Bintang duduk di tengah, diapit Khairan dan Yunus, berhadapan di meja. Keheningan mencengkeram. Sementara itu, Ayunda ditemani Khumaira dan Khadijah di balik partisi indah.
"Kita akan memulai akad nikahnya," Bintang memecah keheningan. "Khairan, siap?"
"Siap, Abati." Khairan mengangguk mantap, meski ketegangan tergambar jelas dari rahangnya. Ia menghela napas, berusaha menenangkan diri.
Pandangan Bintang beralih pada Yunus. "Kami mengerti bahwa Anda adalah wali nikah sah dari Ayunda. Mohon maaf karena Anda harus hadir pada pernikahan tak terduga yang banyak menyita perhatian ini. Saya rasa Anda pun harus tahu, Khairan saat ini berusia tujuh belas tahun dan dia sendiri yang ingin pernikahan ini dilangsungkan."
"Ayunda tidak mungkin sudah... hamil, kan?" tanyanya, berbisik kecil, penuh keraguan.
Bintang terkekeh geli, lalu menyodorkan lembaran berisi syarat-syarat pernikahan yang sudah ditandatangani Ayunda dan Khairan, serta banyak nama lain yang membubuhkan tanda tangan. "Bacalah dulu."
Yunus gemetar melihat poin-poin itu, lalu menghela napas panjang. Matanya kemudian menatap Bintang dan Khairan bergantian. Pada poin terakhir, ia bertanya, "Anda yakin syarat ini tidak memberatkan pernikahan mereka?"
Bintang dengan tenang merespons, "Mereka sudah tanda tangan."
Yunus tampak menimbang, selagi memandangi Khairan. Keraguannya terbit, tetapi ia sudah punya perjanjian pula dengan Zahra agar tidak ikut campur. Wanita itu masih tampak siaga menilik gerak-geriknya.
"Bisa kita mulai?" Bintang bersuara setelah Yunus meletakkan kertas tersebut kembali ke meja, tampak tak akan protes apa pun lagi.
Dia mengangguk pelan.
Bintang yang melihat Yunus sejak pandang pertama tahu ada sedikit keraguan padanya. "Anda mualaf?"
Yunus mengangguk lagi.
"Kita akan memakai nama Anda sebelum diubah kalau begitu."
"Yohanes," suara Yunus sedikit serak namun jelas.
Ayunda sangat gugup mendengar nama itu. Pikiran berkeliaran di kepalanya. Mungkin itu sebabnya mengapa Zahra menyembunyikan tentang sang ayah. Ayunda hanya bisa meremas tangan Khumaira yang memberinya dukungan. Tirai putih semata menjadi pandangan utamanya selagi proses itu dilaksanakan.
Kemudian Khairan dan Yunus saling menggenggam tangan. "Saya terima nikahnya Ayunda binti Yohanes dengan mas kawin tersebut, tunai."
Napas Ayunda tertahan. Rasanya seperti seluruh udara di ruangan itu menipis. Kata-kata "binti Yohanes" menggema di telinganya, sebuah penegasan atas identitas barunya yang terasa asing. Ayunda merasakan air mata mendesak keluar setelah sah digemakan. Bukan air mata kebahagiaan murni, melainkan campuran antara rasa lega karena akad telah usai, dan kepedihan karena semua rahasia akhirnya terkuak di hari penting ini. Ia kini resmi menjadi istri Khairan, namun bayangan Yunus, ayah kandungnya yang baru saja hadir, menguasai benaknya.
"Barakallahu laka wa barakaa alaika wa jamaa bainakuma fi khair." Khumaira menyadarkan kembali Ayunda dengan sentuhan lembut.
Khadijah pun tersenyum manis kepadanya. "Kata Ummi, Bibi sekarang jadi istri Paman Khairan?"
"Yah," Ayunda menyisihkan sebutir air mata di sudut matanya, tersenyum tipis. “Begitulah.”
Khadijah hanya mengangguk malu-malu. Rona senangnya tampak jelas. "Selamat."
"Silakan lihat pengantinmu, Khairan," Bintang menyapa, memecah suasana yang masih sedikit kaku.
Ayunda mendengar titah itu. Kini tubuhnya kaku, menunggu dengan jantung berdetak riang. Inilah saatnya. Ayunda akan melepaskan tabir dari suaminya.
Bersama Khairan, Bintang dan Ifa juga ikut, mereka menghentikan langkah di belakang. Ayunda tertegun singkat melihat keberadaan Yunus lagi di dekat Khairan.
"Papa...!" panggil Ayunda lirih, spontan.
Yunus mengangguk, senyum tipis terukir di bibirnya. "Boleh ‘kan aku melihat putriku juga?"
Ayunda menangis tak tertahan, gadis itu menunduk saat Khairan tiba di dekatnya. "Maaf kalau saat ini bukan waktu terbaik untuk kesan pertama."
Tangan Khairan terangkat, mengusap jilbab di kepala Ayunda dengan tenang. Doa diucapkannya pelan. Ayunda pun mengaminkan.
"Ini bukan kesan pertama kita, Ayunda," ucapnya pelan kemudian.
Ayunda mengangkat wajah heran, sedikit mengerjap. "M-maksudnya?"
Khairan tersenyum kalem, matanya memancarkan kerlingan geli. "Kita sudah bertemu di toserba, kesan pertamaku untukmu itu."
"Oh!" Ayunda tersentak, pipinya merona merah di balik cadar. Ia malu, mengira ada kisah Khairan tak sengaja melihat wajahnya sebelum hari ini.
"Mengecewakan?" goda Khairan, suaranya mengandung tawa kecil.
Ayunda mencebik, bibirnya sedikit maju. "Hanya jangan kecewa kalau aku tak sesuai... harapan."
Khairan tersenyum lembut, matanya menatap lekat pada Ayunda. Kemudian ketegangan manis muncul di antara mereka. Khairan mengulurkan tangannya perlahan ke arah cadar Ayunda. "Boleh kubuka cadarmu, Ayunda?"
Debaran mereka sama, berpacu dalam irama yang serasi. Saat Khairan akhirnya melihat wajah cantik Ayunda yang penuh polesan riasan, dia mengernyitkan dahi.
"Maaf," ujar Ayunda lirih, seolah akan ada yang salah, dan ia mulai khawatir.
"Bukan, bukan itu," Khairan menggeleng, sebelum Ayunda salah paham. "Aku bahkan tidak yakin ini wajahmu. Terlalu banyak bahan kosmetik di sini," Khairan mencolek pipi Ayunda polos dengan ujung jarinya. Bahkan pemuda itu memamerkan bekas kecokelatan yang didapatnya dari sang istri.
Ayunda tergelak singkat, tawa manisnya memecah ketegangan. "Masyaallah."
"Tidak boleh menipu suamimu, Ayunda." Khairan pun ikut tersenyum lebar, puas melihat reaksi istrinya yang baru. Momen canggung yang tadinya menghantui, kini berubah menjadi kesan pertama yang lucu dan tak terlupakan bagi mereka berdua.
Ayunda dan Khairan saling berinteraksi dengan manis, menciptakan dunia mereka sendiri yang seolah tak terjamah. Yunus memperhatikan mereka, gumpalan emosi bercampur aduk di dadanya. Ada kelegaan, namun juga perpisahan yang akan segera tiba. "Saya pernah mendengar tentang Anda dan keluarga Abinaya, Tuan Bintang Abimanyu," ujar Yunus, suaranya sedikit bergetar menahan haru melihat kebahagiaan Ayunda yang terpancar nyata.
Bintang menanggapi, matanya menatap Yunus dengan pengertian, "Semoga itu bisa menjadi sedikit penghiburan sehingga Anda bisa melepas Ayunda dengan tenang bersama kami."
Yunus mengangguk singkat, "Ya, tentu saja. Zahra benar-benar serius ingin memutuskan hubungan kami. Dia bahkan baru memberitahu lokasi akad satu jam sebelum saya tiba di sini."
"Anda akan pulang sekarang juga?" tanya Bintang, sedikit banyak menyimak pertikaiannya dengan Zahra tadi.
"Itu yang Zahra pertegas." Namun, Yunus enggan. Mata birunya melirik sekilas interaksi lembut Khairan dan Ayunda. Mereka berdua seperti memiliki dunia sendiri yang baru terbentuk, penuh harapan dan kebahagiaan. "Mungkin saya bisa istirahat sebentar. Ayunda juga butuh mempersiapkan dirinya, mungkin juga hati dan pertanyaan-pertanyaan sebelum kami berpisah lagi."
Bintang beranjak sedikit, pandangannya tegas namun penuh pertimbangan, seolah sedang mengambil keputusan penting. "Pesanlah satu kamar untuk Tuan Yunus, Khalid," perintahnya dengan suara rendah dan berwibawa.
"Baik, Abati," sahut Khalid sigap, langsung mengerti maksud mertuanya.
Yunus tersenyum sungkan, melihat betapa cepat dan efisiennya Bintang mengatur segalanya. "Terima kasih sambutannya, Tuan," ucapnya, merasa sedikit lebih tenang dengan perhatian yang diberikan.
Aroma maskulin dari parfum Bintang yang samar tercium, bercampur dengan nuansa kemewahan dan ketenangan khas hotel bintang lima, seolah mengukuhkan suasana di ruangan itu. Setitik kelegaan terpancar. Setidaknya putrinya Ayunda mendapatkan pemuda yang memang sudah terbiasa dengan takhta dan segala kerumitan itu sebagai suaminya. Bahkan, sekelas Bintang saja mempercayai perusahaan permata besar di pundaknya. Harusnya semua akan baik-baik saja.