Berdua

1412 Words
Gadis itu membuka lebar pintu kamar hotelnya dengan kepala tertunduk, mempersilakan seorang pemuda yang baru saja sah sebagai suaminya masuk. Ada hal lain yang tak disenangi Ayunda meskipun Khairan yang membawanya. “Jadi, Umma bersikeras mengusir beliau pergi tanpa melihatku sekali lagi, ya.” Khairan tak menjawab. Ada kekaguman yang singgah karena peka dan cepatnya Ayunda memahami situasi yang ia bawa. Gadis itu menutup pintu lalu bergerak ke lemarinya. “Inilah yang kudapatkan, merepotkanmu untuk mengantarku pulang,” keluhnya mengomeli diri sendiri. “Kutebak, Umma dan Abah Zulhan sudah berangkat lebih dulu.” Di tengah kamar yang masih menyimpan jejak kantuk itu, Khairan menduduki ranjang, merasakan sisa hangat tubuh Ayunda pada seprei yang sedikit kusut. Aroma Ayunda yang samar, entah dari parfum hotel atau sekadar jejak keberadaannya, menguar lembut di udara. “Sudah salat?” tanya Khairan memecah keheningan yang nyaman. Ayunda yang sedang sibuk meringkas pakaian, menghentikan gerakannya. “Sudah Zuhurkah?” tanyanya, agak terkejut. Khairan hanya mengangguk, senyum tipis tersungging di bibirnya. “Oh,” respons gadis itu singkat, sedikit malu. “Aku benar-benar baru saja bangun.” “Salatlah dulu,” kata Khairan, sarat perhatian. Ayunda pun beranjak ke kamar mandi, dan tak lama kemudian kembali dengan wajah yang bersih setelah berwudu. Gadis itu tetap mengenakan jilbabnya, namun kini niqab yang tadinya terpasang sudah ditanggalkan, memperlihatkan wajahnya yang utuh dan ayu. Ayunda terkesiap melihat sajadah sudah terhampar rapi di lantai. Ada siraman sejuk yang merambat di hatinya. Perhatian kecil begitu, sangat berarti untuk hatinya yang serapuh sekarang. “Terima kasih,” ucapnya pelan, tersipu malu. Sementara Ayunda khusyuk dalam salatnya, Khairan malah termenung. Jantungnya masih berdebar tak karuan. Tetes air wudu yang tadi membasahi wajah Ayunda tampak seperti butiran permata yang memukau. Khairan pikir ia tidak akan pernah terpukau lagi dengan kecantikan siapa pun. Sejak lahir, Khairan sudah disuguhi wajah menenangkan dari Latifa Bakrie, sang ibu. Lalu ada Khumaira, kakaknya. Kemudian, Khadijah pula, keponakannya yang jelita dan menggemaskan. Semua wajah itu tiap hari mengisi hidupnya, dan Khairan bahkan tak pernah berharap apa pun kepada gadis-gadis lain. Akan tetapi, wajah Ayunda yang polos tanpa riasan sama sekali, justru membuatnya terkesima. Kecantikan yang murni, tanpa polesan, itulah yang menggetarkan hatinya dan memberi kesan istimewa. Padahal Ayunda tidak tersenyum, malah saat gadis itu tersentak oleh perhatian kecilnya dan tersipu, perasaan hangat itu mengalir jelas. Lepas Ayunda salat, Khairan menggoyangkan daftar menu makanan hotel. “Lapar?” Gadis itu tersenyum. “Kau mungkin sudah makan, kan?” “Memang sudah. Kau pasti belum.” Ayunda mendekat, berdebar dan berusaha mengabaikan riak hatinya yang riang. Gadis itu lalu mengambil benda yang Khairan sodorkan. “Ini ide bagus untuk seseorang yang sedang tidak ingin terlihat di tempat umum.” Gadis itu membaca varian jenis yang tersedia, sementara Khairan puas menelaahnya. Memang Ayunda tidak bisa disandingkan dengan kecantikan keluarga Abinaya, akan tetapi jejak pesona wajahnya punya khas tersendiri. Pemuda itu pun menghentikan tatapan pada tiga titik kecokelatan yang samar-samar di sudut matanya. Khairan ingat, pada hari pertemuan di toserba, ia pikir bulatan kecil itu akan membentuk seperti mahkota jika ditarik sudut-sudutnya dengan tepat dan kini intuisinya tidak meleset. “Ekhm!” Ayunda menutup keras buku menu, lalu menaikkan ke wajahnya, hingga yang tersisa hanya mata, tepat menggantikan cadarnya. “Rasanya canggung dan malu ditatap begitu.” Khairan menggeleng sambil tersenyum. Makin merah pipi Ayunda karena terpukau reaksi Khairan Abinaya. Jantungnya melompat-lompat senang. Mengenang mereka yang sah sebagai suami istri, tapi harus tiga tahun menunggu untuk saling berbagi tempat tidur dan tempat tinggal. “Apa yang akan kau pesan?” “Suamiku?” tanya Ayunda spontan. Rona hangat menjalar ke pipi Khairan. Ayunda merasa ia bisa mengklaim kemenangan. “Aku boleh terpesona, kan? Anda sangat tampan, Tuan Abinaya.” Pujian yang sudah sering Khairan dapatkan, akan tetapi mendengar langsung itu dari Ayunda membuat telinganya seakan terbang. Semua kisah romansa yang ia pernah baca berkelabat banyak. Namun, tak ada yang seindah kisahnya. Ayunda mundur, “Aku ingin sedikit terlihat anggun, seperti Ummi dan Khumaira, tapi melihat bagaimana Umma menyalak pagi tadi, rasanya itulah yang lebih dominan padaku.” “Kau berusaha merusak suasana,” tegur Khairan masam. Ayunda meringis, “Kita baru akan serius tiga tahun lagi. Kurasa inilah yang Khumaira maksud dengan panggilannya kepadamu, Pak Tua.” Khairan memangku dagu, lagi-lagi terkesima dengan pemikiran tajam dan percaya diri Ayunda yang rasanya tak sesuai usia. “Aku pun boleh terpesona, kan.” Ayunda salah tingkah. “Oh! Jangan begitu.” “Mengapa tidak boleh?” tanyanya geli. Ayunda berdeham mengendalikan ketenangan dirinya. “Saya, lapar, Tuan.” Khairan tergelak, senang dan ringan perasaannya bersama Ayunda. Waktu seperti memihak mereka. Puas Khairan nikmati suara dan semua ekspresi Ayunda selagi sang istri menikmati makanan sambil mengoceh pelan. Baru setelahnya mereka melangkah keluar dari hotel. Udara terik siang hari menyengat mereka, membawa gerah dan tak nyaman. Hotel mewah itu terasa asing, sekaligus istimewa, menjadi saksi bisu awal kisah mereka. Ayunda sedikit melamun, masih mencoba mencerna semua kejadian yang begitu cepat berlalu. Jantungnya berdesir aneh setiap kali tatapan Khairan bertemu dengannya. Ada sesuatu dalam sorot mata pria muda itu yang menenangkan sekaligus menggelisahkan. Perjalanan menuju Pondok Pesantren Darul Qur’an terasa singkat, meskipun jaraknya tak bisa dibilang dekat. Di sepanjang perjalanan, keheningan menyelimuti mereka, sesekali dipecah oleh suara mesin mobil atau Ayunda yang menunjuk pemandangan di luar. Khairan sedikit berbeda, tampak jelas tak nyaman dan sesekali melirik Ayunda, mengamati bagaimana gadis itu tersenyum tipis saat melihat sesuatu di jalan. Sopir membawa mereka ke gerbang rumah Ayunda di kompleks pesantren yang kokoh. Hati Ayunda terasa perih sekaligus lega. Ini adalah tempatnya, rumahnya. Tapi di sisi lain, ia juga akan berpisah dengan Khairan. Khairan menoleh pada Ayunda. “Kita sudah sampai.” Ayunda mengangguk, ragu-ragu. Ia merasa ada berat yang menahan langkahnya. “Jangan khawatir,” ucap Khairan, seolah bisa membaca pikiran Ayunda. “Kita akan sering bertemu lagi. Aku akan pastikan itu.” Ayunda mendongak, menatap mata Khairan. Ada janji yang tersirat di sana, membuatnya sedikit lebih tenang. Ia mengangguk juga. “Kau akan singgah sebentar?” “Inginnya aku singgah lebih lama,” balasnya serius dibungkus nada usil. Ayunda berhasil tersenyum. “Aku harus pamit dengan Umma dan Abah.” Ayunda masih berdebar, terus begitu tiap ada Khairan di dekatnya. Tak lama Zahra menyambut di pintu. “Hati-hati di jalan, Khairan.” Ayunda tersentak. Ia tak bodoh untuk paham bentuk pengusiran ibunya. “Umma, dia bisa masuk dulu.” “Kita sudah lelah, Ayunda. Hari ini terasa sangat panjang. Dia akan kemalaman kalau tidak memulai perjalanan pulang sekarang juga.” “Umma...” Ayunda tercekat. “Bukankah sudah cukup lama kalian bersama?” tanyanya sinis, juga menelisik. Ayunda diam. Khairan akhirnya membalas dengan senyum lembut. “Umma benar. Kau juga, Ayunda, jaga dirimu baik-baik.” Zahra tampak enggan saat Khairan membungkuk untuk mencium punggung tangannya. “Khairan pamit, Umma.” Ayunda meringis karena ibunya sama sekali tak membalas ucapan Khairan. “Sampai jumpa lagi.” “Kalian sudah saling bicara, kan? Kau sudah tahu Ayunda belum diizinkan memiliki ponsel, jadi kau bisa menghubungiku saat ingin berkunjung.” Khairan mengangguk. “Salam untuk Abah Zulhan juga, Umma.” Setelah itu Ayunda hanya bisa melihat kepergian suaminya itu. Khairan menghilang di balik gerbang pesantren. Hatinya terasa campur aduk. Ada rasa kehilangan yang aneh, namun juga optimisme tentang pertemuan-pertemuan yang akan datang. Janjinya untuk sering bertemu lagi bukanlah sekadar basa-basi, itu adalah tekad. Hampir malam saat Khairan sampai di Kastil Abinaya. Di depan pintu utama ada Latifa Bakrie dan Bintang Abimayu menyambutnya. Senyum Bintang tak terlalu lebar, seolah paham perasaan putranya yang berat. “Syukurlah sampai dengan selamat.” “Rasanya Khairan ingin menculik Ayunda saja.” Kata pertamanya berisi kekesalan yang sulit ditutup-tutupi. Senyum Bintang mencuat singkat, “Harusnya kau tulis itu di syarat-syarat pernikahan kalian.” Khairan menghela napas. Lelah tubuh dan hatinya. “Boleh minta peluk, Ummi?” Ifa melihat Bintang sesaat, lalu suaminya mengangguk, memberi izin. Ifa pun merentangkan tangannya dan menepuk pelan putranya tersayang. “Hari yang berat, ya.” “Hm.” Khairan merasa pelukan itu menyalurkan energi kembali untuknya. Ia pun segera melerai diri. “Kalau besok Khairan ke sana lagi, apa itu akan menambah masalah untuk Ayunda?” Bintang diam menimbang. “Tunggulah tiga hari.” “Abati...!” keluhnya cepat. Senyum mengejek Bintang keluar, bahkan Ifa ikut-ikutan geli. “Pengantin kecil.” Khairan merengut, ia bukan takut Ayunda akan disakiti Zahra, tentu saja Ayunda sudah sepanjang hidup dengan ibunya itu, namun, Khairan tak punya jalan untuk meringankan beban kekasihnya selain bertemu. Dan, tiga hari itu akan menyesakkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD