“Saya terima nikah dan kawinnya Aluna Maisesha binti Alardi Malik dengan maskawinnya yang tersebut dibayar tunai.”
“Bagaimana para saksi? Sah?”
“Sah!”
Semua yang hadir mengucapkan syukur lalu menangkupkan kedua tangan ke muka mereka. Begitu juga dengan sepasang pengantin yang telah resmi menikah secara agama. Entah apa yang mereka syukuri. Bila ada yang bertanya, mungkin keduanya akan menunjukkan ekspresi bingung lalu menjawab dengan terbata-bata. Bergantinya status dari lajang dan duda menjadi kawin, misalnya.
Pernikahan itu memang terjadi begitu cepat dan serba mendadak. Umi Diah harus segera kembali ke Semarang. Pernikahan hanya digelar secara agama terlebih dahulu di sebuah masjid dekat kontrakan Luna, sedangkan peresmian secara negara akan diurus belakangan karena butuh waktu untuk melengkapi dokumennya.
Sebelum menjemput Farhan kemarin sore, Umi Diah menyeret Luna dan Seto ke sebuah butik untuk menyewa kebaya dan jas yang akan dikenakan saat ijab kabul. Luna hanya mengangkat bahunya ketika Seto bertanya mahar yang diinginkannya. Bukan waktu yang tepat untuk berdebat atau memilih. Ia menerima apa yang diberikan kepadanya bulat-bulat. Hal-hal receh seperti model kebaya dan sebagainya, juga bukanlah masalah besar baginya.
Sepasang pengantin itu saling melemparkan senyuman canggung. Seto memasangkan cincin kawin ke jemari Luna, begitu pun sebaliknya. Tak ada perasaan berbunga-bunga, apalagi getaran cinta dalam d**a. Semua terasa biasa saja. Bahkan, Luna ingin pingsan saja dan terbangun esok hari seperti biasa, tanpa harus menjadikan pernikahan itu menjadi nyata.
Ia gamang dan bingung. Benaknya berkecamuk. Berulang kali ia meremas jemarinya hingga terasa kebas.
Sedangkan Seto sendiri tidak tahu bagaimana cara mendeskripsikan perasaannya. Pernikahan pertamanya dulu berlangsung di usia delapan belas tahun. Alih-alih sakral, itu adalah sebuah peristiwa yang memalukan karena pacarnya telanjur hamil. Kedua orang tuanya menolak hadir, bahkan meninggalkannya.
Kini—kecuali ada sang ibu mendampingi—pernikahan keduanya tampak sama saja. Ia dan Luna menikah terburu-buru seperti pasangan yang ketahuan berbuat serong, lalu dinikahkan paksa demi menutupi malu.
Di samping Seto juga hadir Alfaraz, kakak kandung dari mantan gebetannya saat SMA, Fara. Seto meminta kesediaannya hadir sebagai saksi. Ia memang gagal menikahi Fara, tetapi hubungannya dengan Alfaraz tetap terjalin dengan baik. Al adalah sosok seorang kakak baginya. Pria itu berjasa besar mengubah hidupnya, menariknya dari gelapnya kehidupan sebagai preman jalanan dan menyokongnya saat merangkak, lalu perlahan melepasnya saat ia sudah mampu berdiri tegak.
“Terima kasih sudah hadir, Bang,” kata Seto menyalami Alfaraz. Ia ikut menarik tangan Luna dan memperkenalkan mereka berdua. “Saya minta maaf. Sewaktu Abang menikah, saya nggak bisa hadir karena ada touring di luar kota.”
Al tersenyum tipis, lalu menepuk bahu Seto. “Nggak apa-apa. Selamat ya, buat kalian berdua. Pernikahan itu bukan hanya berisi hal-hal yang menyenangkan, tapi juga riak dan gelombang. Jangan sering berantem. Bicarakan baik-baik kalau kalian punya masalah.”
“Iya, Bang.” Seto balas tertawa kecil, sedangkan Luna hanya mengangguk. “Abang datang sendirian?”
“Istri saya lagi bedrest. Kehamilannya cukup berat.”
Seto mangut-mangut. Tak lama kemudian, Alfaraz harus pamit. Al menyelipkan sebuah amplop terlipat ke tangan Seto.
***
Luna mengundang beberapa tetangga terdekat ke kontrakannya selepas magrib. Tidak banyak, mungkin sekitar sepuluh sampai lima belas orang. Katakanlah sebagai syukuran sekaligus mengumumkan pernikahannya pada lingkungan sekitar. Tidak lucu bila mereka tinggal serumah, lalu tiba-tiba ada yang datang menggerebek, bukan?
Hidangan yang tersedia, semuanya diatur oleh Umi Diah. Entah bagaimana beliau mempersiapkannya dalam tempo yang sangat singkat. Uang memang bisa melakukan segalanya.
“Terima kasih sudah hadir, Ibu-ibu dan Bapak-bapak sekalian,” kata Umi Diah memulai sambutan singkat sebelum seorang ustadz memimpin doa agar rumah tangga anaknya dilimpahi keberkahan.
Ketika menyalami Seto dan Luna, Bu Ani yang—terpaksa—turut diundang pun menyeletuk, nyaris seperti bisikan mengejek, “Kenapa mendadak sekali? Kamu telanjur hamil ya, Na? Sudah berapa bulan?”
Luna ternganga. Belum sempat ia menjawab, seorang perempuan lain menimpali dengan mata membulat. “Beneran kamu hamil, Na? Nggak nyangka, ya. Kami kira kamu perempuan baik-baik. Nggak tahunya ... ” Ucapannya menggantung lalu matanya singgah sebentar ke perut Luna.
Bisik-bisik tetangga itu pun pergi secepat kilat. Sepertinya, mereka juga tak butuh konfirmasi atau jawaban. Keesokan harinya, Luna yakin akan menjadi bahan gunjingan baru bagi para tetangganya.
“To!” Luna menyikut pinggang Seto dengan ujung sikunya.
Seto menoleh. “Hmm?”
“Kenapa lo diam aja, sih?” Luna berbisik. Raut wajahnya jengkel.
Seto balas berbisik. “Masa gue perang mulut sama emak-emak? Apa kata dunia?”
“Tapi mereka menuduh kita berbuat yang bukan-bukan, To!”
“Biarin aja, nanti juga capek sendiri. Yang penting, kita nggak seperti yang mereka tuduh, kan?” kata Seto memberi alasan. Ia tidak mau menjadi banci yang suka berdebat dengan para perempuan julid, hanya buang-buang waktu dan tenaga. Perempuan selalu benar, begitu teorinya dan semesta cenderung membenarkan teori tersebut.
Luna melotot. “Enteng banget jawaban lo, To? Lo nggak ada niat gitu, buat belain gue?”
“Terus, gue harus bilang apa? Bilang “jancok kalian semua!” begitu?” Seto lagi-lagi berbisik. “Lo, kan, tahu, gue udah tobat?”
Luna menggerutu dalam hati. Seto yang sekarang memang sudah jauh berubah. Kata-kata kasarnya sudah jarang terdengar. Bahkan kumpulan tato yang tersebar di berbagai bagian tubuhnya sudah dihilangkan dengan teknologi laser.
Tamu terakhir baru saja pergi. Luna bernapas lega.
***
“Ibu pamit dulu. Kalian baik-baik berumah tangga. Jangan sering berantem kayak anak kecil.” Diah memberi wejangan. “Maafkan Ibu, hanya bisa memberi pernikahan seperti ini buat kalian.”
“Nggak apa-apa Umi, ini sudah lebih dari cukup,” kata Luna tetap memanggil Diah dengan sebutan Umi.
Mereka berpelukan sejenak sebelum berpisah. Umi Diah sudah dijemput oleh Tiara. Mereka menginap di hotel dekat stasiun sebelum esok pagi bertolak ke Semarang. Gadis manis itu sempat hadir sebentar di masjid lalu pergi karena ada urusan.
Farhan sudah lebih dahulu pamit tadi sore, mengejar penerbangan kembali ke Banjarmasin. Esok Farhan harus kuliah sehingga tak bisa berlama-lama dengan Luna. Sama seperti kedatangannya, Luna tidak melepasnya dengan haru. Biasa-biasa saja. Namun ia tahu, ia akan merindukan Farhan serta interaksi singkat mereka.
Setelah ibunya pergi, Seto kembali masuk ke rumah. Ia membaringkan tubuhnya di lantai beralaskan karpet setelah terlebih dahulu melepas jasnya. Sebelah lengannya naik menutupi matanya yang terpejam rapat.
Tiba-tiba saja, Seto terduduk bangkit dari tidurnya. Matanya terbuka nyalang. Oooo-ke!
Pernikahannya adalah aib kecil. Bukan, bukan hanya kecil, tetapi aib besar! Ia bukan pria pendiam yang kurang pergaulan. Ruang lingkup pertemanannya cukup luas. Tampangnya lumayan. Penghasilannya dari bengkel—belum bisa dibilang mapan—cukup untuk memenuhi kebutuhannya.
Tetapi tanpa sadar, dirinya pun bernasib sama dengan adiknya. Dijodohkan!
Kata ‘dijodohkan’ itu menggema di kepalanya. Seto sampai memukuli keningnya. Ia bagaikan pria tak laku yang harus puas menikah dengan sahabatnya sendiri.
Astaga, memalukan!
Ia mencari keberadaan Luna lewat sudut matanya. Perempuan itu telah menghilang. Mungkin ke kamarnya untuk mandi atau berganti pakaian. Mengenakan kebaya itu tidak enak dan gerah, itu kata mantan istrinya dulu.
Seto pindah ke deretan sofa yang disusun berbaris di dinding. Begitu mengempaskan bokongnya di sana, ia menyesal tidak melakukannya dengan lembut. Karet penahan busanya seolah-olah hendak melemparnya ke atas. Rasanya, sebelumnya kondisi sofa itu tidak separah itu.
“Gaji lo habis buat apa sih, Na? Sofa yang agak bagusan dikit aja nggak kebeli?” gerutunya begitu melihat Luna keluar dari kamarnya. Pakaiannya telah berganti dengan piyama tidur. Make up-nya pun sudah dibersihkan.
“Kenapa memangnya?” Luna balik bertanya.
“Buluk banget! Gaji lo habis buat apa, sih?” Seto mengulang pertanyaannya.
Luna hanya mengangkat bahu, tak berniat menjelaskan bahwa ia tak bisa menikmati gajinya sendiri dan harus puas hidup dari hasil usaha sampingan yang di mata Seto hanyalah sebatas hobi. Ia tak ingin dikasihani sehingga menutup rapat-rapat cerita finansial keluarganya kepada Seto.
Seto tak lagi bertanya. Mungkin Luna gemar menabung atau berinvestasi hingga terkesan pelit dengan dirinya sendiri. Padahal harta takkan dibawa mati. Ia juga tidak berminat ikut campur.
Tiba-tiba ia teringat amplop pemberian Alfaraz di sakunya. Ia mengangkat amplop itu ke sinar lampu sambil menebak-nebak berapa isi di dalamnya.
“Paling-paling seratus ribu,” celetuk Luna terdengar mengejek. “Abang lo itu pelit juga, ya.”
“Sembarangan! Dia nggak pernah pelit.” Seto mendelik kesal. Kalau bukan karena Alfaraz, mungkin ia masih hidup di jalanan, atau yang lebih parahnya, tinggal sebaris nama di batu nisan.
Luna nyengir lebar. Seto memang sering memuja Alfaraz, seolah-olah seluruh hidupnya berutang budi pada lelaki itu.
Seto merobek ujung amplop lalu mengeluarkan isinya. “Bukan duit, Na,” katanya membolak-balik kertas di tangannya.
Luna merebut kertas di tangan Seto dan terbelalak saat membaca angkanya, “Lima belas juta, To!”
“Hah?!” Seto ikut terperangah. “Gila, banyak banget!”
Kini Luna percaya, Alfaraz memang tidak pelit seperti prasangkanya.
Rasa irinya pada Seto perlahan muncul. Kenapa ia tidak beruntung bertemu orang-orang murah hati seperti Alfaraz dalam hidupnya? Ah, konyol!
“Gue tidur dulu,” kata Luna setelah mengembalikan cek tersebut ke tangan Seto.
Seto hanya menggumam. Ia ikut bangkit mengambil daypack kecil berisi pakaian seadanya yang terletak di dapur. Ia mandi sebentar untuk menyegarkan tubuhnya, lalu berganti pakaian dengan celana olahraga dan kaos tipis.
***
Rasanya, baru sebentar Luna memejamkan mata kala pintu kamarnya diketuk dari luar.
“Ada apa?” tegurnya melihat Seto berdiri di dekat pintu.
“Minggir, gue mau tidur.” Seto menyibak bahu Luna dengan lengannya.
Luna terbelalak. Panik ia menyusul Seto dari belakang. “Lo mau tidur di sini? Di kamar gue?!”
“Memangnya gue harus tidur di mana?”
“Tapi—”
“Gue, kan, suami lo, Na.” Seto mengangkat alisnya. “Kita udah nikah.”
“Eh?” Luna gelagapan, “ta–tapi luar ada sofa—”
“Sofa lo keras, kayak kue bantat!” Seto menepuk-nepuk kasur Luna, lalu membaringkan diri di atasnya. “Kenapa lo nggak punya ranjang sih, Na? Masa tidur di lantai begini? Nggak baik buat kesehatan. Kata orang bisa memicu rematik dan paru-paru basah,” tukasnya memberi ceramah singkat.
“Itu cuma mitos,” bantah Luna. “Lagipula, di sini, tuh, panas. Tidur di lantai pun nggak ngaruh.”
“Terserahlah!” Seto berbalik memunggungi Luna dan mulai memejamkan mata. Hembusan angin dari kipas angin di sudut kamar membelai punggungnya. Tak terpikir sedikit pun olehnya tentang malam pertama. Yang benar saja!
Luna cemberut. Rasanya malu sekali. Ia memang tak punya ranjang. Selain uangnya selalu terpakai untuk kebutuhan keluarganya, alasan lainnya adalah demi kepraktisan. Bila ia terpaksa pindah kontrakan, membawa ranjang hanya akan menambah beban.
Kini, ia malah resah dan cemas Seto ikut tidur di kamarnya. Okay, mereka memang berteman sejak lama, bahkan sering tidur bersama.
Jangan salah paham. Umi Diah dulu kerap menitipkan Seto di rumahnya. Ibunya memang kadang-kadang tidak berangkat ke kios, bila kebetulan ada pesanan jahitan di rumah. Mereka dimandikan bersama, makan bersama, juga tidur bersama.
Ketika Seto ada di rumahnya, Luna senang bukan kepalang. Ia bisa mencicipi makanan-makanan enak karena Umi Diah selalu melebihkan porsi makanan untuk Luna. Hanya saat-saat bersama Seto pula, Luna aman dari u*****n dan pukulan ayahnya. Pria gendut itu lumayan tahu diri untuk tidak menampakkan kebenciannya pada Luna di hadapan orang lain.
Tapi, itu dulu, di saat mereka masih belum mampu membersihkan ingus dengan baik.
Luna mengambil guling dan meletakkannya di tengah-tengah sebagai pembatas. Ia tidak mungkin tidur di luar demi menghindari Seto. Kipas anginnya hanya ada satu.
Menit demi menit berlalu, matanya tak kunjung terpejam. Seto sudah terlelap ditandai dengan terdengarnya suara dengkuran halus.
Satu hal yang kini Luna sadari, setelah menikah, tidurnya tak akan pernah pulas lagi.
Luna pelan-pelan menarik gagang lemari plastik di samping kepalanya. Tangannya meraba-raba mencari sebuah benda. Tak lama kemudian, ia tersenyum lega saat menemukan apa yang ia cari.
Ia menarik belati tersebut, lalu menyelipkannya ke bawah bantal.