7. Oh, Okay!

1342 Words
Marriage is a journey for two people on one boat.   Menjelang subuh, Luna terbangun. Matanya masih setengah mengantuk. Ia meregangkan otot-ototnya yang kaku dan tiba-tiba terlonjak melihat seorang pria bergelung di sampingnya.  Luna panik mencari belatinya. Jantungnya berdetak cepat.  Saat menanggalkan sarung belati itu, ia baru sadar bahwa itu hanyalah Seto. Luna menepuk-nepuk dadanya sendiri. Semburat merah kembali menjalar di wajahnya. Gigilan di tubuhnya perlahan berhenti. Sialan! Rasanya aneh. Ia terbiasa sendirian. Kini harus berbagi rumah dengan Seto, bahkan harus berbagi tempat tidur segala. Ia berharap semoga saja semalam tidak tidur mendengkur. Well, belum pernah ada yang mengeluh dengan pola tidurnya. Ketika ia ikut pelatihan atau dinas di luar kota, teman sekamarnya tak ada yang mengeluh. Atau ... belum? Luna beranjak ke dapur. Bahunya merosot menatap piring kotor di wastafel. Semalam, ia sengaja menunda mencucinya, tetapi tak menyangka tumpukannya akan sebanyak itu. Selesai mencuci piring, ia mengais-ngais sisa sayuran dan bumbu dalam lemari pendingin. Tidak banyak yang tersisa di sana sejak malas memasak melanda. Ia membuat empat porsi nasi goreng dari nasi sisa hajatan kemarin. Dua porsi untuk sarapan, satu porsi untuk dibawa ke kantor, dan satu lagi untuk Seto, mungkin Seto ingin membawa bekal ke bengkelnya.  Luna sendiri perlu banyak belajar menyesuaikan diri dan berpikir panjang tentang rencana ke depan. Rumah tangga seperti apa yang akan mereka jalani, sama sekali belum terpikir di benaknya. Itulah akibatnya kalau terburu-buru mengambil keputusan. Otaknya buntu.  “Hello, Istriku.” “Hah?!” Luna terlonjak. Jantungnya seakan-akan mau copot. Ia seketika memutar tubuhnya mendengar sapaan tersebut.  Tampak Seto menyandar malas di daun pintu. Rambutnya mencuat berantakan, mukanya sudah segar setelah salat subuh. Bibirnya menyeringai jahil dan binar matanya tengil sekali.  Sialnya, terasa ada yang aneh. Perasaan Luna tiba-tiba menghangat. “Biasa aja kali, Na. Nggak usah baper begitu.” Seto mendekati Luna, lalu mengacak-acak rambutnya.  Oh, okay! Kaki Luna kembali menginjak bumi. Ia menunduk menyembunyikan rona di pipinya. “Nggak ada kopi?” sambungnya setelah duduk di kursi makan. “Bikin sendiri sana. Gue nggak tahu takaran kopi lo.”  “Belajar, Na. Gulanya dua sendok, kopinya satu sendok.” “Udah, kok, tapi lo rewel melulu!” Seto punya selera yang aneh. Tiap kali Luna membuatkan kopi, selalu tidak pas di lidahnya. Mungkin Luna harus menyiapkan timbangan digital terlebih dahulu agar takarannya tidak meleset.  “Apa gunanya punya istri kalau kopi pun harus bikin sendiri,” Seto menggerutu. Ia malas-malasan bangkit mencari cangkir bersih serta kopi hitam dan gula pasir. “Kopinya mana?” “Di lemari.” Luna hanya sesekali mengkonsumsi kopi, ketika banyak pekerjaan yang dibawa pulang, atau lembur mempersiapkan paketan, misalnya. “Air panasnya mana?” “Masak sendiri. Tuh, ada panci.” Luna menunjuk ke deretan panci dan wajan yang tergantung di dinding. “Bukannya lo punya dispenser?” “Listriknya mahal.” “Astaga, perhitungan amat, sih?” Luna tak menjawab. Ia malah bergegas mencari ember plastik untuk menyiram tanamannya sebelum mandi dan berangkat ke kantor. Kalau dihitung-hitung, sudah cukup lama ia tinggal di kontrakan itu. Menghadapi tetangga julid memang melelahkan. Namun, mencari kontrakan dengan lahan kosong cukup luas itu tidaklah mudah. Ia mendirikan rumah kaca sederhana yang terbuat dari bambu di belakang rumahnya, lalu menanam aneka tanaman unik di sana. Ada puluhan jenis cabe, tomat, terong-terongan, berbagai jenis melon impor dan sebagainya. Setelah matang, ia mengambilbijinya, lalu memasarkannya secara online. Belakangan ia juga menanam aneka bunga. Animonya cukup tinggi, tetapi sebisa mungkin ia menghindari urusan dengan para pembeli yang datang langsung ke rumah. Terkadang mereka tak ubahnya seperti tukang jarah, memaksa minta diskon atau memetiki biji-bijian kering yang membuatnya menyumpah-nyumpah. Hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Bila berlebih, ia menabung uangnya untuk berlibur ke Peru. Bila ada destinasi yang wajib dikunjungi sebelum mati, maka Machu Pichu lah tempatnya. Sepulangnya bekerja, ia berkutat mempersiapkan pesanan biji-bijian tersebut dalam kemasan plastik ziplock. Beberapa jenis biji-bijian seperti cabe tak lupa ditambahkan silica gel agar tidak cepat berjamur.  Ia paham, terkadang pembelinya tak selalu langsung menyemai benihnya begitu paketnya datang, tetapi menunggu antrian lahan kosong terlebih dahulu. Adakah yang lebih serakah dari para pecinta tanaman? Luna pikir ... tidak ada! Mereka rajin membeli benih ini dan itu, tetapi selalu kekurangan lahan untuk menanamnya. Keesokan harinya ia akan membawa paket-paket itu ke kantor. Belakangan ada kurir yang memberi layanan jemput bola, sehingga ia tidak perlu datang ke gerai mereka. Biasanya mereka datang pada jam istirahat siang. Seto sedang menyeruput kopinya tatkala Luna kembali ke dapur.  “Tidur lo berisik amat, sih, Na?” katanya tiba-tiba. Semalam ia beberapa kali terbangun saking berisiknya Luna dalam tidurnya.  “Hah?” Luna terperangah. Perasaannya tidak enak. Itu adalah fakta yang baru ia ketahui. “Berisik gimana? Gue ngorok, ya?” “Nggak, sih.” Seto menghabiskan sisa kopinya. “Lo mengingau.” Luna lagi-lagi menganga. “Masa, sih?” Seto mengangguk. Semalam adalah kali pertama mereka tidur bersama lagi, terakhir kalinya mungkin kelas dua SD. “Memangnya gue ngomongin apa?” Seto hanya mengangkat bahu. “Entahlah. Omongan lo nggak jelas.” Luna diam-diam menghela napas lega. “Gue bikin nasi goreng, lo mau bawa ke bengkel?” kata Luna mengalihkan pembicaraan sambil menyendok nasi ke piringnya. “Hmm,” Seto mengangguk. Biasanya ia membeli makanan jadi. Ada untungnya juga punya istri, hemat pengeluaran. *** “Motor lo masih rusak? Mau gue antar?” Seto tampak sudah rapi setelah membersihkan diri di kamar mandi belakang. Rumah tersebut memang memiliki dua kamar mandi, satu lagi di kamar Luna. “Boleh,” jawab Luna singkat. “Nanti gue benerin di bengkel.” “Hmm ... thanks.” “Dasar rakyat cap 3T!”  “3T?” Luna mengerutkan dahi. “Apaan, tuh?” Seto mencebik, “Thank you, thank you, thank you!”  Luna nyengir. Ia memang tidak pernah membayar jasa bengkel Seto. Jangan salahkan dirinya, sejak awal memang Seto tidak mau menerima uangnya, tetapi kerap menyindirnya tentang kebiasaan service gratisan. Terkadang, Seto hanya berniat mencari perkara. “Berapa biayanya? Nanti gue ganti.” “Ck, kayak punya banyak duit aja lo!” Tuh, kan? “Kunci cadangan rumah ada?” sambungnya lagi. Luna masuk kembali ke kamarnya, lalu mengambil kunci cadangan dari lemari pakaian. Begitu membalikkan tubuhnya, ia lagi-lagi terlonjak mendapati Seto berdiri tepat di belakangnya. Luna bahkan bisa mencium parfumnya. Aromanya lembut sekali. “Nggak usah masuk kamar gue sembarangan, bisa?!” bentaknya kesal. Seto mengangkat alisnya. “Masa masuk kamar sendiri harus ketuk pintu dulu?” “Apa lo bilang?” Luna memicingkan mata. “Kamar sendiri?” Seto menoyor kepala Luna dengan jari telunjuknya. “Lo amnesia? Luna kembali tersadar dengan hubungan mereka. Tampaknya ia harus merapalkan kalimat dalam hati, bahwa Seto kini berstatus sebagai suaminya. “Nanti gue ke KUA, ya, Na. Berkas-berkas punya lo mana?” Seto menagih dokumen kepunyaan Luna untuk melengkapi persyaratan membuat buku nikah. Untung saja, penghulu yang menikahkannya kemarin adalah teman ibunya, sehingga urusannya nanti akan lebih mudah. Seperti kebanyakan rakyat Indonesia, the power of orang dalam sangat berguna pada saat-saat tertentu.  Apakah itu termasuk nepotisme? Entahlah. Bodo amat! *** Begitu turun dari motor, Luna mengembalikan helm-nya kepada Seto. “Nanti nggak usah dijemput, gue pulang naik ojol aja.” “Siapa juga yang mau jemput elo? Nggak ada ongkosnya!” “Ck! Gue masuk dulu,” Luna menggeluyur pergi. Rasanya ada yang aneh! “Na!” panggil Seto lagi. Luna berbalik. “Apaan?” “Lo nggak cium tangan gue?” Luna berjengit. “Nggak usah songong, deh! Memangnya lo siapa?” “Gue suami lo. Masa lupa lagi?” “Eh?” Luna tergagap. Ia sontak memandang berkeliling, kalau-kalau ada orang lain yang mendengarnya. “Males!” “Nanti gue balas cium jidat!” Seto setengah berteriak. “Ish, nggak sudi!”  Seto hanya tertawa melihat Luna bergegas pergi dengan tampang bersungut-sungut.  Mengerjai Luna terkadang menyenangkan. Perempuan itu memang cenderung pendiam, sedangkan Seto tipe pria yang banyak bicara dan luas pergaulan. Entah kenapa mereka bisa bersahabat, dan kini malah menikah. Oooo–ke! Seto menepuk dahinya. Orang bilang, pernikahan adalah sebuah jalan untuk saling melengkapi dua pribadi yang berlainan. Benarkah demikian?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD