8. Adjustment

2444 Words
“SETO!!!” Terdengar teriakan nyaring dari kamar mandi belakang. Seto yang sedang menyeruput kopinya, buru-buru meletakkan cangkir di atas meja, lalu bergegas menyusul Luna. Setibanya di sana, ia mendapati perempuan itu tengah melotot. “Harus berapa kali gue bilang, kainnya jangan sampai basah begini!” Seto melongok ke dalam ember biru berukuran sedang itu, lalu mengangkat bahunya dengan tampang tak berdosa. “Mau bagaimana lagi, namanya juga mandi, otomatis airnya nyiprat kemana-mana.” Kedua bola mata Luna langsung menyipit. “Lo nggak ada inisiatif buat naruh ember pakaian lo di luar dulu sebelum mandi?” “Enggak. Biasanya juga begitu, kok.” Bahu Luna seketika merosot. Dalam hati ia menyumpah-nyumpah. Sudah satu minggu lamanya mereka menikah. Sekarang ia tahu, menyatukan isi dua kepala dalam satu rumah dan mengharapkan kerja sama yang baik itu amatlah susah. Benar kata orang, setelah menikah, segala kebiasaan baik dan buruk tak dapat lagi ditutup-tutupi. Seto bersikap seenak perutnya. Kebiasaannya membuat Luna sering menghela napas panjang. Ia yang terbiasa hidup sendiri, kini harus mengerjakan pekerjaan lebih banyak dari biasanya.  Luna harus bangun lebih pagi dan bergegas menyiapkan kopi serta sarapan. Seto tak lagi mengomeli takaran kopinya. Mungkin rasanya sudah pas atau Seto lelah mengoceh. Semenjak hidup berdua, ia mulai memasak demi menghemat uang belanja. Terlebih lagi, Seto ikut membawa bekal makan siang ke bengkelnya. Sepulangnya bekerja, ia menyempatkan diri berbelanja kebutuhan dapur terlebih dahulu. Tidak setiap hari, namun itu cukup menyita waktu. Pria itu tak mau mencuci piringnya sendiri, melainkan menumpuknya di wastafel. Setelah tak lagi merokok, kebiasaan minum air putihnya juga menyusahkan. Setiap kali minum Seto selalu mengambil gelas yang baru, sehingga tumpukan gelas kotor semakin banyak. Pakaian kotor sering diletakkan di atas tumpukan kain bersih yang belum disetrika. Luna sampai harus mencium baunya terlebih dahulu saat memilahnya. Belum lagi handuk basah bertebaran tak tahu tempat. Hari ini di kamar mandi, esok di kursi makan, esoknya lagi di kursi tamu.  Begitu juga dengan pakaian kotor dan celana dalam basah setelah mandi, ditumpuk jadi satu dalam ember dan tak jarang disiram air sampai semuanya basah kuyup. Seto tidak mau mencuci pakaian dalamnya sendiri hingga Luna harus turun tangan. Rasanya aneh dan geli!  Entah bagaimana kehidupan Seto sebelumnya. Luna bersyukur tak pernah masuk ke kamar Seto di bengkel. Ia membayangkan, mungkin tempat tersebut tak ubahnya seperti kandang sapi saking berantakannya.  “Lain kali, tolong dipisahin antara pakaian basah dan pakaian kering. Kalau ditumpuk jadi basah begini, lama-lama baunya kayak mayat!” “Lebai, ah. Memangnya lo pernah cium bau mayat?” kilah Seto dengan polosnya. Luna memberengut, “Nggak!” “Lo pengen tahu bau mayat kayak gimana?” “Memangnya kayak gimana?” “Besok-besok, deh, gue kenalin elo sama teman gue. Dia sering jadi relawan yang ikut mengevakuasi jenazah korban bencana. Lo tanya aja sendiri.” “Lalu, apa hubungannya sama gue?” “Lho, bukannya tadi elo nanya bau mayat itu kayak gimana?” Seto menoyor kepala Luna sambil nyengir. Luna tersadar fokusnya telah teralihkan. “Jadi, pakaian lo ini gimana ceritanya?”  “Ya, lo cuciin, dong.” “Gue nyuci tiga hari sekali, To.” Semenjak ada Seto, dalam seminggu ia terpaksa mencuci tiap hari agar pakaian tersebut tidak berbau.  “Mendingan tiap hari.” “Lo pikir kerjaan gue cuma nyuci doang?” “Dibiasakan, Na, biar kerjaan lo nggak numpuk.” Luna habis kesabaran. Bila biasanya ia menyimpan gerutuan dalam hati, kini amarahnya meledak. “Mulai hari ini, cuci pakaian lo sendiri!” Seto berjengit. “Apa gunanya punya istri kalau masih harus nyuci sendiri?”  “Lo pikir gue pembantu?” “Kok, nyolot, sih?”  “Siapa yang nyolot? Kalau mau pakaian lo gue cuciin, ikuti aturan mainnya!” “Suka-suka gue, dong!” “Terserah, pokoknya cuci sendiri!” Luna menendang ember tersebut sampai terguling, lalu pergi sambil menghentakkan kaki. Masih sangat pagi, mood-nya sudah berantakan gara-gara kebiasaan Seto yang sulit diatur.  Seto menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dengan malas ia mengambil plastik kering, lalu mengemas pakaian basah itu ke dalamnya sambil menggerutu.  Tidak apa-apa, ia bisa menyetornya ke laundry dekat bengkelnya nanti. *** Melihat tampang jutek Luna yang sudah siap dengan pakaian dinasnya, rasa tak enak menyusup dalam hati. Ingin rasanya Seto meminta maaf. Namun, kalau dipikir-pikir lagi, kesalahannya tidak terlalu banyak.  Tiba-tiba, ia baru teringat akan kewajibannya sebagai suami. Layaknya kebanyakan perempuan, pantas saja Luna bertingkah seperti tadi. Senyuman tipis tersungging di bibirnya. Ia menghampiri Luna, lalu mengambil dompet dari saku belakang celananya. “Duit apa?” Luna mengerutkan kening menatap beberapa lembaran merah yang terulur dari tangan Seto. “Nafkah dari suami buat istrinya, Na.” “Eh?” Luna tergagap. Pipinya memanas. Ia seketika merasa sungkan, karena tidak terbiasa menerima uang dari laki-laki. “Ng–nggak usah. Gue juga punya duit, kok.” “Ambil!” Seto memaksa menjejalkan uang tersebut ke tangan Luna.  Luna tertegun. “Ta–tapi ... ini buat apa?” “Buat beli beras, kebutuhan dapur atau semacamnya,” jawab Seto. “Nanti gue tambahin lagi kalau sudah punya uang. Doain aja bengkel gue ramai.” Luna melirik Seto sungkan. Berhubung baru berumah tangga, urusan makan dan minum mereka dalam seminggu itu masih menjadi tanggungannya. Ia memang punya anggaran belanja sekadar untuk makan dan merasa tidak enak meminta pada Seto. Pernikahan mereka ... entahlah ... Luna kesulitan menjabarkannya. “Jumlahnya memang nggak banyak. Mungkin nafkah dari gue nggak sebanyak gaji lo tiap bulan.” Seto mengusap kepala Luna, sebuah kebiasaan baru yang belakangan sering dilakoninya saat mereka berduaan. “Gue juga bukan pengusaha kelas atas. Nggak kayak para CEO kaya yang lo baca di novel-novel lo itu,” sambungnya menyindir kebiasaan Luna membaca novel-novel dewasa, tetapi melewatkan bagian skidipapap dengan menggunting lembarannya, lalu membuangnya ke tempat sampah. Aneh, padahal adegan-adegan seperti itulah yang dicari kebanyakan pembaca, termasuk Seto sendiri yang dulu menjadikannya sebagai referensi gaya b******a, jauh sebelum dunia digital menunjukkan taringnya dengan berbagai situs yang bisa diakses melalui ponsel pintar. Namun di dunia nyata, perkara b******a paling-paling mentok di dua atau tiga gaya saja, misionaris, woman on top, dan doggie style. Mempraktekkan gaya yang aneh-aneh seperti dalam film dewasa—alih-alih menambah nikmat—malah membuat sakit pinggang, apalagi bila jarang berolahraga. Otak Luna mendadak buntu. Bukan lembaran merah itu yang membuatnya termangu, melainkan usapan lembut Seto di kepalanya. Belakangan, jantungnya sering jumpalitan saat Seto melakukannya, apalagi tak jarang sambil mengacak-acak rambutnya. Sentuhan spontan itu terasa seperti ungkapan tulusnya kasih sayang. Luna menggelengkan kepala cepat-cepat. Ia menyimpan uang pemberian Seto dalam saku seragam dinasnya, lalu menggeluyur pergi tanpa permisi. Well, sudah pasti Seto menyayanginya. Mereka berteman, bukan? Ya, tak salah lagi, hanya itu alasannya. *** Setelah sibuk mengeluarkan peralatan bersama dua orang karyawannya, Seto pindah ke samping bengkel. Ia merogoh kunci dari saku celana, lalu membuka pintunya.  Dari luar, tempat mungil itu tampak mirip seperti gudang. Dindingnya terbuat dari kayu, sedangkan atapnya terbuat dari seng bekas. Bukannya Seto tidak mau membuat tempat yang lebih layak untuk mobil kesayangannya. Tanah tempat berdirinya bangunan tersebut adalah tanah sengketa, sehingga Seto hanya diberi hak pakai sementara. Ia tidak dapat menyewa apalagi membelinya sampai persengketaan antar saudara itu selesai di pengadilan. Seingatnya, kasus tersebut sudah diperkarakan sejak dua tahun yang lalu, dan sampai kini masih belum jelas juntrungannya. Di dalamnya terdapat sebuah mobil VW Kodok atau kini disebut VW Beetle. Logonya bertuliskan huruf VW yang dilingkari. Apabila tidak jeli, logo tersebut tampak seperti logo sebuah platform blog ternama, Wordpress. VW Beetle warna biru langit itu adalah mobil klasik buatan Jerman yang diproduksi sekitar tahun enam puluhan. Harganya sangat variatif, tergantung kondisi mesin dan perawatan. Ia membelinya dari seorang teman yang kepepet uang seharga dua puluh juta rupiah saja, lalu memodifikasinya serta mengganti suku cadang yang mulai usang. Kini, mobil tersebut sangat sehat dan mampu dibawa ikut jambore serta touring ke luar kota. Seto sampai bergabung dalam perkumpulan sesama pengguna mobil kodok segala. Lumayan untuk menambah relasinya. “Pagi, Bung!” sapanya sambil mengelus body mobil tersebut penuh kasih sayang. Tingkahnya seperti memperlakukan barang antik bernilai miliaran rupiah saja. Ia mengelap seluruh permukaannya agar tidak berdebu, lalu menghidupkan mesinnya beberapa menit sebelum sibuk melayani para pelanggannya. *** Matahari bersinar terik. Cuaca di luar sangat panas. Seto mengeluarkan bekal makan siang buatan Luna dari dalam jok motor. Ia mengangguk pada salah seorang karyawannya yang pamit pulang untuk mengisi perut karena rumahnya tidak terlalu jauh. “Tumben Abang bawa bekal? Pakai kotak lagi. Udah punya rumah sekarang?” Salah seorang karyawannya bernama Cecep tidak bisa untuk tidak bertanya. Bukan rahasia lagi, Seto biasanya membeli makan siang di warung terdekat atau di warung nasi padang, tergantung kondisi dompetnya. Belum lagi, kini ia tak lagi tidur di bengkel. Setiap pagi, ia selalu membuka pintu dari luar, bukan dari dalam seperti biasa. “Lo nggak bawa makan siang?” Seto balik bertanya pada Cecep yang ikut duduk di sampingnya. Begitu kotak plastik tersebut dibuka, bau makanan pun segera tercium. Seto tersenyum melihat ayam sambal rica-rica dari dalamnya. Cecep sampai meneguk ludahnya sendiri. “Ambil piring sana, makan sama gue.” “Nggak usah, Bang,” tolak Cecep sungkan. Lagipula, ia sedang tidak berselera makan. “Saya lagi berantem sama istri.” Seto menyuap suapan pertamanya. “Berantem lagi?”  Cecep mengangguk. “Heran, kalian betah amat berantem.” “Ya begitulah, Bang. Namanya juga perempuan.” “Kenapa lagi?” “Anu ...” Cecep seketika menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Terbersit penyesalan telah kelepasan bicara. Ia tahu mulut juragannya tak berbandrol. Kata orang, seperti buka kulit tampak isi. Namun, walaupun nyelekit, omongan juragannya seringkali masuk akal dan ada benarnya. Ia mendekat pada Seto, lalu berkata pelan nyaris berbisik, “Saya ketahuan chat sama cewek, Bang. Istri saya ngamuk.” Seto tersedak oleh makanannya sendiri. Ia terbatuk-batuk, lalu buru-buru meneguk air minum. Matanya sipitnya melotot menatap Cecep. “Dasar nggak tahu diuntung! Anak udah tiga, masih main perempuan!” “Iseng-iseng aja, Bang. Saya suntuk banget. Habisnya, semenjak dia melahirkan, saya jarang dikasih jatah.” “Jatah apa?” “Ah, Abang tahu sendiri lah.” Cecep mengibaskan tangannya.  Seto mendengus. “Alasannya apa?” “Macam-macam, sih. Capek lah, nggak mood lah, ngantuk lah,” kata Cecep menjelaskan berbagai penolakan dari istrinya saat diajak berhubungan badan. “Wajar istri lo capek. Anak lo masih kecil-kecil. Lo kira gampang momong bocah?” Cecep nyengir. “Tapi, kita laki-laki, kan, tetap butuh 'itu', Bang.” Seto menyudahi makan siangnya. “Lo mau tahu gimana caranya biar istri lo nggak capek?” “Gimana, Bang.” “Bayar pembantu rumah tangga.” Cecep berdecak. “Yah, Bang, jangankan pembantu rumah tangga, buat makan sehari-hari aja pas-pasan.” “Nah, itu lo tahu. Makanya bikin anak itu dijarakin!” Seto memasang tampang gemas. “Biar bagaimanapun, harga k****m jauh lebih murah daripada biaya membesarkan anak dari bayi sampai dewasa.” “Tapi pakai sarung itu nggak enak, Bang.” “Cabut singkong saja kalau begitu.” “Buang di luar juga nggak enak, Bang.” “Suruh istri lo pakai KB.” “Dia nggak mau Bang, takut gendut sama jerawatan.” “Innalillah!” Seto naik pitam. Ingin ia menggetok kepala Cecep dengan pentungan. “Vasektomi saja sana, beres!” “Apa itu, Bang?” Cecep mengerutkan kening mendengar istilah yang terdengar asing itu. “Saluran s****a lo dipotong.” Cecep bergidik ngeri. “Tapi, masih bisa gituan, kan, Bang?” “Ya, masihlah. Memangnya anu lo yang dipotong?” “Ah, nanti saya nggak bisa punya anak lagi dong, Bang?” “Mbuhlah, Cep! Terserah, dah. Tobat gue ngomong sama lo!” seru Seto gemas. Cecep diam saja. Raut wajahnya berubah berkerut-kerut, entah tersinggung oleh perkataan Seto atau kebelet menahan b***k. “Terus, sekarang elo chat sama cewek, manfaatnya apa?” “Nggak ada, sih, Bang. Cuma iseng doang. Cewek itu pun jauh, nun di luar pulau sana.” Seto makin gemas. “Kalau nggak ada yang bisa lo manfaatin dari, tuh, cewek, ngapain lo terusin selingkuh?” “Cuma chat aja, kok, Bang. Kayaknya itu belum masuk hitungan selingkuh.” “Tapi tetap saja lo nyeleweng, kan? Wajar istri lo sakit hati. Lo tahu gimana rasanya diselingkuhin?” Cecep menggeleng. “Enggak, Bang.” “Rasanya sakit,” Seto menunjuk dadanya sendiri, “di dalam sini rasanya sakit banget. Lo tahu apa yang pingin gue lakuin ketika mantan istri gue selingkuh?” “Nggak, Bang.” Cecep menunduk. “Gue pengen makan orang!” “Astaga, Bang!” Seto mendengus kesal. Ia teringat lagi akan perlakukan mantan istrinya yang berselingkuh dengan seorang juragan beras kaya raya. Gara-gara perempuan itu pula, putranya terlantar dan harus berakhir di kamar jenazah. Mungkin banyak orang berpikir, hanya seorang perempuan yang hancur kala diselingkuhi. Seto pun sama. Ia hancur. Hanya saja, ia tidak mau memperpanjang urusan dengan adu otot segala. Kata talak pun terucap dan hubungan mereka resmi berakhir di pengadilan. Ia berpikir, sudah selayaknya seonggok sampah berakhir di tempat sampah! Mendengar curhatan Cecep, ia jadi gemas sendiri. “Setidaknya, kalau elo beneran berniat selingkuh, ada manfaat yang bisa lo ambil dari tuh cewek, Cep. Lo porotin duitnya, kek, lo tidurin, kek. Lha, kalau orangnya aja nggak jelas, ngapain lo buang-buang waktu segala? Rugi sendiri, kan? Itu tandanya jam terbang lo masih rendah. Dasar amatiran!” “Memangnya Abang pernah selingkuh?” Cecep mendengus. “Jam terbang Abang udah tinggi?” Seto berjengit jijik. “Kagak sudi!” “Abang nggak nikah? Kalau lagi kepingin gituan, gimana caranya?” “Noh, di warung banyak sabun. Gue tinggal nyanyi halo-halo bandung di kamar mandi, kelar urusan!” Cecep menunduk serba salah. “Ya, saya awalnya cuma iseng-iseng, Bang. Nggak tahunya keterusan, curhat-curhatan.” Seto menepuk jidatnya, lalu menggeluyur pergi dari hadapan Cecep. Ia kehabisan akal menghadapi para pria yang dimabuk asmara sesaat, sampai mengesampingkan akal sehat. Tiba-tiba, datang empat orang perempuan mengendarai dua buah motor masuk ke bengkelnya. “Bisa tolong isi angin, Bang?” “Oh, bisa.” Seto dengan sigap melakukan tugasnya sambil mengajak gadis-gadis itu mengobrol dan bercanda untuk membunuh waktu. Hanya sebentar saja, pekerjaannya sudah selesai. Salah seorang dari mereka mengulurkan uang seratus ribu pada Seto. “Kembaliannya ambil aja, Bang,” katanya sambil tersenyum malu-malu. “Wah, makasih. Sering-sering mampir, ya, Dek.” Seto membalas dengan anggukan ramah. Setelah keempat gadis itu pergi, Seto mengibaskan lembaran merah itu di depan mata Cecep. “Nih, lihat, gue dapat untung berkali-kali lipat. Cewek cuma diajak ngobrol doang ada manfaatnya. Nggak kayak elo, untung nggak ada malah nambah masalah!” Cecep mencibir. “Ya, beda lah, Bang. Abang, kan, ganteng, makanya cewek-cewek pada nempel!” “Nah, itu lo sadar. Udah tahu tampang pas-pasan, belagunya nggak ketulungan!” Cecep menghela napas pasrah.  Pait amat mulut lo, Bang! 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD