Macaron

1477 Words
Beberapa hari setelah kembali ke pesantren, hidup Ayunda kembali ke rutinitas. Namun, ada yang berbeda. Pikiran tentang Khairan dan janji pertemuan mereka sesekali menyelinap di antara pelajaran dan kegiatan mengaji. Ia mencoba menepisnya, fokus pada tujuan utamanya di Darul Qur’an, tapi bayangan Khairan dengan senyum menenangkannya selalu kembali. Hanya tarian harapan yang bisa mengembangkan senyumannya saat sang ibu terasa seratus delapan puluh derajat berubah total. Sebagai putri pemilik pesantren, Ayunda bebas ingin tinggal sesukanya. Dan, ia meminta izin untuk menginap di pesantren saja sementara demi berjauhan dari ibunya. Ayunda sedang mengulang hafalan saat seorang gadis menyampaikan pesan dari ibunya yang menyuruh pulang. Tak disebutkan untuk apa, tetapi Ayunda tetap memenuhi titah dengan keengganan kecil. "Ada apa, Umma?" "Kau tidak meminjam ponsel siapa-siapa untuk menghubunginya selagi di asrama, kan?" Ayunda menghela napas lelah, kini jelas sekali protektif ibunya. "Ayunda tanda tangan untuk merahasiakan pernikahan kami, Umma. Mana mungkin Ayunda meminjam ponsel hanya untuk menghubunginya. Lagi pula Ayunda tidak punya nomornya." Zahra meredakan kecurigaannya. "Khairan bilang dia akan datang." Ayunda tersentak, kegembiraan tak ayal menghampirinya. "Kau sesenang itu, Ayunda?!" tegur Zahra cepat. Ayunda memuramkan wajah. "Umma, kami menikah. Sudah menikah," ujarnya lirih. Zahra menyerahkan ponselnya, "Dia minta dihubungi." Ayunda ragu menerima benda itu. "Mengapa?" "Mana kutahu. Sudah kuduga kalian memang terlalu bocah untuk menikah!” Ayunda ingin sekali menyangkal. Khairan tak terkesan seperti bocah umumnya. Dan, ingin pula Ayunda membungkam sang ibu yang dirinya sendiri tak membatalkan pernikahan itu. "Aku tidak meragukan keluarga mereka. Itulah mengapa aku setuju menikahkanmu. Hidupmu akan terjamin lahir batin. Aku hanya tak suka waktunya... mengapa harus secepat ini?!" Zahra kemudian berbalik masuk dan meninggalkan Ayunda. Ayunda menghela napas panjang dan melihat ponsel ibunya. Ayunda rindu suaminya, tapi mendapati benda itu di tangan, ada godaan lain yang datang. Ponsel itu pasti menyimpan banyak hal, termasuk nomor ayah kandungnya, dan mungkin kenangan-kenangan lama serta rahasia sang ibunda. Ayunda menggeleng, mengenyahkan pikiran pengkhianatan dari kepala. Kemudian menekan tombol panggil untuk kontak yang diisi "Menantu Bocah". Ayunda meringis. Sarkasme ibunya benar-benar tak ditutup-tutupi. Dering tunggu menyapa, cukup singkat, seolah panggilan dari Ayunda sudah ditunggu lama. Setelah salam terucap, getaran rasa mereka mulai menyatu. "Umma bilang kau ingin mendengar suaraku?" "Apakah beliau akan membolehkan kita melakukan panggilan ini kalau aku sungguhan berkata begitu?" katanya geli. Ayunda masam, sepakat. "Jadi, kau akan ke sini?" "Ya." Ayunda berdebar senang. "Datanglah. Kau tidak mungkin tersesat." "Hm." Ayunda duduk sambil tak lepas ponsel dari telinga. "Jadi, apa maksudnya? Aku harus menemanimu di sepanjang perjalanan meski hanya lewat suaraku? Atau aku harus menyebutkan satu hal yang ingin kau bawakan untukku?" Khairan suka Ayunda yang tak berbelit-belit maka ia pun menuju topik yang diinginkan. "Ada tempat untuk berdua saja?" Ayunda tergelak. "Lupa kalau kita tidak diizinkan benar-benar berdua?" "Allah yang ketiga. Malaikat dan..." Ayunda tertawa. Khairan menyimak nada merdunya. Terlintas di benak kalau ia harus segera menciptakan sebuah alat rekam untuk mengabadikannya. "Bagaimana kabarmu?" Ayunda menatap kosong ke depan. Obrolan mengalir santai, tanpa beban, seperti dua teman lama yang saling berbagi cerita. "Tidak pernah sebaik ini." Gadis itu tersipu. Khairan mungkin merayu, tapi bagi Ayunda ada sedikit kenyataan yang diungkapkan terus terang. "Untuk apa datang jauh-jauh kalau kita sudah menghabiskan pembicaraan lewat telepon?" "Untuk istriku." Ayunda terkesiap. Jelas sekali jawaban itu tidak sinkron dengan pertanyaannya. Namun, intinya sama saja. Dan, Ayunda tahu faktanya. "Meski pertemuan singkat, tetap itu lebih membantu daripada semua kata yang ada." Ayunda menggigit bibir, "Tapi aku masih ada tugas yang harus diselesaikan. Kau mau pelajaranku tertinggal dan kelulusanku ditunda?" Ayunda merengut sendiri. Khairan tersenyum saja, "Sampai jumpa di rumah, Ayunda." *** Suara deru mobil akhirnya berhenti di depan gerbang pesantren, membuat jantung Ayunda berdebar tak karuan. Ia sudah coba menenangkan diri sejak telepon tadi pagi, tapi tetap saja, perasaan campur aduk antara canggung, senang, dan sedikit gugup itu tak bisa ia tepis. Apalagi kini pria muda tersebut sungguhan berdiri di depannya, mengenakan kemeja kasual yang rapi dan celana bahan, terlihat santai namun tetap memancarkan aura wibawa. Di tangannya, sebuah kantong kertas berukuran sedang tampak sedikit menggembung. "Assalamualaikum," sapa Khairan, suaranya tenang dan hangat. "Wa’alaikumussalam," jawab Ayunda, rona merah di pipinya tertutupi cadar dengan sempurna. "Kenapa cepat sekali sampai? Kukira baru tiba nanti sore." Khairan terkekeh pelan. "Tidak membuang waktu untuk tersesat." Ia melangkah mendekat, mengulurkan kantong kertas kepada Ayunda. "Ini, ada titipan kecil." Ayunda menerima kantong itu dengan ragu. "Apa ini?" "Bukan bom, tenang saja," canda Khairan. "Satu untuk Umma, satu untuk kita." Disebut-sebut Umma, Ayunda bergumam, "Beliau pasti mengawasi kita." Ayunda kemudian mendahului Khairan dan mempersilakannya masuk. "Yang mana untuk kita?" Dengan penasaran, Ayunda mengintip ke dalam kantong. "Duduklah dulu," Khairan terkekeh. Ayunda pun malu. Matanya membulat sempurna saat melihat isi kertas tas itu. Sekotak kue kering kecil, sangat menarik secara visual, berbagai warna pastel yang cantik menyapanya. "Apa ini?" "Cobalah." Ayunda menurunkan kain cadarnya, mengambil satu, menggigit kecil kue imut itu. Ia yakin akan terlihat rakus kalau langsung melahapnya sekaligus. Teksturnya unik, bagian luarnya renyah dan sedikit keras, sementara bagian dalamnya lembut, kenyal, dan agak lengket. "Suka?" Ayunda mengangguk cepat. "Kenalkan, Macaroon namanya,” kata Khairan sambil tersenyum menyimpan ekspresi senang Ayunda dalam hati. "Nikmati sambil mengerjakan tugasmu." Ayunda tidak bisa menahan senyumnya. Khairan memang selalu punya cara untuk membuatnya nyaman, bahkan dalam situasi canggung sekalipun. "Baiklah, terima kasih. Aku masuk sebentar," katanya sambil membawa bingkisan yang Khairan berikan untuk Zahra. Khairan duduk diam menunggu di ruang tamu dan siaga menyapa saat Zahra ikut datang bersama Ayunda. "Aku tidak ingin mengganggu, tapi kuperingatkan... jangan macam-macam dengan putriku!" Khairan tersenyum simpul, menjabat tangan Zahra lalu menciumi punggung tangannya, "Apa kabar, Umma?" Sedikit pun tak menggubris perkataan yang Zahra ucapkan. Zahra mendengus, cepat-cepat menarik tangannya. Raut wajahnya menunjukkan ketidaksetujuan yang kentara. "Aku tidak mungkin mengawasi kalian terus. Jadi, gunakan kepercayaanku sebaik-baiknya." "Kuharap Umma suka bingkisan yang kubawa." Zahra kemudian beranjak dengan emosi tertahan yang membuatnya malu sekaligus lebih kesal lagi. Zahra tahu Khairan Abinaya adalah pilihan terbaik untuk jadi menantunya, sehingga ia pun tak membuang kesempatan tersebut. Akan tetapi, tetap saja situasi mereka yang masih muda itu mencegah Zahra untuk utuh merestui. Terlalu cepat untuk membongkar masa kelamnya dengan Yohanes dan terlalu dini untuk Ayunda tahu belangnya sebagai ibu. Ayunda meringis, tak enak hati. "Mohon dimaafkan." Khairan tersenyum maklum. "Tugasmu, bawalah ke sini. Mungkin aku bisa membantu sedikit." Ayunda semringah. "Aku harus berguna sebagai suami," ocehnya lagi. Ayunda begitu senang. Tak lama mereka sudah berada dalam sesi belajar yang dimaksud. Ayunda hanya dipenuhi kekaguman. Bagaimana Khairan menjelaskan tugasnya lebih jelas daripada ustazah di pesantren. Dia tampak mengerti segala hal, seolah sudah mempelajarinya lebih dulu sebelum datang. "Jadi, ...." Khairan menghentikan penjelasan. Pemuda itu menopang dagu, menelaah Ayunda yang terang-terangan menatapnya, "Terpesona, Nona?" Ayunda mengangguk kecil. "Ternyata ada orang semenawan Anda, Khairan Abinaya." Khairan benar-benar tergelak dan terlihat senangnya. Ayunda menelengkan kepala, "Oh, benar. Aku akan sulit tidur malam ini." Khairan jadi mengalihkan pandangan ke buku lagi, menghindari bayangan rumit yang akan menghantui masing-masing mereka malam ini. "Aku juga akan begitu. Jangan diingatkan dulu. Nanti tinggal dinikmati." Ayunda menghela napasnya. "Hidup memang ada saja ujiannya. Umma sepertinya masih belum akan bersikap ramah." Khairan menenangkan. "Setidaknya beliau tahu, menantunya ini serius, datang untuk menghilangkan sedikit penat putrinya." Ayunda memajukan bibirnya, terenyuh dan siap menumpahkan banyak kisah yang ia lewati saat tiada Khairan di sisinya. "Aku tidak punya teman. Jadi putri pemilik pondok benar-benar tidak sepenuhnya menyenangkan. Kurasa suamiku saja yang jadi teman pertamaku." "Teman hidup sepanjang masa,” ralat Khairan lembut. Ayunda melirik tempat kosong di sisi kiri dan kanan Khairan, rasanya gadis itu akan terbang ke sana biar kedekatan mereka lebih maksimal lagi. Khairan menuding telunjuknya dengan cepat saat melihat liar mata Ayunda, "Jangan!" Ayunda cemberut. "Jangan buat Umma melarang kunjungan selanjutnya," tegur Khairan dengan nada kecewa juga. Gadis itu menghempaskan punggung di sofanya sendiri. "Kau percaya diri, Pak Tua. Seolah di sisimu menawarkan kenyamanan yang aku inginkan." "Memang begitu, kan." Khairan tak acuh membalik halaman, daripada diketahui Ayunda bahwa efek gadis itu sama pula baginya. Ayunda memberengut, malu. "Tapi tak harus dibahas juga. Itu membuat seorang gadis malu." Khairan hanya tersenyum lebar. "Ceritakan harimu, Ayunda." Gadis itu menarik napas sebelum memulainya. Khairan pun mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali diselipi candaan, menanggapi cerita kejadian lucunya. Melihat Ayunda begitu nyaman dan jujur, Khairan memberanikan diri untuk menghibur saat lagi-lagi sentilan pernikahan mereka mengacaukan suasana, membawa hawa sedih yang tak diminta datang tiba-tiba. "Ayunda, aku tahu pernikahan ini mendadak dan mungkin terasa berat bagimu. Tapi, aku ingin kau tahu, aku serius menjalani ini. Tidak menuntut apa-apa, tetap mengalir, tanpa membuat para orang tua khawatir." Ayunda menunduk, merenungkan kata-kata Khairan. "Aku juga berharap begitu," ucapnya pelan. "Aku hanya... masih perlu waktu untuk membiasakan diri dengan semua ini." Khairan mengangguk. "Kita akan punya waktu, sebanyak yang kita butuhkan. Kita bisa mulai dengan mengenal satu sama lain lebih jauh, kan? Insya Allah, semuanya akan dimudahkan." Ayunda mendongak, menatap mata Khairan. Ada ketulusan di sana yang menghangatkan hatinya. Ia mengangguk, senyum kecil tersungging di bibirnya. "Semoga Allah mudahkan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD