bc

It's, Hmm Okay

book_age0+
27
FOLLOW
1K
READ
love-triangle
sex
goodgirl
drama
sweet
bxg
gxg
bisexual
like
intro-logo
Blurb

It's, hmm Okay

Drama Romance (GxG dan BxG)

Tak pernah terpikir oleh Vita untuk ada di hubungan ini. Menjalani hubungan dengan Lisa bertahun-tahun, tunangan dari sahabatnya semenjak kuliah. Lisa dan Ardi akan menikah beberapa bulan lagi. Tak hanya itu, bukan hanya Lisa yang selama ini menaruh hati pada Vita, namun Ardi pun. Bagaimana mereka menjalani hubungan Cinta Segitiga ini?

chap-preview
Free preview
It's, Hmm Okay!
Langit sore ini tidak lagi biru, merah jambu. Warna kegemaran ku. Walau tak lebih gemar daripada kegemaranku pada pemilik rumah yang ada di hadapanku ini. Perempuan ini mencuri segalanya dariku. Hati, perhatian, hidupku. Burung-burung tak bernyanyi semerdu biasanya, turut berduka cita atas perasaan tak terduga. Rasanya berdiri di hadapan pintu ini hari ini pun berbeda. Ting…Tong…           Aku menekan tombol putih di sisi kanan pintu dengan telunjukku. Jantung tak karuan, hari ke-3 dia tak menjawab semua panggilan dan pesanku. Sesuatu terjadi padanya, risauku.  Pintu kayu jati itu tak juga memberi reaksi hingga aku menekan tombolnya kembali.           “Ar… Ardi…”.           “Eh, Vita…”. Lelaki bertubuh atletis dengan bulu halus di atas hidung dan rahangnya melempar senyum padaku. Kemeja putih yang ia kenakan membuatnya terlihat lebih bersih walaupun berkulit gelap. Ardi menjulurkan wajahnya ke samping wajahku bergantian. “Jadi lu udah pulang? Just worried aja sih Di. Lisa nggak bisa di hubungin beberapa hari ini soalnya. Gue kesini cuma ngecheck kalo dia baik-baik aja. Lu kan udah nitipin dia ke gue, jadi gue cuma jaga kepercayaan lu aja” jawabku sekenanya. Lisa lahir di Manado di tahun yang sama denganku dan ia hidup di Jakarta seorang diri. Sehari-hari, ia hanya bekerja sebagai penulis artikel online di beberapa majalah online. Dia pandai merangkai kata, hanya tak pandai merangkai hati. Ia pandai mengutarakan apa yang terjadi di sekitarnya, namun tak pandai mengutarakan isi hatinya sendiri. “Kapan datengnya?”. Aku tak tahu, apa kedatangan Ardi lah penyebab Lisa mengacuhkanku atau ada hal lain yang menganggu pikirannya. Biasanya, Lisa selalu memberitahuku untuk tidak menghubunginya ketika ia bersama tunangannya ini. Ia pasti memberitahu, bukan menjauhiku. Kami selalu berusaha membangun komunikasi sebaik mungkin karena hanya itu yang mampu mempertahankan hubungan rahasia kami sampai sejauh ini. “Baru aja sampe kok. Masuk sini Vit” ajak teman sebangku kuliah ku dulu ini. “No, No, No. Gue nggak mau ganggu kalian lah. Lu kan baru aja sampe Jakarta. Udah sebulan nggak ketemu Lisa kan?”. Ayolah, jangan tahan aku! Apa senyumku belum begitu tulus untuk memberitahukanmu bahwa aku hanya ingin pergi? Pintu kayu dengan angka 10 itu berderit. Perempuan dengan t-shirt putih polos dan celana jeans sepaha muncul dari baliknya. Rambut hitam bergelombangnya urai tertiup angin dari arahku. Cantiknya Sayangku. “Lu pikir gue mati ya Vit?” tawa kecil dari bibir mungil yang ku rindu itu mengiringi. “Hahaha enggaklah, khawatir aja gue Lis. Ah, yaudah oke. I am look so stupid”. Aku belum terbiasa untuk berada diantara mereka berdua. Rasanya aneh. Berada di antara teman kuliahku dan tunangannya, yang juga kekasihku. Wajahku pasti terlihat merah saat ini. So Awkward. Aku selalu berhasil menghindar dari posisi ketiga bertatap muka diantara mereka berdua. Sampai hari j*****m ini tiba. Pertahananku runtuh seketika. “Yaudah, gue duluan ya. Gue harus ke kantor”. Aku tak tahu harus bersikap seperti apa saat ini. Aku hanya ingin melangkahkan kaki, menjauh dari pasangan ini. Karyawan salah satu perusahaan ternama di Bandung ini mengajakku untuk makan malam bersama mereka. Lelaki yang hanya datang untuk berkunjung kerumah Lisa, 3 bulan sekali itu memaksaku tinggal. “Duh, Next time aja kali ya Di. Kalian kan baru ketemu. Pasti mau berduaan dulu kan?”. Aku menepuk bahu Ardi, mencoba meyakinkannya untuk melepasku pergi. Aku tak berani menatap Lisa. Aku tak ingin Ardi curiga dari caraku menatapnya. Ku tahan cemburuku. Tidak adil rasanya. Baru bulan lalu Ardi datang dan menguasai perempuanku selama dua minggu. Membuatku tak dapat menghubunginya. Hanya menerima 1 sampai 2 kalimat ucapan jangan lupa makan dan jangan tidur larut dalam sehari. Dan kini ia datang untuk merenggut waktu yang seharusnya menjadi milik aku dan Lisa? Pertemuan aku dan Lisa yang Ardi atur setahun lalu membuatku jatuh hati pada perempuan ini. Aku tak bisa memungkiri rasa yang sering ku acuhkan pada perempuan-perempuan lain. Aku benar-benar menginginkan Lisa. Dan ternyata perasaanku tak bertepuk sebelah tangan. Kecupan pertama saat kami berdua berada di bawah hujan waktu itu membuatku yakin bahwa ia memiliki rasa yang sama. Beruntungnya, kami. Dapat menemukan satu sama lain walaupun cukup terlambat karena kini ia terlanjur mendampingi teman kuliahku. “So, have a nice weekend guys. Sekali lagi, Sorry udah ganggu kalian ya” ucapku sedikit melangkahkan kaki menjauhi pijakan mereka. “Sombong deh nih orang. Mentang-mentang baru diterima di Bank gede, jadi nggak mau kumpul. Lagian, Bank cabang mana yang buka di hari Minggu? Lu ngajak gue bercanda?” Ardi menghampiriku, melingkarkan otot lengan gagahnya di antara leherku. Menarikku untuk masuk ke rumah yang menjadi saksi bisu Ardi dan Lisa serta aku dan Lisa bersetubuh. Aku benci keadaan ini. Aku tak bisa berada diantara mereka berdua. Aku harus melihat perempuan yang ku sayang berdampingan dengan lelaki yang akan mengikat janji dengannya akhir tahun ini. Selalu menjadi perbincangan hangat berujung pertengkaran hebat antara aku dan Lisa. Diharuskan menjadi saksi mereka berbincang mesra, sentuhan-sentuhan ramah, tatapan penuh cinta. Sialan, sakitnya. Tak dapat ku bayangkan apa yang akan terjadi nanti setelah mereka mengucap janji selamanya. Mungkin aku akan pergi, keluar Pulau atau Negara kalau perlu. Obrolan yang bergema tak jauh dari persiapan pernikahan mereka. Ardi meninggalkan kami berdua untuk menghisap rokoknya. Lisa tak pernah suka dan mencoba meminta Ardi berhenti. Ardi menolaknya. Sebagai solusinya, daripada harus berbohong pada Lisa dan tetap melakukannya di tempat lain, ia hanya berjanji untuk tidak melakukannya dihadapan perempuan kesayangan kami. “Sorry Lis” buka ku. Aku tak tahu harus memulai darimana. Salah bicara sedikit, habislah aku. “Hah? Sorry for?” jawabnya sinis. Aku tak suka tatapannya. Sama seperti saat ia mengetahui aku berkirim pesan atau jalan dengan perempuan dan lelaki lain. Ia mudah sekali cemburu. Ia selalu ingin aku hanya menghabiskan waktu dengannya. Sedangkan saat ia bersama Ardi, aku hanya bisa menunggu. Duh, Cinta. Sanggup membuatku Gila! “Kamu mau mulai jauhin aku?”. Aku tak bisa menutupi wajahku yang menahan tangis. Jangan jatuh, jangan jatuh air mataku. Aku hanya belum siap menerima kenyataan bahwa ia berubah pikiran. Mungkin merasa bersalah atas hubungan kami. Salah karena ia tahu akan menyakiti aku dan Ardi jika semua ini tersingkap. Aku menanti sesuatu keluar dari bibirnya selama beberapa detik. Dan ia tak juga membukanya. Hanya punggung tangan yang mengatup-atup. Seakan berbicara. Seraya memberi lebih banyak tanya. Lisa tak mematahkan pandangannya padaku. Ia menggerakkan kepalanya kekiri dan kekanan bergantian, memberi jawab tidak. Perempuan yang tak ku temui sejak 4 hari lalu itu bangkit dari singgasananya, membawa piring dan gelas kotor ke dapur miliknya. Aku membuntuti. Dapur setengah redup ini terasa lebih hangat dari biasanya. Cahaya bulan pun tak sanggup menembus lewat jendela. Apa karena si empunya memendam api amarah padaku. Aku tak tahu dimana letak kesalahanku. Aku tak tahu penyebab dia semarah ini hingga ia mengacuhkanku. Aku selalu mencoba memahami dia. Mungkin, “bodoh” yang akan terucap jika seseorang mengetahui kisah kami. Namun aku tak peduli. Sebab apapun yang terjadi, aku yang rasa sendiri. Jadi, untuk apa mendengar kicau orang lain yang tak turut andil apapun di hubungan kami? Lisa menarik lenganku, mendekatkan wajahnya padaku. Aku dapat menghirup sisa sup ayam buatannya. Ia memejamkan mata dan aku tak tahan untuk tak melumat bibir itu. Bibir kami saling bergulat. Rasanya, nikmat. Aku meletakkan sebelah tanganku di pinggulnya dan sisanya diantara rambut halus dibelakang lehernya. Suara paduan bibir kami bergema diruangan ini. “Maaf ya Sayang, aku juga nggak tau kenapa Ardi tiba-tiba bisa dateng nggak ngasih kabar apa-apa. Sumpah” cobanya menjelaskan. “3 hari tanpa kabar Lis?! Ardi baru dateng hari ini kan? Terus kenapa kamu bisa ngilang dari aku selain kamu lagi sama Ardi?” aku melepaskan tanganku. Saatnya bicara lebih serius dengan dia. Aku butuh penjelasannya, lebih dari kasih sayangnya saat ini. Jauh lebih butuh. Lisa mematung kembali. “Sorry, I really mess up. I just, s**t! I don’t understand you Lis. Kamu berubah!”. Aku memberi 1 langkah kaki ke belakang. Dia harus tahu, aku tidak terima dengan perlakuannya padaku. Dan ia tak boleh main-main denganku. “Aku juga nggak ngerti kenapa aku begini Vit!” Lisa menutup wajahnya dengan kedua tangannya. “Too easy for you hah?!”. Suara langkah kaki kearah kami. Ardi kembali. Aku melepaskan ikatan kuda di rambutku dan mengaitkannya kembali. Menyibukkan diri, mengalihkan emosi. Ardi tersenyum padaku. Langkahnya menuju Lisa serta menempatkan bibir di bibir Lisa. Ia pun merasakan bibirku secara tidak langsung. Bekas bibirku masih disana kan? “Di, gue pulang duluan ya. Udah malem soalnya. Takut ketinggalan kereta gue nih”. Aku tak suka pemandangan biadab ini. Aku benar-benar ingin pergi. “Yaelah. Gampanglah Vit, kayak sama siapa aja sih lu. Kan gue masih bisa anter nanti. Santai kali!” Ardi meneguk isi botol dari dalam lemari pendingin. “Jangan, jangan Di. Gue masih bisa pesen ojek online kok. Gue nggak mau ganggu kalian” setengah berlari aku menjauhi posisi mereka dan segera mengenakan jaket jeansku yang ada di sofa sebelumnya. “Ganggu apaan sih Vit! Daritadi ganggu ganggu mulu. Lu nggak kayak biasanya deh. Marahan sama Lisa ya? Atau lagi ada masalah? Cerita lah Vit jangan di pendem gitu” Ardi mengejarku dan menggenggam tasku. Ia berusaha menahanku. Marah dengan Lisa? Mana sampai hati. Aku ingin buktikan bahwa aku jauh lebih baik dari Ardi. Mungkin lebih baik jika ia bersamaku daripada dengan Ardi. Dan masalah terbesarku? Masalah terbesarku adalah jatuh cinta dengan tunangan teman dekatku. Masalahku adalah jatuh cinta dengan seorang perempuan. Masalahku adalah harus bersandiwara baik-baik saja dihadapan Ardi. Masalahku adalah kenyataan bahwa cepat atau lambat aku akan berpisah dengan Lisa. Masalah-masalah yang hanya bisa ku bagi dengan diri sendiri tanpa ada solusi. Yang aku lakukan hanya, jalani dan jalani. “Numpang ke toilet dulu deh Di” jawabku singkat. Aku dapat mendengar Lisa mencuci piring bekas kami di dapurnya. *** Sepanjang perjalanan, Ardi berusaha menghiburku yang tidak bisa memecah pikiran sedari tadi. Ardi memutar lagu-lagu dan menyanyikannya dengan suara sumbang hanya agar aku tertawa. Namun, aku masih saja tak bisa berhenti memikirkan Lisa. Aku tak ingin ia meninggalkanku begitu saja, aku belum siap. Aku yakin bisa menerimanya walaupun di kemudian hari ia adalah seorang istri dari sahabatku, Ardi. “Oke, sampe nih”. Ardi menghentikan mobilnya tepat di depan pagar rumahku. Aku tak henti memikirkan yang kami tinggalkan di rumah sebelumnya. Perempuan itu. Apa yang dia rasakan sebenarnya? Masalah yang aku tinggalkan disana. Aku belum juga tahu penyebabnya. Ah, sudahlah. Sakit kepalaku. “Lu kenapa diem aja daritadi selama dijalan Di?” tanyaku. Apa dia tahu apa yang terjadi diantara aku dan Lisa? Terciumkah aroma hubungan rahasia kami? Aku harus bersyukur atau takut? “Nggak apa-apa Vit. Cuma ngerasa lucu aja sih. Kenapa lu keliatan selalu tau segalanya. Ngerasain semuanya. Lu keliatan mandiri. Selalu bisa mengatasi apapun sendiri. Nggak pernah mau nerima bantuan dari orang lain. Gue bisa anterin lu sekarang aja ngerasa beruntung banget gue” Ardi tersenyum lebar padaku. “Hahaha, sarap deh!”. “Gue nggak pernah berhenti kagum sama lu Vit. Gue masih suka sama lu, nggak pernah berubah. Sorry baru ungkapin sekarang”. Jawaban Ardi membuatku tertawa. Candaannya kali ini cukup menggelitik isi perutku. “Kok ketawa? Kapan sih gue pernah boong sama lu Vit? Lu pasti tau kenapa dari dulu gue selalu ada buat elu. Kenapa gue selalu rela ngelakuin apapun buat elu. Kenapa gue nggak pernah mau lost contact sama lu. Bahkan gue lebih pilih dateng ke wisudaan elu daripada nemenin Lisa pulang kampung dulu. Gue cuma nggak mau ngerusak hubungan baik yang susah-susah gue bangun sama lu selama ini”. Masalah baru apalagi sih ini? Lelaki seperti ini yang Lisa cintai? Yang membuat Lisa berani lari, lari dari kenyataan bahwa ia juga bisa jatuh cinta pada perempuan. “Eh, Thank you loh Di udah mau anterin gue. Salam buat Lisa ya”. Aku mencoba meluruskan pikiran Ardi, mengingatkannya bahwa ia memiliki Lisa. Ardi kembali menempatkan pipi kanannya di pipi kiriku sebagai tanda perpisahan dan begitu sebaliknya. Ia mendekapku begitu erat. DUH! Aku mulai tak nyaman dengan keadaan aneh ini. “Hmm, Di. Gue nggak bisa turun dari mobil lu kalo posisi lu kayak gini deh”. “Kayaknya gue lebih nyaman kayak gini daripada harus liat lu masuk atau gue jalan pulang deh Vit. Gue nyaman banget kayak gini. Gapapa kan?” Ardi makin mengeratkan pelukannya. “Gue tau, gue suka parfum mahal lu. Tapi nggak harus kayak gini Di” ucapku diiringi tawa. Jangan terbawa suasana Vita! Jangan lebih gila dari yang ada. Ardi membalas tawaku dan mulai mengendurkan tangannya. Ia menatapku dengan tatapan yang terlalu dalam. Hingga, ia memajukan wajahnya. Aku menghempaskan bahunya mundur cukup kuat. Aku menelan ludah yang sedari tadi terperangkap di ujung tenggorokan. Kacau sudah. “So, sorry Vit. Sumpah, gue nggak lagi mabok atau galau kok. Gue mau nyium lu dari dulu tapi…”. “Lu gila ya? How about Lisa? Kok lu bisa tega sih sama dia?” patahku pada ucapannya. Aku melepaskan sabuk pengaman di kursi ku. ”Come on Vit. Oke, gini gini. Gue nggak maksa lu buat nggak bilang ke Lisa deh” Ardi menepuk-nepuk roda stir. Sambil menatap lurus kearah jalan. “Lu tau lah, gue nggak bakalan ngancurin hubungan orang. Bentar lagi lu udah mau nikah. Berapa hati yang bakalan hancur gara-gara kita? Kenapa lu nggak mikir sampe situ sih Di?”. Kasihan Lisa. Aku tidak terima menjadi pelarian untuk keduanya. “Unbelievable…” aku menghela nafas begitu dalam. Namun. Ada tarikan di kedua sudut bibirku yang tak dapat ku tahan. Apa yang harus membuatku tersenyum atas kejadian ini? Perasaan apalagi ini? Kegilaan ini tak henti-henti. Aku memberitahu Ardi bahwa ia bisa saja bercerita padaku saat ia sedih atau ada masalah, tapi bukan berarti ia dapat memperlakukanku seperti ini. Dia harus sadar bahwa ia sudah memiliki komitmen dengan Lisa. Dan aku tidak ingin menjadi pelampiasannya. Bagaimana bisa semua jadi begini? Aku mengambil tas dari bangku belakang dan membuka pintu mobil Ardi. Setengah berlari aku berjalan memasuki halaman rumahku. Perasaanku berkecamuk. Aliran darah yang sama seperti saat Lisa mengecup bibirku. Degupan jantung yang sama. Dan hasrat yang? Aku mengetuk jendela mobil Ardi. Kaca yang bergerak turun perlahan. Aku merapatkan bibirku pada bibirnya. Ternyata, rasanya sama.    *** “I was her, she was me. We were one, we were free. And if there's somebody calling me on,  She's the one. If there's somebody calling me on. She's the one” Lirik She’s The One dari Robbie Williams mengiringi balutan bibir Lisa yang merindukanku siang ini. Salah satu lagu favorite kami. Bercerita mengenai seorang lelaki yang harus melihat perempuan yang pernah dan masih mengisi hatinya bersanding dengan lelaki lain. Akan terjadi padaku suatu saat nanti. Lisa menghubungiku pagi tadi, memintaku kembali untuk bicara. Dan aku tak pernah sampai hati untuk berkata tidak bisa atau tidak mau datang tiap ia memintaku. “Aku seneng banget kamu mau kesini Sayang. Aku bener-bener kangen” ucapnya di sela pagutannya. “Aku cuma punya waktu setengah jam. Aku mulai capek kita gini-gini aja. Nggak ada perkembangan di hubungan kita. Malahan, aku rasa kamu makin jauh” jawabku menahan bibir yang berusaha menelan bibirku kembali. “f**k off ahh Vit! I don’t care about anything! I just wanna be with you like this, okay?” ia masih berusaha meraih kembali bibirku dan aku menahannya. “Kamu kenapa Vit? Kamu nggak suka?”. Kedua sisi dalam alisnya hampir menyatu. “Nggak apa-apa”. Lisa berlalu meninggalkanku, menekan tombol pause di handphonenya. Membuat lagu sendu kami berhenti. Aku mengikuti Lisa kembali kearah dapur. Ia mengambil dua gelas kaca dan membuka lemari pendingin lalu menuang jus jeruk kedalamnya. Ia menanyakan pakaianku hari ini. Tidak biasanya aku mengenakan dress seperti ini. Ia hanya melihatku mengenakan jeans, t-shirt, dan jaket. Ia menertawakan penampilanku hari ini. Aku suka membuatnya tertawa. Hal yang jarang Ardi dapat lakukan pada Lisa. “Kamu lupa kalo aku juga perempuan? Lupa ya, jatuh cinta sama perempuan?” Aku suka menggodanya. Aku pacar perempuan pertamanya, begitupun dia. Ia berjalan perlahan. Aku menatap kaki jenjangnya mengarah padaku. Jemarinya menelusuri punggungku yang nampak jelas. Bulu romaku berteriak. Geli. Ia menarik-narik bagian bawah dress sepahaku. Wajahnya hanya beberapa senti dari wajahku. Dan tangannya berlarian di celah antara kedua pahaku. Jus jeruk di tanganku hampir tumpah. “Stop Lis…” ucapku. Ia membalikkan tubuhku, membelakanginya dan menarik ke atas bagian bawah dressku. “Coba sini aku liat! Kamu pake celana dalem warna apa ya hari ini?”. “Enough Lis…” aku menepis tangannya yang meraba-raba isi celana dalam yang menarik perhatiannya. “Aku nyesel deh pake dress kayak gini”. Lisa meraih gelas dari tanganku, meletakkannya di meja. “You’re so naïve Vita. Nolak tapi suka. Kamu berusaha bikin aku tergila-gila sama kamu ya?”. Lisa mendorongku lembut ke dinding. Senyumnya begitu menggairahkan. Menggoda. Nakal. Dan aku suka godaan yang nakal. “Don’t you think? 3 hari tanpa kabar. Kamu berusaha bikin aku tergila-gila sama kamu ya?” aku masih butuh penjelasannya. Mengapa ia tak juga memberi apa yang aku inginkan. Perempuan yang tak henti mengisi hariku hampir setahun belakangan ini terus tak henti pula berusaha menciumi bagian-bagian sensitive di tubuhku. Ia mendesis. Bagian bawah tubuhku semakin bereaksi. “Sayang, aku minta kamu kesini karena aku mau cium kamu. Aku mau peluk kamu. Aku kangen d**a kamu. Aku kangen parfum kamu. Aku kangen desahan kamu. Aku kangen badan kamu. Aku kangen kamu. Bisa nggak sih kita nikmatin aja waktu yang ada” Lisa berbisik di telingaku seraya menjulurkan lidahnya masuk. Aku tak kuasa. Ia begitu ganas mencumbuku. Aku meremas kantung belakang celananya. Menjulurkan lidahku di leher jenjangnya. Aku membuka 3 kancing atas baju miliknya. Aku juga rindu dia. Walau aku tahu, bisa saja semalam ia melakukannya dengan Ardi. “Jadi kamu nyuekin aku karena aku bilang ke kamu kalo aku nggak akan dateng ke pernikahan kamu sama Ardi?”. Aku tak putus asa. Mencari jawaban disela desahan. Aku harus tahu jawabannya. Lisa menarik ke atas black dress sepaha hadiah ulang tahunku yang ke-25 dari Ardi. Ia menghentikan tarikannya saat hanya wajahku yang tersisa di dalam pakaianku. Ia mengecupi wajahku yang terhalang dress dengan tawa kecil. Tanganku menjalar di dadanya. Suara pintu terbuka. “Aduh, Ardi…” bisik Lisa. Ku dengar suara langkah kakinya menjauh. Aku buru-buru menurukan pakaianku agar wajahku dapat melihat keadaan di depan. Lisa menanyakan kedatangan Ardi yang terlalu cepat. Ardi pergi untuk membeli beberapa perabotan rumah. “Kamu abis ngapain? Kancing kamu kebuka gitu. Muka kamu kok merah sih sayang? Wajah kamu juga anget. Kamu sakit ya?” tanya Ardi. Aku dapat mendengarnya dengan jelas. “Ah, masa? Aku nggak kenapa-napa kok”. Ardi mengajak Lisa keluar rumah dan meminta bantuannya untuk mengangkat meja ke dalam rumah. Mereka beriringan keluar rumah. “Kamu boong ya? Nafas kamu aja cepet gitu. Kamu juga agak pucet deh. Coba, apa yang kamu rasain Sayang?” tanyanya kembali. Iyalah dia begitu, kami baru saja b******u. Tapi terganggu. “Aku nggak kenapa-napa, Sayang”. Ardi berjalan menuju dapur. Hendak mengambilkan air putih hangat untuk Lisa, sial. Aku membungkuk masuk bersembunyi di bawah meja makan milik mereka. Aku keluar dari meja makan saat Ardi pun keluar rumah menuju mobilnya, mengambil barang lainnya mungkin. Aku berlari menghampiri Lisa. Lisa memberikan heels, jaket, dan tasku yang sebelumnya ku letakkan di samping sofa. “Sayang, jangan ke depan. Ardi masih ambil barang” ujarnya. Dress ku tak berbentuk lagi. Mereka melingkar di leherku. Dan rambut cantikku, berantakan sudah semuanya. Masih sempat Lisa meremas bokongku, dasar gila! Lisa menyuruhku naik ke lantai atas, menuju kamarnya. Aku berlarian mengalungi tas, memegang jaket, dan heels ku. Aku bersembunyi dibalik pintu serta mencoba membenahi pakaianku. Langkah kaki. Lisa menyusulku. Aku membiarkan dress dileherku agar Lisa tetap dapat melihat d**a menggemaskanku. Hal yang selalu ia rindu. Mungkin ia masih ingin mengucap salam perpisahan dengan mereka. “Vita, why are you here?”. Suara seorang lelaki mengejutkanku. Ardi. Ardi melihat tubuhku seperti ini. Salah sasaran!  “Aku… Aku kesini, mau cium kamu lagi. Just like a sudden whim Di, Sorry Sorry” jawabku. Apa ini takkan membuatnya curiga? Lebih baik ia tahu aku datang untuknya. Apa yang akan ada di pikirannya jika aku dengan kondisi seperti ini berdua dirumah dengan Lisa. Sedangkan aku menolak untuk menemaninya belanja perabotan rumah tadi pagi. Ardi tersenyum lebar dengan jawabanku. “Are you crazy? Lisa kan ada di bawah Vit. Kamu diem-diem kesini ya? Lewat mana? Lain kali ya Sayang”. “Tadi pas kalian ambil meja ke mobil, aku buru-buru masuk ke kamar. Lisa pasti sibuk beresin perabotan. Dan kamu pasti mau ganti baju dulu kan? But, Okay. I’ll go” jawabku. Aman sudah. Dia tak curiga kan? Apa ia bisa menghirup aroma persetubuhan kami?  “You’re so crazy, girl!” Ardi menjepitkan telunjuk dan ibu jarinya di pipiku. Ardi menyuruhku segera keluar dengan hati-hati. Aku berlari turun. Ardi mengikutiku sampai di anak tangga. Aku menoleh ke kanan, Lisa yang tengah meneguk segelas air putih di dapur mengibaskan tangannya, memintaku untuk segera keluar. Begitupula Ardi diatas tangga, mengibaskan tangannya, memintaku keluar. “It’s, hmm Okay!” ucapku sambil berjalan menuju pintu. Begini rasanya dicintai pasangan gila?! ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Undesirable Baby 2 : With You

read
161.9K
bc

GADIS PELAYAN TUAN MUDA

read
465.5K
bc

Partner in Bed 21+ (Indonesia)

read
2.0M
bc

Si dingin suamiku

read
491.1K
bc

Mengikat Mutiara

read
142.4K
bc

CEO Dingin Itu Suamiku

read
151.5K
bc

LIKE A VIRGIN

read
841.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook