Bintang menggeleng kalut. Jika pernikahan yang Khairan inginkan terwujud, putranyalah yang akan meneruskan takdir yang pernah ia rajut bersama Hanifa dulu. Sebuah ironi yang menyesakkan.
Bias jingga matahari menembus jendela ruang tamu. Udara terasa hangat, namun ketegangan di antara mereka tak tersentuh. Tak lama, Ayunda sudah kembali dengan seorang lelaki yang tak lain adalah ayahnya, Zulhan.
“Ayunda pamit, Assalamu’alaikum,” ucapnya sambil mengangguk singkat dan hendak menjauh kembali ke kamarnya cepat-cepat.
“Tunggu,” suara Zahra keluar, dingin dan tegas. “Duduklah, Ayunda.”
Perintah ibunya membuat Ayunda bingung, tapi gadis itu tetap menurut. Masih tak tahu apa-apa, Ayunda sekadar menyapa Khadijah yang malu-malu tiap mereka bersitatap. Khadijah yang menggemaskan membuat Ayunda abai dengan pandangan mata keluarga Abinaya kepadanya. Sama sekali ia tak tahu kalau situasi di sana sedang memperhatikan setiap gerak-geriknya.
“Ayunda...!” panggil Zahra mencekam.
“I—iya, Umma?”
“Mereka datang untuk melamarmu,” kata Zahra, raut wajahnya pucat pasi. “Katakan padaku, mengapa bisa... begini? Kalian bertemu diam-diam selagi berbelanja kebutuhan asrama?!”
“Tidak, Ustadah,” Khairan menyela dengan tenang. Sebelum suara Zahra semakin meninggi kepada Ayunda, Khairan perlu segera meluruskan situasi mereka. “Saya rasa Anda akan salah paham kalau memikirkannya begitu.”
Zahra beralih menatap Bintang, menuntut penjelasan daripada mendengar “bocah” itu, sebagaimana ia memanggil Khairan dalam hati.
“Dia serius. Dan, kalau sulit memercayainya, kami di sini untuk menunjukkan keseriusan yang sama,” jawab Bintang tenang, pandangannya lurus pada Zahra. “Kita tidak bisa menerka hati, Zahra. Sebagaimana yang terjadi padaku dan Hanifa, mungkin saja hal itu menimpa mereka. Berharap saja, hal buruk tak jadi penghalang seperti kisah kami.”
Zahra merinding seketika. Dia mengenal baik Bintang Abimayu dan leluhur mereka. Pernah bekerja sama sebagai salah satu guru di pondok pesantren milik Bintang. Ayahnya, Kiai Haris, bisa dibilang bersahabat dengan Abimayu, ayah Bintang. Kakaknya pernah akan menikah dengan Bintang itu sendiri. Zahra tak lupa, bagaimana cinta mereka diuji sedemikian rupa. Tak mau pula hal itu menimpa putrinya.
“A---apa yang dikatakan Umma?” Ayunda terbata, matanya hanya menatap lurus kepada Khairan seorang, menuntut penjelasan yang lebih masuk akal. Tubuhnya menegang, jantungnya berdegup tak karuan. Ia tak pernah menduga, bantuan kecil akan berimbas sejauh ini.
Khairan membalas tatapan itu, dengan kesungguhan. “Aku memintamu untuk menjadi pendamping hidupku, Ayunda.”
Hening, hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar, saksi bisu dari sebuah deklarasi yang berani, di tengah bayangan takdir masa lalu dan usia muda.
“Berikan jawabanmu,” imbuh Khairan tenang, memecah keheningan.
Semua mata tertuju pada Ayunda, menantikan jawaban dari gadis bercadar itu. “Ini... sungguhan? Maksudku, kita tidak saling mengenal.” Gadis itu berkata sebagaimana orang yang linglung. Masih tak masuk akal semua yang mengelilingi mereka saat ini.
“Aku, Latifa Bakrie. Aku ibu Khairan.” Ifa tiba-tiba bicara. Mata beningnya tertuju utuh kepada Ayunda dengan kalimat tenang, mengalir, dan berisi kelembutan nasihat. “Ini sungguhan. Kami datang dan mendukung keinginannya. Kami tidak memaksa, dan kami bersedia menerima penolakan. Itu bukan hal yang salah untuk dipilih.”
Ayunda melihat ibunya, dan wanita itu menggeleng jelas. Entah mengapa, Ayunda merasa ada sesuatu yang janggal. Ayahnya seperti tak akan mengeluarkan pendapat apa pun. Jelas terlihat cemas di wajahnya, tetapi tak berupa kata-kata.
“Pertimbangkan, usia kalian yang masih muda dan masa depan yang masih akan panjang,” Khumaira buka suara.
“Mungkin gadis ini sudah punya seseorang,” Khalid menepuk Khairan, mengolok, tapi juga menegarkan. “Ayo pulang, Jagoan.”
Bintang menggeser duduknya. “Biarkan dulu Ayunda. Sebagai orang tuanya, kalian mengizinkan Ayunda menikah di usia begini?” tanyanya kepada Zahra dan Zulhan.
“Tidak!” Zahra menolak, suaranya meninggi. “Kami tahu kalian keluarga baik-baik, tapi... aku hanya memilikinya. Ayunda terlalu dini untuk menikah. Mohon maaf, kami tidak bisa menerima pinangan apa pun sekarang.”
Bintang mengangguk paham. “Sudah dengar?” katanya pada sang putra.
Khairan menuli. Ada yang Ayunda sembunyikan dalam ketegangan ini. Gerak-gerik tak tenangnya benar-benar mencurigakan. “Bagaimana kalau pertunangan saja dulu? Hingga usia yang kalian restui, baru kami akan menikah.”
Ayunda mengangkat kepala, pandangannya tak terbaca. Khairan tersenyum lembut, “Jangan takut. Katakan saja, sekalipun ingin menolak.”
“Dan, bagaimana jika sebaliknya?” Ayunda tercekat, suaranya nyaris berbisik. “Itu yang kukhawatirkan.”
Semua beriak terkejut, termasuk Khairan sendiri. Bahkan Ayunda menutup mulutnya sekalipun setengah wajah jelas sudah ditutupi kain cadar. Gadis itu lekas menunduk saat tatapan ibunya menghujam kejam. “Ayunda!”
“Setidaknya dia tidak mengingkari hatinya,” Khalid berkomentar, takjub. “Sungguh, kita tidak boleh mengekang perasaan. Perasaan itu sendiri bukan kita yang mengendalikan.”
Zahra menatap suaminya, memohon bantuan. “Aku belum bisa berpisah darinya.”
Ayunda hanya bisa meremas jemari dengan perasaan luar biasa malu. Akan tetapi, Ayunda memang telah jatuh dalam pesona Khairan sehingga dia juga menginginkan pernikahan itu dilaksanakan. Rasa berdekatan mereka yang nyaman, dan tabuh riang hatinya yang melihat mereka datang. Hadiah kecil yang kemarin lebih dulu sampai juga membujuk Ayunda berfantasi jauh kepada pria itu. Selembar cadar sederhana dan sekotak biskuit cokelat yang dikemas dalam bingkisan istimewa kemarin menyambutnya ketika pulang. Entah bagaimana, hadiah mereka lebih dulu sampai di alamat Ayunda daripada kaki gadis itu sendiri. Terselip di dalamnya kertas tertanda Khairan dan Khadijah serta ucapan terima kasih.
Ayunda masih menepis hasrat hati yang terus ingin mengulang pertemuan mereka. Gadis itu sejak pagi tadi sudah mendoktrin diri supaya tak kembali mengingat mereka, bahwa sesaat saja kenangan manis itu, kemudian akan jadi memori yang tersimpan jauh hingga terlupa. Namun, kenyataannya sore ini, yang dimaksud hati malah terjadi, makin jelas dan nyata.
Lirih tangis Zahra membuat semuanya bungkam. Ayunda ikut tersentuh, meskipun sang ibu lebih banyak bersikap protektif padanya, Ayunda tak pernah menganggap itu sebagai kekangan melainkan sebuah penjagaan. Berharga dirinya di mata sang ibu, sudah sepatutnya Ayunda mensyukuri hal itu.
“Adakah jalan tengah dari permasalahan ini, Abati?” Khairan bertanya.
“Mundur dari niatmu.”
“Itu jelas bukan jalan yang adil. Abati akan menyiksaku dan dia. Bukankah jelas sabdanya, obat bagi yang jatuh cinta hanya satu, menikah.”
Khalid bersiul pelan hingga Khumaira menepuk suaminya itu dan memelototinya singkat. Khadijah terkikik sendiri karena interaksi ayah ibunya. Khalid pun meletakkan telunjuk di bibir kepada putrinya pertanda meminta diam.
“Kalau begitu, katakan bagaimana sebaiknya?” Bintang menawarkan. Pria matang itu mendadak beralih kepada Ayunda, “Atau kau punya usul juga, Nak?”
Ayunda menunduk saja, kepalanya menggeleng pelan. Setelah satu kalimat yang tadi menguraikan air mata ibunya, Ayunda jadi takut untuk bicara lagi.
“Apa yang Ustadah khawatirkan kalau kami menikah sekarang?” tanya Khairan lembut.
“Dia harus menyelesaikan sekolahnya. Kalian masih sangat muda, bagaimana kalau tidak sanggup menghadapi satu sama lain? Bercerai? Aku tidak mau putriku berakhir menyedihkan seperti itu.”
“Kalian juga tidak mungkin menikah secara negara karena usia kalian belum....” Zulhan menggeleng, “Pernah dengar, jodoh tak akan ke mana? Kalau kalian berjodoh kapan pun itu, kalian akan disatukan-Nya. Tunggulah sampai waktu yang tepat itu.”
Ayunda cukup damai mendengar pembelaan sang ayah yang terasa bijaksana.
“Kita tahu satu hal yang penting, urgensi waktu. Salah satu yang disunahkan untuk dilakukan segera, menikah. Bagaimana kalau meniru pernikahan Aisyah dengan Rasulullah?”
Semua kepala menimbang ide Khairan. Mereka semua tahu maksudnya.
“Apa lagi yang mengganggu pikiranmu, Zahra?” tanya Bintang heran.
Zahra melihat putrinya, “Kau sungguh ingin dinikahi olehnya?”
“Sejauh ini Ayunda tidak punya alasan untuk menolak, Umma,” bisiknya takut. Semenjak sore dan sebanyak percakapan hadir di sana, yang Ayunda temukan hanyalah kekaguman demi kekagumannya kepada Khairan. Dia masih muda, tapi begitu percaya diri dan mantap dengan tekadnya.
Zahra menghela napas panjang. “Aku bukan tidak memercayai nama besar kalian, akan tetapi... bagiku putriku jauh lebih berharga daripada kemasyhuran kalian. Aku ingin pernikahan mereka punya perjanjian tertulis yang disetujui dan ditepati semua pihak.”
“Silakan dibuat dulu syarat yang Ustazah mau,” Khairan berucap tenang, mencoba meredakan ketegangan.
“Aku juga,” Bintang menyela cepat, senyum misterius tersungging di bibirnya.
Khairan mengerjap, takjub melihat semangat mendadak ayahnya. “A-abati...!” serunya, sedikit tak percaya.
Bintang tertawa kecil, sorot matanya penuh tantangan. “Kita lihat, kau akan tetap dengan niatmu atau mundur karena tidak menyanggupinya.” Senyumnya menandakan sebuah hal menyenangkan akan terjadi, setidaknya bagi dirinya.
Khairan tak mau kalah, tatapannya menyala. “Kalau kami setujui semua syarat itu, aku ingin malam ini juga kami dinikahkan.”
Ayunda tersentak, napasnya tertahan. Di balik rasa kaget, kegembiraan menyusup diam-diam di hatinya. Rasa senang karena diperjuangkan membuat matanya berbinar, meski tak ia tunjukkan kepada siapa pun.
“Maaf, itu tidak bisa,” ucapnya Zahra pelan, nyaris berbisik. Mendadak bayangan gelap menyelimuti wajahnya.
Tak ada satu pun yang berani menanyakan alasannya. Namun, Zahra seolah tahu mereka menunggu. Zulhan, suaminya, menggenggam tangan Zahra erat, seperti menyalurkan seluruh kekuatan yang ia punya. “Katakanlah. Sekarang atau nanti, kau tetap harus memberitahunya.”
Air mata Zahra luruh, mengalir pilu di pipinya yang pucat. Isak tangisnya memenuhi ruangan, membelah keheningan mencekam.
“A-ada apa, Umma?” tanya Ayunda khawatir, hatinya mencelos melihat kerapuhan sang ibu.
Zahra menggeleng resah, tangisnya semakin menjadi. “Aku tidak tahu apakah dia masih di sana atau sudah pindah. Sebelum kalian menikah, kita perlu memenuhi syaratnya dulu. Pernikahan kalian tidak akan sah tanpa wali.”
Ayunda semakin bingung, dahinya mengernyit. “Abah... kenapa?” tanyanya polos, menatap Zulhan.
Zulhan membalas tatapan Ayunda dengan mata sendu, penuh penyesalan. Ia menghela napas berat, seolah kata-kata itu terlalu berat untuk diucapkan. “Aku bukanlah ayah kandungmu, Ayunda," ujarnya parau.