bc

Cukup 2 Malam

book_age0+
22
FOLLOW
1K
READ
killer
love after marriage
badboy
badgirl
hollywood
drama
bxg
like
intro-logo
Blurb

Cukup 2 Malam (Drama Thriller) By: Hai Dhika

85.000 Pembaca di Wattpad

"Tuhan, aku tak pernah sebahagia ini" ucapku dalam hati.

Aku meneruskan langkah kaki dan memasukkan kedua tangan ke dalam saku celanaku. Tak ada sebutir air kesedihan pun yang keluar dari bibir mataku. Hanya ada senyuman terpajang di bibirku, yang lambat laun lebih terasa sebuah seringai...

chap-preview
Free preview
Cukup 2 Malam
Aku membuka mata dan duduk di bibir tempat tidur, mencari telephone genggam yang sejak semalam sengaja ku sunyikan rintihannya. Aku tak menemukan benda mati itu diatas meja, dalam laci pun. Sekuat pikiran, aku berusaha mengingat dan mencari letak benda yang tak pernah lepas dari genggamanku itu. Dibawah bantal, aku menemukannya disana. Segera ku tatap layarnya dan menghela nafas dalam-dalam. Sialan! Malam ini, aku terbangun diantara celah-celah jarum jam tiga dan empat. Malam ini kembali ku dapatkan waktu tidur yang tak baik, seperti dua malam sebelumnya. Masih sama seperti dua malam kemarin, tidurku kini tak sendiri lagi. Mataku tak menatap kosong ketika terbuka. Ada yang setia menemani lelapku yang tak sama sekali nyenyak. Nyenyak, seperti malam–malam sebelum dua malam yang lalu. Aku menghela nafas sekali lagi dan mengusap wajahku dengan kedua tanganku. Peluhku menetes. Udara yang terlampau hangat untuk ukuran malam hari.   Aku menatap dalam-dalam perempuan yang tengah terlelap tak sepertiku, ia amat nyenyak memejam disisi ranjang kami dengan daster tidur merah maroon kesukaannya. Dua malam ini, ia terus mengenakannya sebelum tidur. Rambutnya ikal sebahu berwarna hitam dan ku akui, ia cantik sekali. Aku menggilai bibirnya yang tipis. Usia perempuan itu hanya terpaut satu tahun di bawahku. Dia selalu suka memanggilku dengan panggilan “Sayang”, yang kadang lebih terdengar seperti nada iba di telingaku. Aku selalu menahan tawa saat ia memanggilku seperti itu. Rasanya aneh. Walaupun aku kurang suka ia panggil “Sayang”, namun perempuan bertubuh kurus ini terus saja memanggilku “Sayang”. Menyebalkan. Jujur saja, aku sangat benci kasur empuk ini di tempati berdua dengannya. Aku benci melihatnya tidur lebih nyenyak dibandingkan aku. Padahal, sebelum ia berada di sisiku, aku selalu dapat tidur dengan leluasa dan sangat amat nyenyak. Aku butuh waktu tidur yang berkualitas. Tapi dengannya, aku tak bisa. Aku bangkit dari bibir tempat tidur. Lihatlah! Beberapa pakaian dalam perempuan ini berserakan di lantai. Aku benci kamar ini tercemar. Koper-koper berisi barang yang sebenarnya tidak penting untuk ia bawapun masih tergeletak pasrah di depan lemari pakaianku. Ia memenuhi ruangan ini. Ia begitu keras kepala. Kami sempat bersih tegang ketika aku melarang membawa koper begitu banyak hanya untuk bulan madu selama seminggu. Dasar perempuan tidak tahu diri! Aku menendang salah satunya dan berlalu ke kamar mandi. Aku membasuh wajahku dengan air yang semakin menyadarkanku bahwa kini hidupku berubah. Aku menatap diriku yang nista di cermin. “Kasihan kamu!” ucapku dengan telunjuk yang mengarah pada cermin. Aku mengambil sikat dan pasta gigi yang ku bawa dari rumah. Aku selalu tak suka alat mandi yang di berikan tempat penginapan manapun. Rasanya aneh dan berkesan seadanya. Kubersihkan sela-sela gigiku. Aku masih dapat mengecap rasa sop ayam yang semalam perempuan itu buatkan khusus untukku. Jelas khusus untukku, kami tinggal dikamar ini berdua. Sop ayam yang hampir mematikan indra pengecapku. Rasanya tidak lebih baik dari masakan yang sudah berhari–hari tidak disentuh. Lebih tidak enak dari kotoran manusia. Ah! Aku mulai mual jika mengingat rasanya. Kini, tepat tiga hari setelah hari pernikahan aku dan perempuan yang memaksaku untuk menyelenggarakan acara besar-besaran di hotel mewah itu. Dan aku sudah tak lagi menginginkannya. Aku berlari kecil menuju dapur untuk menenangkan pikiranku. Hanya butuh 20 menit bagiku. Ku beranjak kembali ke kamar kami dan membelai rambut pendek Morisa, perempuan dengan sebutan istriku saat ini. “Hmm…” badannya yang anggun mulai bergerak perlahan. “Ayo bangun, udah hampir pagi” kataku dengan sedikit manja pada Si Manja ini. Kuperhatikan dengan seksama, matanya mulai terbuka perlahan, ia sangat cantik. Aku duduk di pinggir tempat tidur, tepat berada disisi kepalanya. Ia meletakkan kepala batunya di pahaku. Tangannya yang putih mulus dengan bulu halus yang lebat itu memegang tanganku. Bibir mungilnya mengecup tanganku. “Pagi Sayang. Love you…” katanya tidak kalah manja dariku. Dia memanggilku dengan panggilan menjijikan itu lagi? Ingin sekali aku membungkam mulutnya dengan pakaian dalamnya yang berserakan dilantai. “Pagi juga Perempuan yang Paling aku Cinta. Love you too…” aku yang tak mau kalah mesra hanya mengecup keningnya dengan cepat. Perempuan itu melihat meja disamping tempat tidur kami dan tersenyum padaku. “Itu roti coklat keju sama s**u panas kesukaan kamu. Aku yang buat khusus buat kamu. Habis mandi, makan ya. Aku juga udah siapin air anget buat kamu mandi.” kataku mengacak-acak rambutnya gemas dan berjalan menjauh untuk membuka gorden kamar. Istriku menghampiriku, memelukku dari belakang. Pelukan yang begitu hangat. Aku membalikkan tubuh. Morisa menghampiri wajahku dengan wajahnya. Bibirnya mengarah ke bibirku. “No… No… No… Mandi dulu” ucapku. Dasar Jorok!   Morisa melangkahkan kaki ke kamar mandi dengan anggun. Ia masih cantik ketika baru bangun tidur walau tanpa riasan. Ia tak bisa lepas keluar kamar tanpa riasan diwajahnya. Ia tak mendengarkanku yang sering berkata bahwa hanya aku yang boleh melihat ia tampil cantik. Ia tak peduli. Ketika bersamaku ia tak mengenakan riasannya, sedangkan keluar kamar ia memakai riasan.   Hotel berbintang lima menghadap Pantai Kuta ini sengaja kusewa satu minggu untuk bulan madu kami. Romantis sekali bukan? Ya. Sangat! Terutama jika kuingat gaji satu bulanku habis disetiap malamnya. Lama aku mengumpulkan uang hanya untuk pesta pernikahan kami yang menurut Morisa masih sederhana. Lama pula  aku mengumpulkan uang hanya untuk seminggu bulan madu di Pantai Kuta sesuai permintaannya. Aku bekerja tiga tahun penuh hanya untuk semua ini? Hanya untuk dua malam pesta pernikahan dan tujuh hari bulan madu? Luar biasa. Aku masih duduk di depan jendela yang menghadap pantai. Jam menunjukkan pukul lima dan Morisa belum juga keluar dari kamar mandi. Kemana perempuan itu? Aku mengernyitkan dahi, apa yang dia lakukan di kamar mandi selama berjam-jam? Aku memandangi roti coklat keju dan s**u coklat yang sudah tak lagi panas yang kuletakkan di meja samping kasur. Harusnya s**u itu diminum sebelum dingin, atau mungkin ia sudah mencicipinya? Tombol merah di gagang hitam yang ku tekan membuat layar datar televisi menayangkan berita kriminal. Aku tersenyum lalu menekan tombol itu kembali. Aku menghela napas lega. Ku hembuskan tumpukan kebencian, kemarahan, emosi, dan kekecewaanku ke udara. Aku tak pernah hidup sehidup ini. Aku berjalan keluar kamar setelah sadar bahwa tak ada lagi yang harus aku tunggu di kamar ini. ***   “Hallo… Ambulans? Ada mayat perempuan di kamar 969 Hotel Badaba, jalan Pantai Kuta, Bali..” kuhentakkan gagang telepon umum di tempatnya. Aku menarik kedua sudut bibirku sepanjang-panjangnya kemudian melenggang berjalan pergi tanpa tujuan. Aku tertawa puas. Benar-benar puas. “Dasar istri tidak tau diri! Dia memang pantas mendapatkannya!!” umpatku. Aku mengingat moment berharga ketika perlahan aku memasukkan pembasmi serangga ke dalam s**u coklat panas untuk Morisa. Dan aku telah memutuskan sebuah kabel listrik di dalam kamar mandi kemudian memasukkannya kedalam bathtub berisi air hangat untuk Morisa. Aku kembali tertawa. Tawa terpuas dalam hidupku.       Hanya ada sedikit perasaan sesal dihatiku, bukan karena aku telah membunuh perempuan yang baru kunikahi tiga hari itu, melainkan karena aku hanya bisa menerka–nerka bagaimana ekspresi Morisa saat kesakitan dan bagaimana proses kematiannya. Padahal, itu yang sesungguhnya aku nanti selama lima tahun kami menjalin hubungan hingga menikah tiga hari lalu. Sesekali, aku diam menatap jalan yang ku pijak kemudian tertawa saat membayangkan tubuh Morisa yang indah mengejang. Dengan menunduk dan setengah terisak, aku membayangkan saat aku mengecup kening istriku pagi tadi, malam kedua dihari pernikahan kami. Aku menghetikan langkah kakiku, memejamkan mata, dan berbisik lirih. “Aku begitu mencintaimu Morisa Indriana Putri. Seandainya kau tau sayangku, menikahi wanita kalangan atas sepertimu adalah sebuah anugerah bagiku. Hanya saja, kau lebih pantas mati dibandingkan menghabiskan sisa hidupmu denganku!!! Aku tak tahu harus seberapa lama aku bekerja, harus seberapa keras aku berjuang, dan harus seberapa sakit aku bertahan hanya untuk perempuan sepertimu” aku tertawa dan membuka mata. Tuhan, aku tak pernah sebahagia ini… Aku meneruskan langkah kakiku dan memasukkan kedua tangan ke dalam saku celanaku. Tak ada sebutir air kesedihan pun yang keluar dari mataku. Hanya ada senyuman terpajang di bibirku, yang lambat laun lebih terasa sebuah seringai…    Aku bangkit dari bibir tempat tidur. Lihatlah! Beberapa pakaian dalam perempuan ini berserakan di lantai. Aku benci kamar ini tercemar. Koper–kopernya masih tergeletak di depan lemari pakaianku. Aku menendang salah satunya dan berlalu ke kamar mandi. Aku membasuh wajahku dengan air dan membersihkan sela–sela gigiku. Aku masih dapat mengecap rasa sop ayam yang semalam perempuan itu buatkan khusus untukku. Jelas khusus untukku, kami tinggal dikamar ini berdua. Sop ayam yang hampir mematikan indra pengecapku. Rasanya tidak lebih baik dari masakan yang sudah berhari–hari tidak disentuh. Aku mulai mual jika mengingat rasanya. Kini, tepat tiga hari setelah pernikahan aku dan perempuan itu, aku sudah tak lagi menginginkannya. Aku berlari kecil menuju dapur untuk menenangkan pikiranku. Hanya butuh 15 menit bagiku untuk kembali ke kamar dan membelai rambut pendek Morisa, perempuan dengan sebutan istriku. "Hmm..." badannya yang anggun mulai bergerak perlahan. "Ayo bangun, sudah hampir pagi" kataku dengan sedikit manja pada Morisa. Kuperhatikan dengan seksama, matanya mulai terbuka perlahan, ia sangat cantik. Aku duduk di pinggir tempat tidur, tepat berada disisinya. Ia meletakkan kepalanya di pahaku. Tangannya yang putih mulus memegang tanganku dan bibir mungilnya mengecup tanganku. "Pagi sayang. I love you..." katanya tidak kalah manja dariku. Dia memanggilku dengan panggilan itu lagi? Ingin sekali aku membungkam mulutnya dengan pakaian dalamnya yang berserakan. "Pagi juga cantik. Love you too..." aku yang tak mau kalah mesra hanya mengecup keningnya dengan cepat. Perempuan itu melihat disamping meja tempat tidur dan tersenyum padaku. "Itu roti coklat keju sama s**u panas kesukaan kamu. Aku yang buat khusus buat kamu. Habis mandi dimakan ya. Aku juga udah siapin air anget buat kamu mandi." kataku mengacak–acak rambutnya gemas dan berjalan menjauh untuk membuka gorden kamar. Morisa melangkahkan kakinya ke kamar mandi dengan anggun. Ia masih terlihat sangat cantik walaupun baru bangun tidur dan tanpa riasan seperti biasanya. Hotel berbintang lima menghadap Pantai Kuta ini sengaja kusewa satu minggu untuk bulan madu kami. Romantis sekali bukan? Ya. Sangat! Terutama jika kuingat gaji satu bulan PNSku habis disetiap malamnya. Jam menunjukkan pukul lima dan Morisa belum juga keluar dari kamar mandi. Kemana perempuan itu? Aku mengernyitkan dahi, apa yang dia lakukan di kamar mandi selama berjam-jam? Aku memandangi roti coklat keju dan s**u coklat yang sudah tak lagi panas yang kuletakkan di meja samping kasur. Harusnya s**u itu diminum sebelum dingin, atau mungkin ia sudah mencicipinya? Layar datar televisi sedang menayangkan berita kriminal. Aku tersenyum lalu menekan tombol power televisi itu. Aku berjalan keluar setelah sadar bahwa tak ada lagi yang harus aku tunggu disini.  *** "Hallo... Ambulans? Ada mayat perempuan di kamar 369 Hotel Badaba, jalan Pantai Kuta, Bali..' kuhentakkan gagang telepon umum di tempatnya. Aku menarik kedua sudut bibirku sepanjang-panjangnya kemudian melenggang berjalan pergi tanpa tujuan. Aku tertawa puas. Benar-benar puas. "Dasar istri tidak tau diri! Dia memang pantas mendapatkannya!!" batinku kesal. Aku mengingat saat aku memasukkan racun ke dalam s**u coklat panas untuk Morisa. Dan aku telah memutuskan sebuah kabel listrik di dalam kamar mandi dan memasukkan kabel tersebut kedalam bathtub berisi air hangat untuk Morisa. Aku kembali tertawa.        Ada sedikit perasaan sesal pada hatiku, bukan karena aku telah membunuh perempuan yang baru kunikahi tiga hari itu, melainkan karena aku hanya bisa menerka–nerka bagaimana ekspresi Morisa saat kesakitan dan bagaimana proses kematiannya. Padahal, itu yang sesungguhnya aku nanti selama tiga tahun kami menjalin hubungan hingga menikah tiga hari lalu. Sesekali, aku diam menatap jalan yang ku pijak kemudian tertawa saat membayangkan tubuh Morisa yang indah mengejang. Dengan menunduk dan setengah terisak, aku membayangkan saat aku mengecup kening istrinya pagi tadi, malam kedua dihari pernikahan kami. Aku menghetikan langkah kakiku, memejamkan mata, dan berbisik lirih. "Aku begitu mencintaimu Morisa Indriana Putri. Seandainya kau tau sayangku, menikahi wanita kalangan atas sepertimu adalah sebuah anugerah bagiku. Hanya saja, kau lebih pantas mati disbanding hidup denganku selamanya!!!" aku tertawa dan membuka mata. Tuhan, aku tak pernah sebahagia ini. Aku meneruskan langkah kakiku dan memasukkan kedua tangan ke dalam saku celanaku. Tak ada sebutir air kesedihan pun yang keluar dari mataku. Hanya ada senyuman terpajang di bibirku, yang lambat laun lebih terasa sebuah seringai... 

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

UN Perfect Wedding [Indonesia]

read
75.8K
bc

HELP ME - BAHASA INDONESIA (COMPLETE)

read
10.0M
bc

Tuan Bara (Hasrat Terpendam Sang Majikan)

read
113.1K
bc

Rujuk

read
911.6K
bc

MY ASSISTANT, MY ENEMY (INDONESIA)

read
2.5M
bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
60.7K
bc

DIA UNTUK KAMU

read
35.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook