Khalid diminta menulis, memadukan dua syarat dari Bintang dan Zahra dalam satu kertas utuh. Setelahnya, tulisan itu difotokopi agar setiap anggota keluarga mendapatkan satu salinan untuk direnungkan. Magrib sudah terlewati. Masing-masing sudah memohon petunjuk untuk permasalahan yang sama: pernikahan antara Ayunda dan Khairan.
Setelah fakta tentang ayah kandung Ayunda terungkap, Khairan tetap teguh pada pendiriannya, begitu pula Ayunda.
Mereka sudah mendapatkan restu dan persetujuan wali untuk pernikahan yang akan dilangsungkan lusa. Akan tetapi, satu hal yang paling penting adalah syarat-syarat yang diajukan kedua keluarga.
Mereka semua menatap Khairan dan Ayunda, menunggu respons.
"Jadi," Zahra memulai, suaranya sedikit parau, "bagaimana menurut kalian berdua setelah semua ini?"
Dengan poin-poin yang Khalid rangkum sebagai berikut:
* Akad Nikah Siri: Pernikahan akan dilangsungkan secara siri lusa nanti, pada tanggal, bulan, dan tahun yang telah ditentukan.
* Kerahasiaan: Pernikahan ini harus dirahasiakan dari siapa pun di luar anggota keluarga inti yang hadir malam ini. Tidak ada teman, kerabat jauh, atau pihak sekolah yang boleh mengetahuinya.
* Pendidikan Ayunda: Ayunda wajib menyelesaikan pendidikannya hingga lulus setara SMA. Ia harus tetap fokus pada studinya tanpa gangguan apa pun yang berkaitan dengan status pernikahannya.
* Tempat Tinggal Terpisah: Selama Ayunda belum lulus sekolah dan pernikahan belum dicatatkan secara negara, Ayunda dan Khairan tidak diperbolehkan tinggal satu atap. Khairan akan tetap tinggal bersama orang tuanya, begitu pula Ayunda.
* Batasan Hubungan Suami-Istri: Selama belum tinggal satu atap dan pernikahan belum sah tercatat di negara, Khairan dan Ayunda dilarang untuk melakukan hubungan suami-istri.
* Tanggung Jawab Khairan: Khairan sudah harus bertanggung jawab penuh sebagai pemimpin perusahaan permata Abinaya saat usianya nanti delapan belas tahun. Ia juga harus bersedia memimpin pondok pesantren Darul Qur'an milik keluarga Ayunda apabila pernikahan mereka sudah masuk data negara.
* Komitmen dan Kepercayaan: Kedua belah pihak berjanji untuk menjaga komitmen ini sebaik-baiknya dan saling percaya dalam menjalani proses tersebut.
"Kalian setuju dengan semua poin ini?" tanya Bintang, menatap lurus ke arah Khairan dan Ayunda.
Khairan benar-benar merasa ditipu. Ia tak mau setuju dengan pengambilalihan pimpinan perusahaan ataupun memimpin pondok. "Jadi, inilah kemenangan Abati itu?"
Bintang mengulum senyum. Masa pensiunnya di depan mata. Jika Khairan memilih pernikahan, maka Bintang tak perlu lagi mengkhawatirkan perusahaan dan calon istri untuk putranya itu. Bukan hal yang buruk untuk diambil. "Tak kusangka Zahra juga membebani tugas yang sama."
Zahra menantang. "Ayunda putriku satu-satunya, siapa lagi kalau bukan kalian yang akan meneruskan?"
Ayunda meringis. Tatapannya sendu, ragu. Bagaimanapun juga, ia baru tahu kalau pria di depannya ternyata orang yang sangat bersinar, pewaris perusahaan permata. Rasa rendah diri membuat Ayunda ragu untuk meneruskan niat mereka. Jika diperhatikan lagi, jajaran wajah memesona, memukau, dan genetik alami di keluarga itu membuat Ayunda merasa kecantikannya tak ada nilainya dibanding mereka. "Saya tidak ingin memberatkan. Bagaimanapun juga, beliaulah yang punya beban lebih banyak dalam syarat ini. Saya akan menerima bila Anda dan keluarga ingin berbalik arah."
Zahra dan Bintang saling melebarkan senyum. Ayunda jelas takut dengan ancaman halus mereka.
Khairan awalnya yakin ia bisa mengemban tanggung jawab besar itu, hanya saja enggan menyia-nyiakan waktu dan tenaganya ke sana. Namun, setelah Ayunda pasrah begitu, Khairan sedikit jatuh dalam keraguan pula. Melihat ibunya, keraguannya terlontar dalam bentuk kata. Wajahnya yang biasanya tenang kini terlihat sedikit ragu. "Bagaimana menurut Ummi tentang semua ini? Syarat-syarat itu... terutama soal perusahaan dan pesantren?"
Ifa menatap putranya lembut. "Hidup memang pilihan. Kaulah yang membawa kita semua ke titik ini, Nak. Abati dan Zahra tidak asal memberikan syarat. Mereka melihat potensi besar dalam dirimu, dan mereka juga ingin yang terbaik untuk Ayunda. Kau mungkin akan kewalahan, tapi..." Ifa tersenyum tipis. "Kau memang bukan anak biasa, Putraku."
Khairan menoleh ke arah Ayunda yang masih terlihat ragu. Banyak hal terjadi pada mereka malam ini, terutama Ayunda: lamaran mendadak, dan kenyataan tentang ayahnya.
"Seperti yang kau katakan, dia juga bukan gadis biasa," Ifa menambahkan pengakuannya. "Percayalah pada takdir Allah. Dan yakinlah pada kemampuanmu," Ifa menyemangati.
Bintang menyikut istrinya, "Dan kau malah mendukung dia," keluhnya masam.
Ifa mengerjap polos, "Bukankah semua ibu begitu? Ada yang salah dari kalimatku?"
Bintang menghela napas, lalu sedikit memberinya senyuman. "Kau melakukannya dengan baik, Ifa."
"Menegangkan," celetuk Khalid. "Kau bisa mendeteksi apa yang akan terjadi selanjutnya, Khadijah?"
Khumaira mencubit pelan suaminya. Ketegangan itu sempat terusik oleh gurauan singkat tersebut.
"Apakah kita akan menginap di sini, Abati? Khadijah tidak bawa baju ganti."
Ayunda tersenyum lebar. Matanya berembun lagi, serasa berat melepaskan apa yang sudah begitu dekat hampir digapainya. "Kamar kami tidak cukup untuk semua yang datang."
"Hm."
Nada kecewa Khadijah seolah serupa dengan yang Ayunda rasakan. Namun, bagaimana lagi.
Ragu Khairan terangkat. Ia tahu, penilaian dan kalimat singkat Latifa Bakrie selalu didominasi kebijaksanaan. "Kalian menambahkan lebih banyak syarat daripada yang kami inginkan," Khairan protes. "Aku sampai khawatir kami dilarang bertemu juga setelah menikah."
"Aku tahu maksudnya," Khalid buka suara, geli. "Kau mau diizinkan membawanya sesukamu, Gentlemen? Maksud kalian, pacaran setelah menikah, ya kan?"
Khalid seperti mendapatkan seluruh kesenangan dari ketegangan itu.
Khairan mengangguk tanpa takut. "Kami perlu waktu bersama, saling mengenal."
Ayunda panik. "A-Anda tidak keberatan dengan syarat-syarat itu?!" Matanya bergerak liar karena khawatir. "Itu... tanggung jawab yang besar. Pikirkanlah lagi."
Khairan terenyuh. Cara Ayunda yang sampai repot-repot memosisikan diri sebagai Khairan sangat menyentuh hati. Bukan makin ragu, malah membulatkan tekadnya untuk menjadikan Ayunda sebagai istri. "Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Kau bersedia membantuku, Ayunda?"
Ayunda terkesiap. "Bersedia, tapi... apakah bisa?"
Khairan mengangguk yakin. "Percayalah."
Ayunda pun perlahan mengangguk, berusaha yakin pula.
Khairan mewakili, "Kami siap menerima syarat-syarat itu, Abati, Ustazah Zahra."
Helaan napas panjang. Negosiasi alot itu berakhir.
"Baiklah kalau begitu. Mari kita persiapkan semuanya," ucap Zahra, suaranya kini sedikit lebih tenang, meskipun raut wajahnya masih menyimpan kekhawatiran yang mendalam. "Saya rasa kita bisa melanjutkan di meja makan."
Semua beranjak ke meja makan, termasuk Ayunda. Ia masih terguncang setelah mengetahui fakta tentang ayahnya. Hatinya campur aduk antara kaget, kecewa, dan sedikit merasa dikhianati. Mengapa Umma tidak pernah mengatakan apa pun? Siapa ayah kandungnya? Apa alasan sebenarnya mereka tidak memberitahu Ayunda? Apakah ayahnya jahat?
Pertanyaan-pertanyaan itu bergejolak di benaknya, menambah rumit situasi yang sudah pelik. Di sisi lain, kehadiran Khairan yang begitu teguh dalam keinginannya memberinya sedikit pegangan di tengah badai emosi.
Pernikahan mereka hanya akan diketahui oleh keluarga inti. Ayunda harus tetap fokus pada sekolahnya dan tinggal terpisah dari Khairan. Tidak ada yang boleh tahu tentang ikatan suci berikut pula syarat-syarat kerahasiaan yang tetap berlaku. Bisakah mereka melewatinya?