Khairan ditemani seluruh keluarganya menuju kediaman keluarga Ayunda.
“Kita tidak salah mengambil belokan?” tanya Bintang dingin. Segala hal terasa membawanya pada sebuah napak tilas masa lalu yang tak terduga. Aura yang familier, tempat-tempat yang samar-samar ia kenali.
“Tidak, Abati.”
“Kau mungkin sudah membaca biografiku, Khairan. Tentu itulah alasan mengapa kau belum sedikit pun menyebut tentang alamatnya.” Bintang menghela napas berat, diliputi firasat yang kian pekat.
“Maaf, Abati,” lirihnya dengan ketegangan yang samar.
Namun, Bintang tak lagi bisa protes. Mereka terlanjur sampai di pondok pesantren yang ia takutkan. Ketika pintu rumah Ayunda terbuka, seorang perempuan menyambut, sorot matanya penuh tanya. “Ada keperluan apa?”
“Benar ini kediaman Ayunda?” Khairan memberanikan diri membuka suara. “Dia ada di rumah?”
Perempuan itu tampak menelaah, kerutan samar muncul di dahinya. Lalu, dari balik bayangan, sosok yang tak asing melangkah maju. Seketika, waktu terasa membeku bagi Bintang. Jantungnya berdebar kencang, membenarkan apa yang sejak tadi ia khawatirkan.
“Bintang Abimayu?” Suara Zahra tercekat, matanya membesar sempurna.
Khumaira refleks menutup mulutnya. Bintang hanya bisa mengangguk pelan, kepada kenyataan pahit di hadapan mereka. “Lama tak bertemu, Zahra.”
“A---ada apa...” Zahra tersadar bahwa tamunya bukan hanya dua orang. Matanya singkat menyapu deretan wajah asing itu, sebelum akhirnya menguasai diri. “Silakan masuk.”
Suasana canggung menyelimuti ruang tamu. Zahra meminta pelayan menyuguhkan minuman, sementara dia sendiri duduk, tatapannya lekat pada Bintang. “Sungguh hal yang tidak diduga.”
Bintang melirik Khairan sekilas, lalu kembali menatap Zahra, sorot matanya tajam. “Kuharap dia hanya salah satu dari santriwati di sini. Adakah yang bernama Ayunda?”
“Ayunda?” Zahra hampir memekik. “Dia membuat masalah dengan keluarga Anda?”
Bintang menggeleng ringan, sebuah senyum pahit tersungging di bibirnya. “Jawablah dulu.”
“Ayunda, satu-satunya Ayunda di sini adalah putriku,” jawab Zahra, nadanya penuh keheranan. “Ada keperluan apa dengannya, Tuan?”
Bintang terkejut, sepenuhnya. Tabir masa lalu mulai tersingkap, memperlihatkan kepingan takdir yang saling bertaut. Zahra adalah adik dari Hanifah, perempuan yang pernah hampir menjadi istri Bintang sebelum Ifa. Kisah tali takdir yang pupus di masa lalu, kini kembali muncul dalam bentuk yang paling tak terduga.
“Sungguh, Ayunda adalah putri saya satu-satunya. Dia memang masih termasuk santriwati di sini, usianya saja baru lima belas tahun.” Zahra meremas jemari tak tenang, “Adakah sesuatu yang salah dilakukannya?”
Khairan berkerut dahi. Tak menyangka usia Ayunda baru 15 tahun, padahal kesan anggun pembawaannya melebihi wanita dewasa. Pun, angka itu mirip jurang antara harapan dan kenyataan. Terlalu dini untuk sebuah pernikahan. Tentu pikiran itu akan singgah di semua kepala mereka, kecuali mungkin Khadijah dan Zahra yang belum tahu maksud kedatangan Khairan ke sana.
“Bagaimana, ingin melanjutkan niatmu?” tanya Bintang pada putranya.
Khumaira dengan cepat menggeleng, memberi isyarat putus asa pada adiknya. Khalid hanya menggidikkan bahu, seolah menyerahkan semua keputusan kepada Khairan seorang. Akan tetapi, saat tatapannya bertemu dengan sang ibu, Khairan menemukan ketenangan dalam diam Ifa, layaknya kemarin saat Ayunda menangani diamnya Khadijah. “Menurut Ummi, bagaimana baiknya?”
“Kita sudah sampai di sini, sebaiknya kita lihat dulu dia,” jawab Ifa, suaranya tenang, juga menenangkan.
Zahra yang tak paham arah tujuan pembicaraan mereka jadi bertanya-tanya, gelisah. “Sebenarnya ada apa? Apakah putriku melakukan sesuatu yang salah?”
Bintang menepuk lutut yang rasanya gemetar untuk beberapa saat, menahan gejolak emosi. “Bisa dibilang, iya... bisa juga tidak. Bolehkah panggilkan dia?”
Zahra tampak waspada, namun tak menyuarakan keheranannya. Saat Ayunda ikut bergabung, mata gadis itu jelas menunjukkan keterkejutan. Sempat dia berdiri terpaku. Ada rasa takut bercampur ingin tahu saat pandangannya melihat para tamu asing itu.
“Kemari, Ayunda,” panggil Zahra, nada lembutnya penuh isyarat.
Ayunda mendekat ragu, langkahnya tertahan. Namun, ada Khadijah di sana, yang tersenyum paling ramah menyambutnya. “Boleh Khadijah menyapanya, Ummi?” tanya gadis kecil itu kepada Khumaira, matanya berbinar.
Seketika Ayunda tersenyum, menguapkan ketegangannya. “Bagaimana kabarmu, Nona Kecil?” Ayunda menyapa Khadijah lebih dulu, suaranya lembut. “Terima kasih atas hadiahnya.”
Khadijah bersemu malu, menyembunyikan wajahnya di balik tubuh Khumaira.
“Kau membuat masalah dengan mereka?” tanya Zahra, berbisik pada putrinya, nadanya penuh kecemasan. “Mengapa mereka datang ke sini untuk menemuimu?”
Ayunda mengembuskan napas, sesaat itu membuat kain cadarnya ikut tertiup. Melihat itu, Khairan jadi tersenyum kecil, dan secara tak sengaja pandangan mereka bertemu.
Ayunda tersentak sendiri. Rasa tak nyaman mengerubunginya cepat. “Jadi, saya terlalu jelas menyebutkan alamat, ya,” Ayunda berkata sedikit menyindir. “Anda sampai di sini tanpa kesulitan, dan membawa rombongan?”
“Keluargaku ingin berterima kasih karena menolong kami kemarin,” jawab Khairan sambil menjaga tatapannya.
Ayunda tersentak kaget, tak percaya. “Karena bantuan sekecil itu?”
“Bagi kami itu tidak kecil,” Bintang menyela, nadanya serius.
Ayunda diam saja, menunduk. Pikiran orang kaya memang sulit dimengerti, batinnya. Bagi mereka, bantuan sekecil itu bisa jadi alasan untuk datang dengan rombongan besar dan menciptakan suasana tegang seperti ini.
Zahra menepuk pelan putrinya dengan kelegaan, “Syukurlah. Umma pikir kau berulah.”
Ayunda meringis. Baginya itu cukup melegakan. Tidak terjadi kesalahpahaman saja sudah sangat... alhamdulillah.
“Silakan dinikmati, seadanya,” Zahra canggung mempersilahkan. “Cantik sekali putrimu, Khumaira.”
“Terima kasih, Ustazah,” Khumaira menjawab canggung. Bagaimana pun juga mereka pernah menjadi murid dan guru.
Bintang memulai, mencicipi hidangan diikuti yang lainnya. “Sejak Kiyai Haris wafat, suamimu yang menggantikan, memimpin pondok?”
Zahra mengangguk, “Ya. Kami sekarang juga menambah kelas putri.”
Bintang melihat ke pintu yang terbuka, “Rasanya seperti kembali ke masa lalu. Boleh aku dengan putraku melihat-lihat? Sekadar menceritakan kisah lamaku di sini kepadanya.”
“Oh silakan.” Zahra sekali lagi menepuk putrinya, “Pinta Abah pulang, sekarang.”
Ayunda pun bangkit dan pamit dengan santun. Tanpa tahu semua mata keluarga Abinaya membuntuti langkahnya.
“Suami saya akan menemani Anda nanti,” kata Zahra ramah kepada Bintang. “Apakah putra Anda berminat sekolah di sini juga?” Tidak ada pikiran lain yang singgah di kepala Zahra selain itu tujuan kedatangan mereka. Pemuda di samping Bintang jelas masih sangat muda. Dan, mungkin seperti ayahnya dulu, akan masuk asrama Darul Qur’an selama satu tahun sebelum mengambil warisan takhta Abinaya.
“Ustazah,” Khairan buka suara. “Perkenalkan, saya Khairan. Sebenarnya tujuan kami datang bukan sekedar ingin berterima kasih, lebih dari itu saya ingin meminang Ayunda.”
Zahra tersentak. Ifa menahan napas. Khumaira menatap Khairan dengan ekspresi antara bangga dan cemas. Khalid tersenyum tipis. Sementara Bintang harus mengesampingkan hasrat ingin protesnya.
Zahra meneguk liur. Bunyinya bisa didengar mereka semua setelah ketegangan yang tercipta. “M-meminang?”
Khairan Abinaya dengan segala keyakinannya yang teguh, tetap bergeming. Hatinya telah memilih, dan Ayunda akan jadi cinta sejatinya. Khairan memutuskan untuk tidak menunda lagi niatnya. Ia akan menghadapi rintangan usia dan bayang-bayang masa lalu leluhur mereka bersama Ayunda.