Sah Menjadi Suami Istri

1604 Words
“Saya terima nikah dan kawinnya ....” Faisal kembali menghentikan akad nikahnya. Lidahnya seolah kelu menyebut nama gadis lain yang bahkan tidak dia cintai. “Nada Malika Azahra. Sekali lagi kamu enggak bisa sebut nama Nada, jangan salahin papa kalau kamu jadi pengangguran,” ancam Pak Surya, membisik pelan di dekat telinga Faisal Zayn. Hati pria itu berteriak kesal. Ingin rasanya dia memberitahu semua orang bahwa yang ingin dia nikahi adalah Isabella Calista, perempuan cantik bertubuh semampai dan banyak digandrungi kaum lelaki. Namun, kini Faisal justru mengucap akad nikah untuk gadis lain yang bahkan baru beberapa kali dia temui. Apalagi, gadis itu menurutnya tak sebanding dengan Bella yang bertubuh elok karena Bella seorang balerina. “Kita ulang sekali lagi. Mas Fais, tolong fokus, niatkan dalam hati bahwa Mas ikhlas meminang Mbak Nada,” nasihat si penghulu. Ikhlas? Hati Faisal tertawa miris mendengar nasihat penghulu itu. Pernikahan ini adalah sebuah paksaan, bagaimana mungkin dia bisa ikhlas. Tapi, pada akhirnya Faisal mampu meloloskan nama Nada dari mulutnya. “Saya terima nikah dan kawinnya Nada Malika Azahra binti almarhum Bapak Solihin dengan mas kawin tersebut. Tunai.” Sorak ‘sah’ para saksi membuat hati Faisal semakin getir. Dia menatap sengit sosok Nada yang hendak menyalaminya. Perempuan bercadar itu kini telah sah menjadi istrinya. *** Hans berdiri di depan Faisal dengan raut menahan tawa. Faisal menduga kalau temannya itu datang hanya untuk mengejeknya. Namun, di situasi sekarang, dia hanya bisa menatap sinis Hans yang tiba-tiba menghadang langkahnya saat dirinya dan Nada hendak menuju kamar hotel untuk istirahat karena acara resepsi telah usai. “Selamat ya, Bro,” ucap Hans. “Hm.” “Senyum dong, masa cemberut sih.” Faisal dengan terpaksa menarik sudut bibirnya. Tapi hanya sekilas. Benar-benar sekilas. Mungkin sedetik pun tidak ada. Kemudian pandangan Hans tertuju pada Nada yang berdiri di samping Faisal. “Hai, cantik,” sapa Hans. Faisal melotot mendengar temannya itu dengan sangat gamblang menggoda Nada. Padahal Nada adalah perempuan yang menutup dirinya bak mutiara di dalam lautan. Harusnya Hans malu menampakkan sifat playboy-nya itu. “Kenalin, aku Hans. Hanselo Ramdani,” ujarnya, memperkenalkan diri. Dan hebatnya dia dengan berani menyodorkan tangan ke arah Nada, seolah tidak tahu kalau Nada itu adalah tipe cewek yang pasti akan menolak berjabat tangan dengan lelaki bukan mahram. Di sisi lain, mata Faisal terus mengawasi tangan Hans. Dia khawatir Hans akan bersikap lancang, contohnya memaksa memegang tangan Nada. Faisal tidak mau hal seperti itu terjadi. Bukan karena cemburu, tapi dibandingkan Hans, dia masih memiliki kewarasan, dia masih bisa menjaga batasan. Sedangkan temannya itu, Faisal tidak yakin Hans si otak kotor mampu menjaga batasan. “Baru kali ini tanganku dianggurin sama cewek,” kata Hans, ketika Nada membuat tangannya lama menggantung di udara. Faisal tersenyum miring. Diam-diam mengejek kebodohan temannya itu. Ya jelaslah dianggurin. Lagian si Hans emang kurang kerjaan banget. Sudah tahu Nada tidak mungkin menerima jabatan tangannya, tapi masih saja dia menggoda gadis itu bahkan mengajukan diri untuk bersalaman. “Tapi, btw, tangan istrimu kelihatan mulus banget ya,” ujar Hans sambil melirik ke arah Faisal dengan senyum nakalnya. “Lancang,” hardik Nada. Matanya menatap tajam ke arah Hans, bahkan Hans yang terkenal angkuh sampai merasa terintimidasi dengan tatapan Nada yang diselimuti amarah. “Minta maaf sama saya,” suruhnya, tegas. “Oh, waw. Tenang, jangan marah. O-oke, aku minta maaf,” ucap Hans. Benar-benar patuh. “Tapi, demi Tuhan aku enggak bermaksud melecehkanmu. Aku hanya ... bercanda,” terangnya, kikuk. Faisal yang menyaksikan hanya bisa melongo. Bingung sendiri dengan power apa yang Nada miliki sampai perempuan itu mampu membuat Hans tergagap. Nada membuang napas kasar. Dia berlalu pergi usai Hans mengucapkan maaf padanya. “Waduh, beneran ngamuk tuh istrimu,” ujar Hans. “Lagian kamu itu ngawur banget kalau ngomong. Makanya dijaga mulutmu itu, Hans. Awas kamu kalau sampai aku yang kena getahnya,” omel Faisal, dia langsung menyusul Nada. Bukan karena khawatir gadis itu ngambek, tapi dia takut kalau Nada akan mengadu pada Pak Surya ataupun Bu Hanum. Di dalam kamar hotel. Tarikan napas Nada tampak memburu, seolah ada emosi yang terpendam di dalam dadanya. Nada mencoba meredam amarahnya dengan duduk di tepi ranjang. Tak lama kemudian, Faisal terlihat masuk ke dalam kamar hotel itu, dia langsung berjalan mendekati Nada yang masih mengatur emosinya. “Soal omongan Hans tadi, aku harap kamu tidak mengadukannya ke mama sama papa,” pinta Faisal. Dia khawatir jika Nada mengadukannya maka dirinya tidak akan dibiarkan berteman dengan Hans lagi. Terlebih, Hans ini memang sangat problematik di mata kedua orang tuanya. “Kamu ngikutin aku sampai sini cuma mau bilang begitu?” tanya Nada, matanya yang tampak berbinar itu memandang kesal ke arah Faisal. “Hans cuma bercanda. Lagian dia sudah minta maaf sama kamu kan,” cakap Faisal. Nada menyeka sudut matanya. Dia paham maksud Faisal, pria itu secara tidak langsung mengatainya lebay. Ngapain sih sedih cuma karena dikatain tangannya mulus. Ya, mungkin pujian itu lumrah, tapi tidak bagi Nada yang mati-matian menjaga harga dirinya. Bak seorang ratu yang tinggi martabatnya, seperti itulah sosok Nada yang menggenggam kuat imannya. Bagi Nada, pujian dari laki-laki yang bukan mahram adalah hinaan untuk dirinya. “Aku mau mandi, kamu keluar sana,” ujar Faisal kemudian. Nada membuang muka, menolak titah suaminya yang menyuruhnya pergi. “Aku istrimu.” “Terus kenapa kalau kamu istriku?” “Sudah sewajarnya aku ada di sini. Dan enggak seharusnya kamu suruh aku keluar,” kata Nada. Faisal mendesis. “Emang bantah sama suami termasuk contoh istri sholehah?” tangkisnya. Seketika Nada diam. Bingung sendiri mau bagaimana. Jika ia menuruti perkataan suaminya, artinya dia menjadi perempuan bodoh yang nurut saja ketika diusir. Tapi kalau enggak nurut, kesannya emang kayak bantah. Di saat Nada sibuk dengan pikirannya, tangan Faisal tiba-tiba mencekal lengannya, pria itu lantas menarik paksa Nada untuk keluar dari kamar hotel tersebut. “Aku enggak mau keluar dari kamar ini, Mas,” tolak Nada. “Lagian ini malam pertama kita. Harusnya kita mengobrol dan saling mengenal satu sama lain—” “Mimpi! Ogah aku ngobrol sama kamu. Apalagi berduaan sama kamu. Cih! Jijik,” cibirnya sambil mendorong Nada keluar dari kamar hotel. Pria itu benar-benar mengusirnya tanpa belas kasih. Namun .... “Faisal!” Hardikan keras itu menggelegar saat Faisal hendak menutup kembali pintu kamar hotelnya. ‘Sial.’ Batin Faisal menggerutu kesal. Dia yakin ayahnya itu pasti akan mengomelinya karena sudah ketahuan mengusir Nada dari kamar hotel. “Berani kamu usir istri kamu kayak gitu, Fais? Udah siap nganggur kamu?” ancam Pak Surya. Ancamannya itu selalu berhasil membuat Faisal kicep. Pasalnya, semenjak Faisal dipecat dari pekerjaan lamanya di Taiwan dan kembali ke Indonesia, Faisal memang mengemis meminta pekerjaan pada sang ayah. Padahal Faisal adalah anak tunggal, tapi saking tak mau memanjakan anaknya itu, Pak Surya menolak memberikan pekerjaan secara cuma-cuma di perusahaan miliknya. Karena itu, dia memberi Faisal syarat yang cukup sulit, yaitu Faisal harus mau menikah dengan Nada. Tentu saja saat itu Faisal menolak. Dengan keangkuhannya, dia sangat percaya diri bisa diterima di perusahaan lain selain PT. Artha Jaya milik ayahnya. Namun, sialnya, karena sebelumnya saat di Taiwan dia dipecat dengan catatan telah merugikan perusahaan, Faisal pun akhirnya selalu ditolak di perusahaan lain. Hingga pada akhirnya, setelah satu bulan lebih luntang lantung sebagai pengangguran dan mulai kehabisan uang tabungan, Faisal yang tak mau miskin ... terpaksa menerima persyaratan ayahnya. Dan dua bulan lalu usai melamar Nada, Faisal benar-benar diberi pekerjaan oleh sang ayah. Pria itu bahkan langsung menduduki jabatan sebagai direktur pemasaran. Sungguh enak sekali hidup menjadi anak orang kaya. “Gimana? Mau pilih papa pecat atau kamu bawa Nada masuk dan jangan sampai papa denger Nada ngadu ke papa kalau kamu jahatin dia. Sedikit aja kamu buat dia terluka, awas kamu,” ancam Pak Surya. Faisal mendengus kesal. “Sebenernya anak kandung Papa siapa sih? Bisa-bisanya Papa malah belain si Malika kedelai hitam ini,” sungutnya. “Jaga mulut kamu, Fais,” tegasnya. “Nada itu perempuan baik-baik, sudah rugi dia menikah dengan laki-laki amburadul sepertimu,” ujar Pak Surya. “Tapi, aku—“ “Masih saja bantah.” Pak Surya yang terlampau kesal mendadak mencopot sepatunya, lalu memukul Faisal tanpa peduli kalau mereka menjadi tontonan beberapa tamu hotel lainnya. “Pa, ampun, Pa. Iya, iya. Aku minta maaf. Aduh! Pa ....” Faisal yang sudah kepalang malu langsung memilih bersembunyi di belakang Nada. Dia tahu kalau ayahnya tak mungkin akan melayangkan sepatunya jika ada Nada sebagai tamengnya. “Enggak usah sembunyi, Fais. Hadapi papa. Jangan jadi pengecut kamu,” ujar Pak Surya, menantang. Tantangan itu membuat harga diri Faisal diuji, jika menolak maka hancur sudah harga dirinya, ia merasa seperti tikus yang pengecut. Akhirnya, Faisal sedikit menggeser tubuhnya dari belakang Nada, menatap sang ayah yang masih bersungut kesal padanya. “Pa, aku itu bisa aja lawan Papa. Aku sembunyi di belakang Malika bukan karena takut, tapi khawatir nanti kalau kita duel beneran, Papa kal—” Bugh! Sepatu hitam mengkilap itu dengan sangat mulus mendarat di muka Faisal, membuat pria itu membeku seketika. “Lemparan bagus, Pa,” sahut Bu Hanum. Tak disangka wanita paruh baya itu justru mendukung suaminya yang tengah menghukum putranya sendiri. Bukan karena tak sayang pada Faisal, tapi Bu Hanum mendengar sendiri betapa tidak bersyukurnya Faisal memiliki Nada sebagai istrinya. Di sisi lain, Faisal masih terdiam. Wajahnya merah padam. Jejak sepatu sang ayah masih terlihat jelas membekas di wajahnya. Kedua tangan Faisal terkepal, bukan karena marah, bukan juga karena sakit. Tapi rasa malu yang dirasakannya membuat Faisal rasanya ingin tenggelam saja. “Mas enggak pa-pa?” bisik Nada. Faisal langsung menoleh ke arah istrinya itu, bola mata hitam pekatnya memandang Nada sengit. ‘Awas kamu. Ini semua gara-gara kamu, Malika.’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD