"Kurasa... gagal lagi, Paman."
Khairan tersentak tipis oleh nada lesu keponakannya. Ia paham arti dari ekspresi itu. Segera, ia menekuk lutut, menyejajarkan diri dengan gadis kecil berusia enam tahun itu. "Jangan khawatir, Khadijah. Kau sudah melakukannya dengan baik."
Khadijah mengangkat wajahnya sedikit, sorot matanya yang polos menembus pandang Khairan. "Percuma menghibur, Khadijah tahu."
Khairan tersenyum tipis, singkat saja. Jemarinya bergerak lembut mengusap jilbab Khadijah. Kembali pandangannya lurus, mencari jejak terakhir Ayunda yang kini benar-benar telah sirna dari jangkauan mata. Pertemuan singkat mereka memang telah usai, namun bagi Khairan, itu barulah permulaan. Nama dan alamat gadis itu, beserta kenangan singkat mereka, akan membekas dalam benaknya.
"Kita masuk toserba lagi, ya?" Khairan berucap, suaranya berusaha ceria. "Paman akan belikan sesuatu yang kau mau. Sebagai hadiah penghargaan atas keberanianmu."
Mata Khadijah langsung berbinar penuh harap.
"Paman serius," Khairan meyakinkan, melihat ekspresi keraguan yang sedikit melintas di wajah mungil itu.
Tanpa menunggu lama, Khadijah menarik Khairan cepat ke deretan barang yang disukainya. "Permen, boleh?" tanyanya antusias.
Khairan sempat menggaruk kepala, meskipun tidak gatal. Sudah pasti ia akan kena omel Khumaira kalau kakaknya itu tahu rahasia kecil mereka ini. "Pamanmu sudah dapat satu masalah. Bagaimana kalau biskuit saja?"
Khadijah menghela napas pendek. "Baiklah."
"Lain kali," Khairan berkata lagi, "Paman janji hadiahmu permen kalau kau bisa memulai percakapan dengan orang asing. Janji!"
Khadijah mengangguk, meski wajahnya masih sedikit masam.
Sepanjang perjalanan pulang, di tengah cahaya senja yang mulai meredup, Khairan sempat memikirkan hadiah apa yang tepat untuk Ayunda. Sudah beberapa kali Khairan dan Khadijah melakukan "demonstrasi" ini, membiarkan Khadijah sendirian untuk menyapa orang asing. Sayangnya, hingga kini, belum membuahkan hasil yang memuaskan. Khairan mengatur napas, memerhatikan keponakannya yang asyik menikmati biskuit di sampingnya. Keduanya duduk di bangku belakang, leluasa mengobrol apa saja. Khadijah memang kurang sekali dalam berkomunikasi, bahkan seringnya, anak itu tak bisa menjawab jika orang asing yang mengajaknya bicara. Entah faktor pengasuhan neneknya, Latifa Bakrie, atau memang anak itu yang tak mau membuka diri. Khumaira sering khawatir karena Khadijah sebentar lagi akan masuk usia sekolah dan harus tinggal di asrama, meskipun sekolah tersebut juga milik ayah mereka.
"Suka biskuitmu, Khadijah?" sapa Khairan lembut, seraya menyisihkan remah kecokelatan di sisi mulut kecilnya.
Gadis itu lekas mengangguk, wajahnya menampilkan rasa senang yang polos. Namun, tidak mengatakan apa-apa.
Khairan melirik ke bagian leher jilbab Khadijah. Di sana, sebuah kalung yang sudah ia modifikasi melingkar. Khairan menempatkan sensor pelacak lokasi dan penangkap suara besertanya. Dengan alat itu, Khairan biasanya duduk manis di dalam mobil, membiarkan Khadijah pergi sendirian mencari orang yang gadis itu pilih secara acak untuk disapa. Khairan harus buru-buru mendekat saat tadi Ayunda mengajak Khadijah memeriksa kamera pengintai toserba, tentu saja agar rahasianya tak terbongkar. Toilet hanyalah alasan sederhana yang biasa digunakan.
"Paman..."
"Hm, ya? Ada apa, Saleha?"
Suasana temaram mulai menyelimuti, mobil mereka melaju perlahan membelah jalanan sore yang mulai lengang. Khadijah menatap Khairan, matanya mengerjap pelan. "Bibi Ayunda, boleh Khadijah memberi hadiah untuknya juga?"
Khairan terkejut. Rasanya sudah belasan orang yang menjadi "korban" operasi mereka, tapi baru kali ini Khadijah memikirkan ulang "mangsa"nya, bahkan repot-repot ingin memberi hadiah juga. "Ada alasan khusus?"
Khadijah mengerjap beberapa kali. Gadis itu sepertinya berpikir keras untuk alasan yang ingin dia sebutkan. "Khadijah suka. Bibi Ayunda tidak langsung memperlihatkan wajah sebal saat Khadijah tidak mau menerima ajakannya. Beberapa kali dulu mereka sampai menarik paksa Khadijah."
Khairan tersenyum, ia pun ingat bujukan lembut Ayunda yang masuk ke alat pengupingnya. Pernah terjadi, Khairan sampai mendengar tangis ketakutan Khadijah karena pemaksaan yang dia sebutkan. "Bibi Ayunda tidak menakutkan, ya?"
"Dia terasa seperti Ummi dan Nenek sekaligus."
Khairan tentu mengernyitkan kening karena sulit mengerti maksudnya.
"Tepatnya dia terasa sepertimu, Paman."
Khairan makin heran. Selama ini ia nyaman dengan dirinya sendiri dan tak pernah peduli tanggapan orang lain terhadap dirinya. Dikatakan Khadijah begitu, Khairan mulai memikirkan, "Aku... sosok yang hangat?"
Khadijah mengangguk tanpa ragu.
Khairan tak tahu, tapi ia pikir begitulah kesan yang diambilnya untuk seorang Ayunda dari percakapan dan sikap singkatnya terhadap Khadijah tadi.
"Dia cocok menjadi Abinaya," imbuh Khadijah lagi, melengkapi pemikirannya.
Khairan memang menaruh kagum kepada sosok Ayunda, tapi rasa-rasanya itu bukan alasan tepat untuk memboyong seorang gadis masuk ke keluarga Abinaya. Tidak semudah itu.
***
Ini... gila!
Begitu bisikan yang menggelegar di benak pemuda itu, mengusik tidur pulasnya malam ini. Keringat membanjiri tubuh, membasahi seprei hingga terasa lengket. Dengan ragu, dia mengintip isi selimut, pelan dan penuh tanya, ingin melihat apa yang bagian vital celananya kabarkan. Dan setelah mendapatkan jawaban, ia segera menutupnya kembali. Suara tegukan salivanya terdengar nyaring di telinga, beradu dengan deru pendingin ruangan dan degup jantung yang berpacu tak seperti biasanya.
Hanya ada dua kemungkinan: Khairan Abinaya yang jenius berubah jadi pemuda messum dalam semalam, atau... sesuatu yang lebih pekat dari itu... cinta menyapa. Kemungkinan pertama mengerikan, kemungkinan kedua... benarkah?
Pemuda itu bangkit segera dari pembaringannya. Sambil mandi junub, ia berusaha menenangkan pikiran yang kalut. Air dingin yang mengguyur biasanya tak dipermasalahkan, tapi kali ini membuat tubuh atletisnya menggigil gemetar. Demi Tuhan, biasanya Khairan yang memberi saran atas masalah orang lain, detik ini rasa malu malah mendominasi dirinya dan membuat pikirannya buntu hanya karena satu mimpi basah. Pengalaman pertama memang hal yang mendebarkan.
"Khairan...!"
Ketukan pelan terdengar bersama suara ayahnya, Bintang Abimayu.
Khairan seketika gugup. Entah sudah berapa kali seruan itu memanggil, yang jelas ia baru bisa menangkap suara itu setelah kembali ke kamarnya. Entah kapan dirinya pernah segugup ini seumur hidup, padahal tak ada satu pun manusia yang tahu aibnya.
Oh, bukan. Mimpi basah pertama bukan dosa, itu tanda bahwa Khairan sudah benar-benar dewasa, selaras dengan usia tujuh belas tahunnya.
Khairan tersentak dari alam bawah sadarnya saat gagang pintu bergerak seolah dipaksa membuka. "Khairan, kau masih... tidur?"
Tanya ragu Bintang terdengar jelas sekali di telinga. Memang nyaris mustahil bangun kesiangan bagi para Abinaya, khususnya pewaris trah utama. Dan, Khairan salah satu yang termuda, yang dicanangkan akan menempati posisi itu selanjutnya. Sering ia berdoa semoga hal itu tidak terjadi saja. Khairan terlalu suka hidupnya daripada mengurusi perusahaan permata Abinaya dan segala hal memusingkan itu. "Sebentar, Abati."
Gerakan lugas dan mantapnya dalam sekejap menghasilkan penampilan baru. Sekilas saja Khairan menyeka rambut di depan cermin sebelum membuka pintu.
Tatapan heran sang ayah tertuju utuh, menyelidik. "Biasanya kau yang menungguku. Sesuatu terjadi?"
Khairan mencegah otaknya untuk mengirim sinyal kepada bibir. Jangan sampai ia menggulungnya, untuk menunjukkan sinyal benarnya tebakan sang ayah.
Lima detik Khairan ditelaah, hampir lupa ia menghirup udara untuk paru-parunya. Hampir hilang napasnya.
"Sudah azan," kata Bintang setelah suara sayup panggilan itu mencapai telinga mereka.
Perjalanan pagi pun dimulai. Langkah kaki bergegas menuju masjid, menyambut Subuh. Seperti semua hari yang pernah Khairan lewati, mereka akan mengarungi pagi dengan semangat ketakwaan.
Subuhnya pagi itu terasa janggal, tak sepenuhnya khusyuk. Pikirannya dipenuhi bayangan Ayunda, sosok yang entah bagaimana, kini menghantuinya di setiap sudut kesadarannya. Perasaan Khairan campur aduk. Sedikit malu, sedikit gentar, tapi muncul keyakinan baru yang membuncah dalam dirinya. Perpaduan kejadian kemarin dan mimpi tadi menciptakan satu kesimpulan. Khairan mengambil napas dalam-dalam. Inilah saatnya.
"Abati..." panggil Khairan, suaranya sedikit tertahan, jantungnya berdebar tak karuan.
Bintang menoleh, menatapnya dengan pandangan penuh perhatian. "Ya. Terjadi sesuatu?"
Khairan menelan ludah, matanya lurus menatap sang ayah. Detik itu terasa seperti keabadian, semua keraguan dan kegugupan ditepisnya. Bagaimanapun, Khairan sudah menodai seorang gadis dalam pikirannya. “Khairan ingin menikah, Abati."
Orang tua biasa mungkin akan menertawakan pernyataan itu, tapi Bintang mendengar dan bereaksi tenang. Pria matang itu menghentikan langkahnya, menatap lekat sang putra. "Menikah?"
Khairan mengangguk mantap.
Bintang masih menelisik, tak ada perubahan yang terjadi. Helaan napasnya pelan, "Kalau pembicaraanmu ini serius, tunggulah di ruang kerjaku. Setidaknya Ummi harus tahu kita sudah kembali."
"Khairan akan menunggu, Abati."