Sepasang pengantin

1226 Words
“Zahra...!” Seruan Zulhan tak dihiraukan. Wanita tersebut datang ke tirai pembatas dan langsung menyalak kepada Yunus, “Apa maksudmu dengan MEMESAN KAMAR?!” Perkenalan Ayunda dengan suami barunya terhempas, hancur berkeping-keping oleh suara ibunya yang menusuk. Wajah sang ibu menyala, pertanda badai yang akan segera disaksikan mereka. Yunus menghela napas, seolah mencoba menahan lahar amarah yang siap meletus juga. “Sebentar saja, tiga puluh menit hingga satu jam.” Namun, di mata wanita di hadapannya, tak ada ruang untuk kompromi. Suaranya dingin, menusuk. “Kehadiranmu tidak dibutuhkan lagi. Pergi!” “Umma...” Ayunda memohon, suaranya tercekat. Rasa malunya ternyata belum usai, justru semakin dalam, menusuk hingga ke ulu hati. Ia merasa seperti boneka yang tak berdaya, terjebak di antara mereka yang bertikai. “Khairan, antar istrimu ke kamarnya,” titah Ifa lembut, mencoba meredakan ketegangan yang menyesakkan udara. Tapi Zahra sudah di ambang kemurkaan yang tak terbendung. Matanya memancarkan api kebencian yang membara. “KAU yang memutuskan untuk meninggalkan kami! Pergi, seperti yang kau mau dan jangan kembali lagi. Kami sudah tak butuh dirimu!” Seolah tersengat, Bintang segera membawa Ifa menjauh, menariknya dari pusaran pertikaian dua insan yang dulu pernah berbagi cinta, kini hanya menyisakan bara dendam dan luka yang menganga. *** Ayunda merasa dilema, hatinya remuk. Pertemuan ini bukan reuni, melainkan ledakan dari masa lalu yang terkubur. Kini menguak, meluluhlantakkan segalanya. Entah bagaimana dulu dirinya bisa hadir di antara dua orang itu. Ayunda benar-benar merasa patah, seluruh dirinya. Khairan menuntun Ayunda menjauh dari hiruk pikuk itu, membawanya melangkah tanpa henti menuju kamar yang Khumaira katakan letaknya. Hanya berdua, sepasang pengantin baru dengan hati yang gamang, melangkah diiringi musik hotel yang mengalun pelan, seolah menjadi latar sendu bagi drama pribadi mereka. Isak kecil terdengar lirih dari sampingnya. Cahaya dari ujung koridor menjadi seperti titik tuju yang akan menyelamatkan. Khairan haruslah seperti itu, jadi jalan keluar untuk semua duka Ayunda. Jadi cahaya untuk kegelapan yang mengerubungi istrinya. Khairan sempat mengomeli diri sendiri. Ia yang disebut-sebut jenius malah tak tahu bagaimana cara mengusir pergi kesedihan Ayunda. Ia menoleh pada istrinya, mencoba menemukan celah untuk menghibur. “Kukira pernikahan kita akan senyap sekali,” ujarnya, suaranya dibuat seringan mungkin. “Ternyata kembang apinya meletus di waktu yang tepat, ya?” Ayunda mengangkat tangan dan menyentuh pipi, menghapus jejak air mata. Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya yang masih sedikit bergetar. “Maaf, merusak suasana.” “Jangan khawatir,” balasnya lembut dengan nada jenaka yang khas, “Aku tahu ini bukan sambutan yang kita impikan. Cobalah lihat sisi positifnya. Kita sudah melewati bagian paling dramatis di awal pernikahan. Setelah ini, rodanya akan sedikit bergeser, kan? Kita bisa istirahat.” Ayunda merasa damai mendengar kata-kata Khairan. Pernikahan mereka, dengan semua syarat dan hal-hal mendadak ini. “Rasanya aku tidak ingin bertemu Umma dalam waktu dekat. Aku tidak ingin menyakitinya, ataupun mulai berkurang menyayanginya. Beliau pasti tidak mengizinkan, ‘kan?” Khairan mengedikkan bahu, senyum kecil tersungging di bibirnya. “Jangan coba menanyakannya. Beliau mungkin berpikir kau akan lari ke kamarku begitu diizinkan.” Ayunda tersentak malu. Namun, senyum kecil akhirnya lolos. Ia tak mau terlalu serius. “Kita berdua tahu, akulah yang menginap di kamar itu. Siapa yang menuju kamar siapa, hm?” godanya, sedikit lebih ringan. Khairan tersenyum simpul. “Kita tidak tahu apa yang akan terjadi, apa yang akan diputuskan mereka. Istirahat, gunakan waktumu.” Ayunda paham, meski tidak dijelaskan secara gamblang. Ia lebih baik tidur tanpa memikirkan apa-apa. Tubuhnya hanya perlu istirahat sejenak. Entah bangun nanti ia akan bisa bertemu lagi ayahnya dan mengantar ke bandara, atau sebaliknya, tak berjumpa lagi selama-lamanya. Mentari pagi menembus jendela tinggi di ujung lorong hotel, menciptakan garis-garis cahaya keemasan di atas karpet tebal bermotif klasik. Meski sudah pukul sepuluh pagi, suasana masih terasa hening, hanya sesekali terdengar deru samar dari vakum pembersih di lantai bawah. Khairan berdiri tegak, menunggu Ayunda masuk ke kamar gadis itu. Dia tampak ragu, seolah kakinya terpaku di depan pintu. “Kita suami istri, tahu. Kau boleh bicara meski aku tidak siap mendengarnya.” Ayunda tersenyum kecil, senyum yang tak sampai ke matanya. Gadis itu batal masuk ke kamar. Malah menyandarkan punggungnya di dinding, tepat di sebelah pintu, kedua tangannya tersembunyi di belakang punggung. “Lima belas tahun,” bisiknya, suaranya nyaris berbisik, menyiratkan beban yang dipikulnya. “Tiga tahun lagi, setidaknya,” Khairan melengkapi, seolah mereka berdua memahami teka-teki waktu yang mengimpit itu. “Hm,” Ayunda mengangguk masam, pandangannya menerawang jauh, menembus dinding-dinding hotel. Khairan seolah tahu, Ayunda ingin kabur dari kenyataan dan perasaan yang berkecamuk dalam hatinya. Lorong yang sunyi ini, dengan bias cahaya matahari yang lembut, seolah menjadi saksi bisu dari pergulatan batinnya. Ayunda kemudian mengembuskan napas keras, hingga kain cadarnya sedikit terangkat oleh embusan itu. “Saat-saat begini, rasanya ingin waktu berhenti,” ujarnya getir. “Aku tidak tahu mana yang lebih baik. Apa ada yang mirip dariku dengan beliau?” “Mungkin darah kalian,” jawab Khairan, mencoba mencari alasan yang paling logis, meski ia tahu itu tidak cukup menghibur. Ayunda lagi-lagi menghela napasnya, sebuah tarikan napas panjang yang sarat kekecewaan. “Harusnya ini hari bahagia,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. “Bagiku memang membahagiakan,” Khairan bersikeras, mencoba menyelamatkan momen itu. “Aku juga, kalau masalah mereka tidak ada.” Ayunda terdengar lelah, keluhannya terasa tak akan ada akhir. Ada nada putus asa dalam suaranya, tahu tak ada jawaban yang bisa membebaskan dirinya. “Aku masuk dulu.” Pamitnya tanpa menunggu jawaban, segera berbalik dan menghilang di balik pintu kamar yang tertutup pelan. Khairan tertinggal sendirian di lorong yang kini terasa semakin panjang dan hampa. Ia menatap pintu yang bergeming, masih menyimpan gema percakapan mereka. Untuk sesaat, pemuda itu menyandarkan diri di tempat Ayunda semula berdiri, merasakan sisa kehangatan punggung gadis itu di dinding yang dingin. Apa lagi yang bisa dilakukannya? Lorong itu kini hanya menyisakan keheningan dan pertanyaan yang menggantung di udara. *** Ayunda tersentak dari tidurnya saat pintu diketuk pelan. Gadis itu belum berminat bangkit dari pembaringan, meski sudah dua kali ketukan dia abaikan. "Ayunda..." Mata gadis itu langsung siaga. Panggilan dan nada tak asing itu mulai bergema nyaman di telinganya. "Sebentar!" Ayunda tergesa mencari khimar dan niqabnya. Tadi, setelah tukang rias bantu membersihkan wajah dan membawa pulang pakaian pengantin sewaan, gadis itu tertidur. Ayunda sempat berpikir betapa singkatnya waktu hingga ia bahkan tidak bisa memesan gamis pernikahannya sendiri. Ayunda membuka pintu, terengah sendiri. Khairan tersenyum menyambutnya. "A—ada apa?" "Nyenyak tidurmu?" "Hm," Ayunda ragu, "Sepertinya." Senyum Khairan melebar lagi. "Boleh aku masuk?" Ayunda mengerjap beberapa kali, mencoba mencerna. Hingga riak gelak Khairan menyadarkannya. "Kau... tidak akan macam-macam, kan?" Khairan mengangguk tenang. "Kau ingat syarat-syarat itu? Tidak ada poin tentang perceraian ataupun hukuman jika kita melanggar. Pada kenyataannya, orang tua kita paham hukumnya, lemah sekali apa yang mereka coba hentikan." Ayunda meneguk ludah sulit. "Sebagai seorang yang paham juga hukumnya, kita tentu bisa memegang janji seorang Muslim. Belum satu hari..." "Jadi aku harus tetap di sini selagi kau berkemas?" pungkas Khairan geli. Ayunda belum sepenuhnya sadar. "M-maksudnya?" "Aku akan mengantarmu pulang,” jawab Khairan tenang. "Oh, tidak perlu. Kita tahu jarak dari sini ke sana saja sudah cukup jauh, belum lagi waktu yang kau butuhkan untuk pulang. Itu akan melelahkanmu..." Kalimat cepat dan panik Ayunda mendadak hilang. Pikirannya mendadak bercabang. Dalam sekejap, gadis itu beralih masam. "Oh," katanya terdengar pasrah. Ayunda kemudian membuka lebar pintu kamarnya dengan kepala tertunduk, mempersilakan Khairan masuk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD