"A-apa maksud Abah?" Ayunda terperanjat. Matanya beralih pada tangis Zahra yang tak kunjung reda. "Um-umma..."
Zahra mengangguk cepat, membenarkan ucapan Zulhan. Ia tak sanggup lagi berkata-kata.
Khairan dan yang lain saling pandang. Keterkejutan Ayunda jelas menunjukkan bahwa gadis itu sama sekali tak mengetahui rahasia ibunya.
Bintang berusaha mengalihkan kekecewaan yang mendalam pada Ayunda. "Kau bisa coba menghubunginya dulu, Zahra?"
Zahra menggeleng kalut. "Jangan sekarang."
Khairan berpikir cepat. Titik utama permasalahan mereka pasti ada solusinya. Namun, apakah ada yang berubah dengan fakta baru tersebut?
"Ayunda..."
Gadis itu mendongak, bulir tangis yang berusaha ia tahan perlahan jatuh saat mereka bertatapan. Khairan berpikir, kerapuhan itu mungkin saja membuat Ayunda membenci orang tuanya, bahkan mungkin takdirnya. Bagaimanapun, Ayunda baru berusia lima belas tahun, dan emosinya yang labil pasti akan memengaruhinya. Khairan menatapnya lekat, sekalipun di hadapan seluruh orang yang lebih tua dari mereka. Pemuda itu hanya bermaksud memberi kekuatan untuk Ayunda, merasa telah terjalin ikatan emosional yang erat di antara hati mereka.
Khairan mengeluarkan kotak kecil dari sakunya, menarik semua yang ada di ruang tamu itu untuk melihat sebuah cincin permata kuning berkilauan di dalamnya. "Aku tetap pada niatku kepadamu. Kau butuh menenangkan diri dulu atau... bagaimana yang kau inginkan?"
Ayunda merasa guyuran air dingin membasuh luka kekecewaannya. Banyak rasa bergumul pada satu waktu: dihargai, didengarkan, dan dinaungi. Rasanya Khairan membungkusnya dengan utuh, hanya dengan satu kalimat lembut.
Namun, sebuah tamparan keras dari Khumaira ke belakang bahu adiknya mengubah suasana seketika. "Kau bahkan membawa mas kawin diam-diam?! Benar-benar ingin membawanya pulang malam ini juga?! Memalukan!" omel Khumaira.
Khalid tersenyum geli. "Pantas saja disebut Abinaya. Dia tidak membiarkan celah kegagalan dari rencana dan keinginannya."
Khumaira terus mengomel, tapi Khairan seolah bebal tak mau mendengarkan. Sementara itu, Bintang dan Ifa saling pandang lalu menghela napas panjang. "Kau selangkah tertinggal darinya," ujar Ifa kepada suaminya.
"Dengan begini kita yakin kalau anak itu memang... tahu apa yang dia mau," katanya bangga, bukan merasa kalah.
Bintang memang ikut alur saja. Jika Khairan ingin menikah malam ini juga, ia akan berpura-pura lupa membawa mas kawin. Niatnya begitu. Nyatanya, rencana bocah itu sungguh lebih jauh.
"Diamlah, Khumaira. Aku perlu mendengar jawaban Ayunda," kata Khairan sebal.
Ayunda menunduk, malu kembali menyapanya. Memandang Khairan benar-benar membuatnya lupa situasi. Kesan maskulinnya menjadikan Ayunda sulit mengalihkan mata.
Khalid melihat sinar yang sejak tadi menerangi mereka perlahan meredup, sore beranjak dari peraduannya. "Mungkin kita bisa membiarkannya dulu, Abati. Sebentar lagi Magrib."
Bintang mendesah. Ia mengedarkan pandangan, lalu kembali menatap Khairan. "Masih mau di sini atau pulang?"
"Tinggallah, Tuan," Ayunda menjawab, pelan. "Syarat-syarat yang Anda dan Umma tentukan, kami akan mempertimbangkannya selepas salat." Gadis itu tiba-tiba tercekat, air mata turun deras, suaranya serak, cadarnya lengket karena basah. "Wali nikah... akan coba kami hubungi lebih dulu."
Suasana di ruang tamu keluarga Zahra masih terasa berat. Zulhan tampak ragu menyentuh Ayunda sedikit pun. Kemudian ia menyuruh pelayan rumah untuk mengambilkan alat tulis dan ponsel Zahra.
Selembar kertas akhirnya diberikan kepada Bintang, selembar lagi dibawa Zahra. Wanita berjilbab lebar itu lagi-lagi memandang putrinya. "Kau ingin aku menghubunginya?"
Ayunda mengangguk mantap.
Zahra menghela napas berat. "Berjanjilah, setelah menikah atau bertemu ayahmu, kau tetap akan seperti sebelumnya kepadaku. Aku tidak bermaksud menyembunyikannya darimu, Nak. Hanya saja... aku ingin kau mendapat kasih sayang ayah dari suamiku dan tidak menganggapnya orang asing."
Ayunda menekuk wajah. "Apakah beliau... jahat?"
Zahra mengalihkan pandangan. Ia tersadar bahwa masih ada keluarga inti Abinaya di kediamannya. "Umma akan coba mengontaknya dulu."
Zahra bangkit, pamit kepada tamunya. Ayunda tertinggal dengan jarak yang sangat lebar dan aneh di sofa panjang dengan ayahnya. Ayunda meringis. Selama ini, pria yang ia panggil "Abah" dengan penuh kasih sayang ternyata bukanlah ayah kandungnya. Fakta ini menghantamnya lebih keras daripada lamaran mendadak Khairan. "Tulislah sesuatu. Mungkin Abah juga punya syarat agar bisa merestui pernikahan Ayunda."
"Aku hanya berharap kau tetap menganggapku ayah seperti selama ini," jawab pria itu bergetar. "Maafkan kami, Ayunda. Maafkan ibumu."
Gadis itu berusaha tegar, matanya tak bisa berbohong kalau rasa sayang yang selama ini ada sedikit memudar karena dusta mereka. Namun, Ayunda tak mau membenci selagi tak tahu akar permasalahan sehingga mereka harus menyembunyikan fakta itu darinya. Ayunda tidak mungkin menghapus lima belas tahun kasih sayang tulus mereka hanya karena satu kesalahan yang belum tentu salah untuk dipilih.
Gadis itu menghela napas, lelah dengan semua masalah panjang sore ini. Matanya tak sengaja kembali kepada sosok Khairan yang tampak tenang bersama Khadijah, bertukar tempat dengan iparnya. Bintang sedang dikerubungi istri, anak, dan menantunya. Mereka seperti sedang berkomplot mengisi lembar syarat-syarat yang dibutuhkan. Khadijah dan Khairan berbincang hangat tentang kue suguhan di meja.
Ayunda seperti bisa menerawang akan seperti apa pernikahan mereka. Memikirkan akan ada bentuk lain dalam pernikahan itu nantinya, Ayunda bersemu, malu sendiri. Belum apa-apa sudah terbersit memikirkan akan seperti apa percampuran darahnya dengan Khairan dalam seorang bayi.
"Ayunda..."
Gadis itu tersentak, melihat wanita bercadar lainnya di ruang tamu itu yang bicara. Sorot matanya melembut, tak tegang seperti selama diskusi panjang tadi. "Aku Khumaira, ibunya Khadijah sekaligus kakaknya Khairan. Mungkin kau perlu meminta pelayan mengambil cadar yang baru."
Ayunda linglung sebentar. "Ah, ya. Terima kasih sarannya."
Ia tersenyum, meski hanya mata bening yang terlihat, sudah pasti sangatlah cantik wajah di balik kain mukanya. "Entah bagaimana, kita tidak bisa paham cara mereka memilih gadis tak berwajah seperti kita."
Ayunda tersenyum oleh penghiburan itu, membenarkan ucapan Khumaira. Entah bagaimana Khairan bisa sejauh ini menemuinya hanya setelah satu kali mereka bertemu. Umumnya pria akan melihat wajah lebih dulu untuk tertarik.
Senyum kecil meringis di sudut bibir Khairan. "Kupikir kau tidak ingin datang awalnya, Khumaira."
Khumaira bereaksi bermusuhan. "Yah, ternyata seru sekali di sini. Syukurlah aku tidak melewatkannya."
Khairan serius. "Kau merestui kami?"
Khumaira melihat Ayunda yang tegang, gelak tawanya keluar riang. Begitu merdu hingga menarik perhatian ayah sambung Ayunda. Cepat-cepat Khalid menutup mulut istrinya itu. "Mai...!"
Khumaira melemaskan tubuh pada d**a suaminya yang posesif. "Mereka meminta restuku, Khalid. Rasanya aku... tua."
Khalid tersenyum tipis mengusap kepala Khumaira lembut. "Restuilah mereka, Mai. Adikmu pernah sangat membantu hubungan kita."
"Yah, aku sudah membalas kebaikanmu, pak tua!" sentaknya ke rambut Khairan.
Lekas Khairan merapikan lagi rambutnya dengan wajah merengut. Namun, di mata Ayunda tak ada yang mengurangi ketampanannya.
Ayunda mengerjap, makin heran. Khumaira di satu sisi sangat menawan, anggun, bersahaja seperti Ifa, ibunya. Tapi sesaat ini dia tampak kekanakan dan manja sebagaimana seorang wanita yang menikmati hidup berlimpah kasih. Cara mereka berinteraksi dalam keluarga itu terasa hangat.
Khairan sedikit berbisik dengan mata tajam, "Apa syarat yang Abati bubuhkan?"
"Kau sepenasaran itu?! Ya Tuhan!" Khumaira menggoda adiknya. "Kurasa, kalian harus tetap disiksa karena terlalu cepat menjatuhkan hati sementara usia tidak memadai. Sudah kubilang, ekspektasimu tentang cinta terlalu tinggi, kau akan kecewa nanti."
Khairan merengut, yang terlihat menggemaskan bagi Ayunda hingga gadis itu tersenyum kecil di balik cadar basahnya.
Suara langkah datang cepat. Semua mata terangkat kepada kembalinya Zahra. "Bagaimana?" tanya Zulhan mewakili.
Zahra meneteskan lagi air mata saat bertatap dengan Ayunda. "Dia bilang secepat-cepatnya besok malam baru bisa sampai di sini."
Ayunda menunduk, berdebar karena rasa penasaran. Seperti apakah sosok itu, yang belum pernah Ayunda kenali bahkan namanya.
Zahra beralih kepada Khairan, sekotak kecil berisi cincin permata menyentuhnya. "Bawa pulang benda itu dan datanglah lagi lusa nanti."
Khairan menutup kotak permata dengan tenang dengan satu tangan. "Kami akan meninggalkannya di sini. Silakan dicoba atau diubah ukurannya kalau kurang sesuai."
Bintang berdeham. "Tunggu dulu."
Atensi semua tertuju padanya. Bintang tersenyum culas. "Kalian belum membaca syarat-syarat dari kami. Hanya setelah kalian setuju semua poinnya, baru pembicaraan itu akan berlaku."