Siapa namamu?
Sore itu, di sebuah toserba.
Seorang gadis dengan gamis longgar dan cadar yang membingkai wajah cantiknya, menyusuri lorong makanan ringan. Daftar belanjaan di tangannya sudah dicoret-coret sebagian, tinggal mencari beberapa item lagi sebelum ia bisa kembali ke rumah dan melanjutkan tugas hafalannya. Dia berhenti di depan rak mi instan, menimbang-nimbang antara varian kari atau soto. Pandangannya lurus ke depan, sedikit ke atas, fokus pada deretan bungkus-bungkus mi yang warnanya mencolok. Tanpa ia sadari, sepasang kaki mungil bergerak mendekat lalu tiba-tiba saja tangan kecil itu menarik rok gamisnya.
Ayunda, gadis di balik cadar itu tersentak kaget. Baru mendeteksi keberadaannya setelah beberapa bungkus mi yang sudah ia ambil dari rak jatuh berserakan di lantai.
“Astagfirullah!” seru Ayunda panik seraya membungkuk untuk memunguti mi instan di antara kaki mereka. “Ada yang menimpamu?”
Gadis kecil setinggi pinggang Ayunda itu menggeleng, menampilkan wajah tenang yang begitu cantik.
Ayunda tersenyum tipis di balik cadarnya, lega. “Ada yang bisa aku bantu, Nona Kecil?” tanyanya lagi.
Sayangnya, kesan ramah yang Ayunda beri tidak mendapat respons selain kedipan mata yang menggemaskan. Ayunda bertanya-tanya sambil melihat sekeliling mereka yang lenggang, “Mana orang tuamu?”
Lagi, hanya tatapan tak terbaca yang Ayunda terima. Gadis lima belas tahun itu mulai merasa tak nyaman. Ia tidak sedang dalam kondisi yang bisa mengulur waktu untuk berurusan dengan anak hilang. Ayunda meringis, punggungnya mulai terasa kaku demi menyejajarkan tinggi dengan anak itu. “Siapa namamu?”
Ayunda lagi-lagi mencari keberadaan orang lain dalam toserba itu, tapi tak ada seorang pun yang terlihat linglung mencari gadis kecil di depannya, semua tampak sibuk dengan daftar belanjaan mereka masing-masing. Ayunda mengembuskan napas hingga kain cadarnya tertiup sesaat. “Baiklah. Mungkin tempat ini punya kamera pengintai. Itu akan membantu kita.”
Ayunda mengulurkan tangannya dengan ajakan bersahabat, “Nona Kecil, ikutlah denganku. Kita temukan orang tuamu.”
Sekitar beberapa detik telapak tangan Ayunda hanya digelitik udara, tatapan gadis tak bersuara di depannya terlihat ragu untuk menyambut. “Sungguh, aku orang baik. Niatku membantumu,” bujuknya lembut. “Aku tidak akan berbuat jahat padamu.”
Namun, tetap saja tak ada jawaban. Maka, Ayunda memilih cara lain, yakni menelisik gadis kecil itu. Pakaiannya bersih dan tak ada kotoran sedikit pun. Kain gamisnya halus, dan paduan dengan jilbabnya tepat seperti anak kalangan berkelas. Tubuhnya juga mulus bersih, utuh. Tidak ada tanda-tanda mencurigakan ....
“Maaf, merepotkan Anda.” Sapa sebuah suara di belakangnya.
Ayunda yakin pria itu sempat berlari sebelum mengerem mendadak hingga sepatunya berdecit. Pun suaranya masih terdengar terengah di punggungnya. Ayunda tersenyum kecil, refleks bangkit dan berbalik, “Putri Anda? Syukurlah.”
Ayunda pun berdiri di samping gadis kecil tadi, “Ayahmu datang,” katanya terdengar senang.
Ayunda kemudian sedikit mendorong bahu gadis itu untuk datang kepada pria tersebut. Namun, suara asing terdengar. “Dia bukan Abati. Beliau Paman Khairan,” jawab gadis itu tegas.
Ayunda sedikit terkejut, dipikirnya anak tersebut tak bisa bicara. Nyatanya suaranya begitu halus dan jernih.
“Kemari, Khadijah,” panggil paman gadis itu lembut. “Terima kasih bantuannya, Nona. Saya tadi ke toilet sebentar.”
Ayunda mengangguk saja. Sebenarnya tak terlalu penting juga untuk ia ketahui alasan pria itu apa, asalkan gadis kecil tersebut kini aman bersama pamannya. Jadi, ia pun buru-buru mendorong troli dan menjauh.
“Nona...!”
Ayunda berbalik, “Ya?”
“Biar saya bayar belanjaan Anda,” katanya menyusul.
Ayunda lekas menolak, “Oh, tidak perlu repot-repot.”
Namun, pria itu tampak kecewa. Ayunda jadi lain rasa saat melihat kesungguhan di matanya. Gadis bercadar itu pun tak punya pilihan lain. “Baiklah, terima kasih,” jawabnya akhirnya.
Seulas senyuman tipis mengembang di bibir pria itu. Kesan menawannya langsung mengudara di benak Ayunda. Ayunda lekas menundukkan pandangan dan berbalik kembali memunggungi mereka. Sebenarnya Ayunda pikir pria itu terlalu muda untuk jadi seorang paman, tapi... itu bukan urusannya. Tugas hafalan dan selesainya daftar belanja adalah yang utama bagi Ayunda.
“Perkenalkan, saya Khairan,” katanya mengiring langkah, Khadijah di tengah-tengah.
Desiran aneh Ayunda sadari. Keberadaan pria asing itu terasa ... normal, padahal Ayunda biasanya jaga jarak dari selain mahromnya. Sebenarnya Ayunda ragu untuk berkenalan, tapi sekedar nama tentu tak masalah. Khadijah juga tampak menunggu jawabannya. Gadis kecil itu mendongak kepada Ayunda dengan tangan terkait jemari pamannya. “Ayunda, namaku,” kenalnya kepada Khadijah dengan senyuman lembut.
Mereka berjalan beriringan menuju area kasir. Selama perjalanan singkat itu, Khairan berusaha memulai percakapan ringan. Ayunda hanya menjawab seperlunya dengan nada suaranya yang tetap ramah.
“Boleh saya mengirimkan beberapa hadiah ke alamat Anda? Saya benar-benar berterima kasih karena Anda sudah menemani keponakan saya. Saya pasti kena masalah besar kalau dia hilang... lagi.”
Ayunda pikir pria itu ingin lebih panjang percakapan mereka. ‘Lagi’, kata itu menandakan ini bukan keteledorannya yang pertama. Namun, Ayunda tak bisa berlama-lama meladeninya. Kondisi dalam hati yang riak, bukan untuk dituruti. “Tidak perlu, saya ikhlas melakukannya,” tolak Ayunda halus.
Pria itu sempat terdiam sejenak, seperti ragu untuk mengucapkan sesuatu. “Atau kami antar Anda pulang? Saya merasa perlu melakukan sesuatu untuk menebus kelalaian tadi.”
Ayunda lebih ngeri lagi. Kemudian dia pun menyebutkan alamatnya daripada harus dicerca pertanyaan oleh Ummanya di rumah. “Saya tinggal di pesantren Darul Qur’an.”
Dengan tenang pria itu mengangguk. “Adakah nama Ayunda lain di sana? Mana tahu hadiahnya salah sasaran.”
Mereka sampai di kasir, syukurnya antrean cukup lenggang. “Hanya saya yang bernama Ayunda di sana.”
Lagi, pria itu hanya mengangguk tenang.
Ayunda melirik jam tangan sesaat, tepat menegaskan kalau ia sedang buru-buru. “Mohon maaf, saya harus pulang sekarang. Sekali lagi terima kasih,” katanya merujuk pada kantong belanjaan.
Dia menggeleng kalem, tapi sangat ... tampan. “Saya yang berterima kasih.”
Pria bernama Khairan itu menepuk pundak gadis kecil di sampingnya seraya tersenyum tipis. “Ucapkan terima kasihmu, Khadijah.”
“Terima kasih, ...” Khadijah menatap pamannya, ragu. “Bibi atau Kakak?”
Ayunda tergelak kecil, “Sesukamu saja, Nona Manis.”
“Terima kasih, Bibi.”
Ayunda luluh, merasa terberkati saat bersinggungan dengan Khadijah. Tanpa sadar ia membungkuk, menyejajarkan wajah kepada Khadijah. “Cobalah untuk terus di dekat pamanmu jika berada di keramaian.”
“Baik, Bibi. Hati-hati di jalan.”
Ayunda tersenyum simpul dibalik cadarnya lalu melambaikan tangan setelah mengucap salam perpisahan.
Sementara itu, Khairan berdiri mematung, matanya terpaku pada kepergian Ayunda. Bukan karena ingin melihat wajahnya, melainkan karena ia terpesona oleh keanggunan Ayunda yang tetap tenang meskipun baru saja tertimpa musibah kecil. Ada sesuatu yang begitu menenangkan dari gestur tubuh dan suaranya yang lembut. Kesan ramah dan baiknya menyegarkan.
Menyaksikan peringatan halusnya untuk Khadijah, Khairan merasakan sesuatu yang hangat menjalar di hatinya. Gadis yang terus menolak berdekatan itu ternyata memiliki kepekaan dan hati yang baik. Sikapnya yang tenang dan sigap membantu orang lain telah meninggalkan kesan mendalam bagi Khairan. Ia tidak menyangka akan menemukan kebaikan sebesar itu di tempat yang tak terduga ini.