiknya. Luna menepuk bahu Seto. “Lo kenapa?” “Nggak apa-apa.” Seto membereskan perlengkapan kerja ke tempatnya, lalu membersihkan tangan di kamar mandi. Luna menghela napas panjang. Ia tahu, setiap kali Seto termenung seperti tadi, sudah pasti Seto memikirkan keluarganya yang sudah pindah ke luar kota. Terakhir kali Luna mendengar mereka ada di Semarang. “Motor lo mana?” tanya Seto memecah keheningan. Ia mengambil tempat duduk di bangku kayu di samping Luna. “Rusak.” Luna menyeruput es teh, kemudian mengaduk mie di mangkok yang masih mengepulkan uap panas. Kelihatannya lezat sekali! “Lagi?” Kening Seto berkerut. “Bukannya kemarin sudah gue service?” Luna mengangkat bahu. “Makanya bayar utang, biar hidup lo berkah!” Luna tersedak. Ia menyambar gelas dan meneguk isinya cepat-cepat, setelah itu menepuk dadanya. “Utang apa?” “Tiap kali service di sini, lo nggak pernah bayar.” “Apa gunanya teman kalau masih bayar juga?” “Persis warga kebanyakan, maunya gratisan melulu. Lama-lama gue bisa bangkrut!” sindir Seto sembari memutar-mutar mie dengan garpu. “Tenang aja. Kalau lo bangkrut, gue temenin lo ke dukun.” “Ngapain?” “Minta wangsit. Atau belajar ngepet. Kan enak, nggak perlu kerja. Aduhh!” Luna memegang kepalanya yang ditoyor keras oleh Seto. “Sembarangan!” Luna tertawa.  “Anterin gue pulang, dong!” Luna menyandang tas setelah membayar makanan ke warung sebelah. Hujan sudah reda. Senja mulai turun. “Tadi lo ke sini naik apa?” “Ojol.” “Kenapa nggak langsung pulang?” “Males.” Seto menggerutu. “Nambah kerjaan gue aja!” “Ck! Pelit amat? Buruan, cucian gue banyak!” Seto memasukkan barang-barang ke dalam bengkel, kemudian menutup rolling door. Kebetulan kedua karyawannya libur. “Naik!” perintahnya pada Luna. Luna memasang helm lalu menaiki motor Seto. Di sepanjang jalan, keduanya bernyanyi tak karuan seperti orang gila yang tak punya beban hidup. Tidak peduli dengan pengendara lain yang memandang heran dari kejauhan. Seto membelokkan motornya ke dalam gang menuju kontrakan Luna. Luna turun dari motor dan membuka helm di kepalanya. Matanya setengah menyipit melihat seorang perempuan berhijab duduk di teras membelakanginya. “Itu siapa, ya?” tanyanya heran pada Seto. Seto mengangkat bahu. “Mana gue tahu? Tukang tagih utang barangkali? Lo pinjam uang atau ikut arisan?” “Nggak, tuh!”  “Mau gue temani?” Luna mengangguk. Seto ikut turun dari motornya dan menyejajari langkah Luna menuju teras. Perempuan itu seketika memutar tubuhnya mendengar suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Kepalanya terangkat. Senyuman tipis tersungging di bibirnya, diiringi dua bola mata yang berkaca-kaca. Seto mematung. Langkahnya terhenti tiba-tiba. “Ibu?”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
98.4K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.0K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.5K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook