Cahaya subuh masih temaram, menyusup pelan ke ruang kerja Bintang. Lampu meja yang dinyalakan menerangi tumpukan buku dan berkas di meja. Di luar, langit mulai menampakkan semburat jingga, memecah kegelapan malam yang perlahan sirna.
“Jadi,” Bintang memulai dengan tenang, suaranya pelan namun serius, “siapa gadis beruntung ini?”
“Namanya Ayunda,” Khairan menjawab cepat, dengan rona tipis di pipinya, berusaha menepis sensasi mimpi yang masih terasa jelas.
“Nama ayahnya?” tanya Bintang.
Khairan terdiam, pandangannya meredup. Ia tak tahu. Ruangan hening sesaat, hanya terdengar deru AC dan suara serangga pagi dari luar.
“Khairan,” Bintang kembali berbicara. Rasanya masih terlalu dini bagi putranya untuk ikatan seserius pernikahan. Namun, yang bicara adalah Khairan Abinaya, bukan pemuda sembarangan yang akan asal mengutarakan niatnya. “Yakin, pernikahan yang kau inginkan?”
Khairan menunduk, meremas jemarinya. “Ya, Abati.”
Bintang mengangkat kepala. “Beritahukan alasanmu.”
“Khairan tahu, pernikahan membutuhkan lebih dari itu. Pengetahuan tentang latar belakangnya, keluarganya, itu semua sama pentingnya. Akan tetapi, ini berbeda dari semua hal yang pernah Khairan miliki. Sulit dijelaskan, tapi nyata dialami,” Khairan berusaha menjelaskan. Namun, hal itu malah jadi tak jelas di telinganya sendiri.
“Abati tidak akan melarang niat baikmu. Tapi sebagai ayah, Abati harus memastikan dulu keputusanmu,” Bintang menatap Khairan dengan tatapan dalam. “Ini bukan main-main, Khairan. Ini janji suci di hadapan Allah yang akan jadi pengikatmu seumur hidup.”
“Khairan tahu, Abati.”
Khairan menggeleng pelan. Ayunda jelas bukan kebetulan, melainkan takdir. “Khairan ingin mendapat restu Abati dan Ummi dulu sebelum melangkah lebih jauh.”
Bintang tersenyum tipis, sebuah senyum bangga. Namun, pujian bukan hal yang akan menggambarkannya. Bintang menarik napas dalam, wajahnya serius. “Pernikahan adalah perjalanan panjang. Di situlah kesabaran, komunikasi, dan kemampuan beradaptasi kalian akan diuji. Rumah tangga, tempat di mana kalian berdua belajar menjadi pribadi yang lebih baik, saling melengkapi, dan tumbuh bersama di jalan Allah.”
Cahaya subuh kini semakin terang, mewarnai seluruh ruangan dengan kehangatan. Bintang menarik napas, “Kita akan mengundang kakakmu untuk makan siang nanti. Siapkan semua hal yang diperlukan untuk mendapatkan restu mereka,” kata Bintang mengakhiri.
“Abati... mengizinkan?” tanya Khairan ragu. Hampir-hampir tak bisa mempercayai pendengarannya sendiri.
Bintang menepuk bahu putranya dengan senyuman hangat. “Aku tidak meragukan putraku. Aku hanya perlu melihat siapa yang akan mendampinginya nanti.”
Wajah Khairan kini terlihat lebih cerah, lega karena mendapat lampu hijau dari ayahnya. “Baik, Abati. Terima kasih banyak.”
***
Di tengah siang yang sinarnya hangat, meja makan keluarga Abinaya terasa dingin, seolah aroma kari ayam kesukaan Khairan pun tak sanggup mencairkan ketegangan yang menyesakkan d**a pemuda itu. Khairan mati-matian menyembunyikan detak jantungnya yang berkejaran, pura-pura fokus pada makanan. Sesekali, ia mencuri pandang ke arah Khadijah, gadis kecil yang menjadi saksi pertemuannya dengan Ayunda, mencari secuil dukungan. Sayangnya, Khadijah terlalu asyik dengan hidangan di piringnya.
Bintang akhirnya memecah keheningan. “Ummi sudah tahu, Nak.”
Seketika, sendok di tangan Ifa bergemerincing di piringnya. Ia mengangkat kepala, menatap Khairan dengan ekspresi antara terkejut dan tak percaya. “Jadi... benar, Khairan?” Suaranya pelan, nyaris bergetar. “Putraku... ingin menikah?”
Khairan menelan ludah. Rasa bersalah sedikit menjentik di hatinya melihat sorot luka di mata sang ibu. “Iya, Ummi. Khairan serius.”
Gerakan Khumaira terhenti. Matanya membulat sempurna, menatap adiknya seolah Khairan baru saja menyatakan kegilaan. “Aku ingatkan, kau masih tujuh belas tahun, Khairan!”
“Abinaya juga menikah di usia muda,” balas Khairan tak acuh, sebuah argumen yang sudah ia siapkan.
Khumaira menatap ayah dan ibunya bergantian, tak habis pikir. “Mimpi apa kita semalam?”
Ifa menghela napas panjang, tatapannya beralih dari Khumaira ke Bintang, lalu kembali pada Khairan. “Mendengar selalu lebih dibutuhkan saat kita tidak mengerti.” Kelembutan bercampur kekhawatiran terpancar jelas di wajahnya. “Ummi tidak menyangka akan secepat ini.”
Khairan berusaha menjaga suaranya tetap tenang, menjelaskan, “Kami bertemu sekali, tidak benar-benar sengaja bertemu.”
“Cinta pada pandangan pertama, ya,” komentar Khalid dengan nada geli. “Percayalah, percikan itu bukan sembarang rasa.”
Khairan menggidikkan bahu. “Dari banyaknya kisah yang k****a, aku mengalaminya dengan cara berbeda. Sulit dijelaskan, benar-benar seperti saat orang bertanya mengapa Khairan Abinaya disebut jenius.”
Mereka semua terdiam. Khalid dan Khumaira punya kisah mereka sendiri, begitu pula Ifa dan Bintang. Kisah bagaimana rasa itu akhirnya muncul memang tak bisa selalu dijelaskan logika.
Bintang kembali buka suara. “Kita tahu Khairan terlihat tidak tertarik kepada gadis-gadis meskipun dia...”
“Agak ekstrem dengan kisah cinta,” lanjut Khumaira melengkapi kalimat ayahnya, dengan sedikit senyum mengejek. “Itu jelas. Dan, tiba-tiba jadi lebih menakutkan lagi.”
“Saleha,” tegur Bintang lembut.
Khumaira lekas kembali ke piringnya, sajian berupa burung merpati goreng.
“Tapi kau tidak bisa menikah dengan sembarang gadis, Khairan,” Ifa mengingatkan, lembut namun tegas.
Khairan mengangguk tenang. “Khairan yakin dia juga bukan gadis sembarangan, Ummi.” Ia menambahkan deskripsi yang terlintas di benaknya. Gadis dengan pembawaan anggun itu. Ayunda punya sisi feminin layaknya Latifa Bakrie. Di sisi lain, dia punya kesan ramah yang tak dibuat-buat. “Mungkin Khadijah bisa membantu.”
Semua mata tertuju pada gadis kecil yang tengah menggigit ayamnya. Khadijah tersentak, malu saat namanya disebut. Ia mengerjap bingung.
Bintang menatap singkat Khairan, lalu beralih kepada cucu semata wayangnya. “Saleha, kemarin kalian bertemu seseorang, bukan?”
Khadijah mengangguk polos.
“Nenek tebak, namanya Ayunda?” Ifa ikut membujuknya.
Mata Khadijah berbinar kagum, seolah Latifa Bakrie baru saja membaca riwayat perjalanannya kemarin. Gadis itu tiba-tiba menoleh pada Khairan, “Sudah diberikan hadiah dariku, Paman?”
Khairan menggigit bibir, refleks saja begitu, membuat alis Khumaira terangkat sebelah. “Kau memanfaatkan putriku, Pak Tua?!”
“Jadi....” Khadijah membuka mulutnya, dan seketika semua telinga mendengarkan. Kini gadis itu menjadi pusat perhatian, bahkan makanan terbaiknya terabaikan. Lugas ia mengulang kejadian kemarin dengan detail, termasuk perasaannya saat itu.
Posisinya yang berada di tengah Ifa dan Bintang memudahkan. Ifa mengelus rambut hitam cucunya dengan penuh sayang. “Kalian melewati hari yang menyenangkan.”
Bintang ikut tersenyum bangga sebagai respons ceritanya. “Dari sini kita tahu kalau Khairan berhasil dengan tugasnya. Khadijah bisa menyampaikan isi hati dan menceritakan ulang perjalanan kemarin.”
“Abati, bukan itu intinya! Khairan, pernikahan!” Khumaira angkat suara, frustrasi.
Khalid mengulum senyuman, tatapan usilnya terlihat jelas. “Menikahi cinta pertama dan menjadikannya satu-satunya, jujur saja itu pengalaman manis yang sangat... patut dimiliki. Sudah kuduga, kau memang keren, Nak.”
Khairan tersenyum tipis mendapat pujian itu.
“Apa yang kau inginkan, Khairan?” tanya Bintang kemudian.
“Mendatangi rumahnya. Khairan harap, Abati mau melamarnya untuk Khairan.”
“Jangan lupa, dia mungkin sudah punya seseorang di hatinya,” sindir Khumaira. “Kita bisa pulang membawa malu.”
“Patut dipertimbangkan,” kata Khalid menyetujui istrinya.
“Ummi mengerti perasaanmu, Nak. Ummi tahu cinta itu bisa datang kapan saja. Tapi Khumaira ada benarnya,” Ifa berkata dengan nada khawatir. “Kamu yakin sudah siap memikul beban itu? Siap menjadi kepala rumah tangga, mencari nafkah, dan membimbing istrimu?”
Khairan menatap mata ibunya. Rasa malu dan gentar menyeruak, namun tekadnya jauh lebih besar. “Khairan akan berusaha siap, Ummi. Khairan tahu ini bukan hal mudah, tapi Khairan yakin bisa melakukannya.”
“Apa kau yakin Ayunda bisa beradaptasi? Apa kau sudah siap dengan segala tuntutan dan ekspektasi yang akan datang?” Khumaira kembali menekan.
Khairan menatap kakaknya, menghargai kekhawatiran yang tersembunyi di balik kata-kata tajamnya. Bukan pernikahan mudah yang Khumaira miliki, sehingga Khairan paham sekali kepedulian tersembunyi Khumaira kepadanya.
“Bagi Khadijah, dia terasa seperti Paman Khairan,” celetuk gadis itu polos.
“Dia mungkin tergila-gila dengan kisah cinta juga,” Khalid menimpali putrinya, disambut tawa kecil.
Suasana meja makan sedikit mencair oleh candaan mereka. Namun, Khairan kembali membawa atmosfer serius. “Khairan mungkin terdengar sinting, tapi... Khairan akan bertanggung jawab penuh dengan keputusan ini. Khairan ingin kita mengunjunginya sore ini juga. Jujur, Khairan memang tidak mengenalnya kecuali sebatas nama, tapi Khairan sungguh-sungguh ingin menikahi Ayunda.” Khairan menegaskan niatnya.
“Lalu kita akan menemuinya?” tanya Khalid kepada semua anggota keluarga itu.
Khairan agak ragu untuk menyebutkan alamat Ayunda. Darul Qur’an, pesantren itu. Tempat dulu ayahnya sempat satu tahun ditempa sebelum diangkat menjadi pewaris Abinaya. Tentu itu akan membawa kenangan pribadi dan mungkin saja menimbulkan permasalahan panjang lainnya. “Aku punya alamatnya.”
Khumaira angkat tangan, “Boleh aku tidak ikut?”
“Khadijah ingin ikut. Mungkin Bibi Ayunda menyukai hadiah Khadijah?” tanya Khadijah polos kepada Ifa.
“Nenek rasa begitu.”
Kepolosan gadis kecil itu membawa riang kembali suasana. Masing-masing dari mereka berpikir, mungkin tidak ada salahnya mencoba.
Khumaira memelas, “Tidak adakah yang masih waras di sini? Kita mempertaruhkan nama besar Abinaya!”
Ifa menerawang sendiri, “Itulah yang dilakukan Nini Rani. Mempertaruhkan nama besar Abinaya untuk melamar seorang gadis yang bahkan tidak diinginkan oleh tiga puluh pria.”
Ifa menatap dalam putrinya, “Kita tahu aku berasal dari mana. Siapa yang menyangka kalau gadis yang dulunya bukan siapa-siapa ini adalah orang yang akhirnya meneruskan keturunan Abinaya?”
Bintang menggenggam tangan Ifa yang bergetar menahan diri. “Cinta sama sekali tidak mengerikan. Kita akan datangi rumah Ayunda dan melihatnya sendiri. Kita datang bukan sebagai Abinaya, tetapi bagian dari keluarga yang menginginkan kebahagiaan untuk Khairan. Tepat seperti yang Nyonya Rani dulu perjuangkan.”
Khumaira mengalah, mendesah lemah. Sementara itu, Khairan merasa beban berat di pundaknya sedikit terangkat. Setidaknya, ia sudah mendapatkan restu untuk mencoba. Khairan akan membuktikan bahwa Ayunda adalah pilihan yang tepat. Khairan memilihnya, bukan hanya oleh pesona sesaat, tapi oleh keyakinan hati yang mendalam.