Tirai rahasia

1717 Words
Hari-hari berikutnya terasa berbeda bagi Ayunda. Hubungan Ayunda dan Zahra merenggang, sementara dengan Zulhan malah canggung. Setiap pria itu mendekatinya, Ayunda menjauh. Bahkan, untuk sekadar memanggil Abah saja Ayunda kelu di lidah. Ayunda sadar dirinya bukan pemberontak, juga bukan anak yang tak tahu berterima kasih. Ia masih menyayangi ayah sambungnya, tapi berbeda dari sayang yang dulu. Ada rasa yang sulit sama setelah semuanya berubah dalam sekejap. Ayunda beraktivitas seperti biasa, tampak murung karena tumpukan pikiran yang menyiksa. Ia tak punya tempat mengadu selain Tuhan saja. Masalah ayah kandungnya lebih banyak menyita perhatian Ayunda daripada pernikahan yang sudah di depan mata. Sesekali Ayunda akan mencuri pandang ke Zulhan, mencari sisa kesamaan pada wajah mereka. Ayunda masih tak mau memercayai bahwa pria penuh kasih itu ternyata bukan sedarah dengannya. Pagi akad nikah pun tiba. Demi menjaga kerahasiaannya, Ayunda, Zahra, dan Zulhan menginap di sebuah hotel. Khairan dan keluarganya akan datang ke sana, menyewa sebuah ruang pertemuan yang disulap menjadi pelaminan sederhana. Hanya kerabat inti dan dua orang saksi terpercaya, satu dari pihak Ayunda dan satu dari pihak Khairan, yang hadir. Mereka hanya ingin mencukupi rukun pernikahan dengan sesedikit mungkin orang yang tahu, sementara itu dekorasi istimewa menjadi penguat suasana. Dalam sebuah kamar, Ayunda sudah dipoles sedemikian rupa. Gamis putih anggun membalut tubuhnya. Suasana tegang bercampur haru menyelimuti Ayunda. Ia duduk dengan jantung berdebar, balutan cadar menutupi sebagian wajahnya, namun matanya tak bisa menyembunyikan kegelisahan. Ia terus menanti, bukan hanya Khairan, tapi sosok lain yang dijanjikan akan datang. Pintu kamar diketuk perlahan. Ayunda yang sendirian tersentak. “Ayunda...” Sebuah suara familier terdengar. “Khumaira?” “Boleh aku masuk?” Ayunda melepaskan kunci ganda pintu kamar hotelnya. Kehangatan Khumaira langsung menyapa. “A-apakah... apakah wali nikahnya sudah datang?” tanya Ayunda, suaranya bergetar. Khumaira tersenyum kecil. “Kau tidak bertanya apakah calon suami sudah datang, melainkan ayah kandungmu?” Ayunda hampir menangis. Kegelisahannya benar-benar menyiksa. Zahra, sebagai ibu yang tahu apa yang terjadi, tak memberi kelegaan sedikit pun. Ayunda khawatir mungkin ayahnya adalah orang yang jahat, berperilaku buruk yang tak sesuai dengan citra pemilik pesantren. Khumaira menenangkan. “Beliau belum datang, tapi Ustazah Zahra sudah menghubunginya dan segera beliau akan tiba di sini.” Ayunda lega sesaat. Satu fase dari ketegangannya mereda. Namun, tingkat ketegangan yang baru tentu tak melepasnya begitu saja. “Bagaimana kalau...” “Berhenti mengkhawatirkan!” Khumaira berkata tegas. Nada yang semula lembut, tiba-tiba membuat Ayunda tersentak. “Kau akan menikah. Tidak berguna memikirkan apa pun saat ini. Hadapi, itu saja tugasmu. Singkirkan semua emosi itu sementara.” Khumaira menghela napasnya. “Maaf, aku cenderung kesal saat ini. Percayalah, Khairan tidak akan membiarkanmu menghadapi semuanya sendirian. Kau bisa mengandalkannya.” Ayunda meremas tangannya. “Jangan mulai menangis, riasanmu akan rusak dan dia akan melihatmu jelek untuk pertama kalinya,” cegah Khumaira. Ayunda sempat tergelak, ironis. Setidaknya Ayunda punya penghiburan, iparnya tidak jahat. “Sekarang ikutlah denganku.” Ayunda pun memulai langkah. “Kau akan bagaimana jika ada di posisiku?” “Tidak. Aku tidak bisa berada di posisimu.” Ayunda menghela napas. “Sampai kalian tiba di rumahku, aku tidak tahu sama sekali kalau ada yang patut kupanggil Abah selain... Abah Zulhan.” “Sama sekali?” Ayunda mengangguk pelan. “Sama sekali. Tidak ada nama, cerita, atau apa pun. Bahkan dua hari ini hubunganku dengan Umma merenggang.” “Syukurlah keluarga kami tidak bermasalah, dan tidak menambah masalah untukmu. Khairan itu solusi, dan kau akan memilikinya. Itulah cara Allah menyelamatkanmu. Aku percaya iman bisa berantakan, tapi Allah tidak akan membiarkan kita menjauh dari-Nya.” Ayunda tersenyum lega. “Terima kasih banyak.” “Kita keluarga. Lebih daripada apa pun, keluarga tetap yang utama.” Ayunda terenyuh. Ayunda dibawa ke balik tirai pembatas ruangan, tempat yang disediakan untuknya. “Duduklah di sini.” Khumaira berjalan ke bagian yang terbuka. “Pengantinmu siap, Pak Tua.” Ayunda tersenyum kecil mendengar panggilan itu. Rasanya Khairan tak pernah mempermasalahkan sama sekali. “Kita tinggal menunggu walinya,” suara Bintang terdengar. Tak lama kemudian, pintu ruang pertemuan itu terbuka, menarik perhatian semua mata. Seorang pria melangkah masuk, memancarkan aura berbeda dari tamu lainnya. Usianya sekitar 50 tahun, dengan rambut pucat kekuningan yang agak berantakan dan sepasang mata kebiruan yang intens, kontras dengan kulitnya yang cenderung cerah. Ia mengenakan setelan jas rapi, namun tatapan matanya membawa kesan lelah sekaligus penasaran. “Saya Yunus,” katanya memperkenalkan diri setelah mengucapkan salam santun. “Duduklah,” titah Zahra dingin. Ekspresinya datar, seolah sudah mengantisipasi kedatangan ini. Zulhan hanya menunduk, entah menyembunyikan kesedihan atau rasa canggung. Pria itu mendekat, hendak menjabat tangan satu per satu pria di ruangan itu. Sapaannya canggung. Ia melangkah, tertuju pada seorang pria. Sebuah kerutan muncul di dahinya, seolah berusaha mengingat atau memahami sesuatu. “Kaukah pengantinnya?” tanyanya lugu. “Oh, bukan!” Khalid syok dikira sebagai calon pengantin Ayunda. Khadijah cepat-cepat datang ke paha ayahnya dengan tatapan tak suka. “Abati.” Mata biru Yunus mengerjap. “Bukan, ya?” Khairan tersenyum tenang mengulurkan tangan. “Saya, Khairan Abinaya, calon suami Ayunda.” “Oh!” Mata birunya kini melebar. Ia berhenti sejenak, mengamati Khairan. Khairan mengangguk hormat padanya, mencoba memecah ketegangan yang menggantung. “Kukira Ayunda saja yang di bawah umur. Mengapa menikah secepat ini?” tanya Yunus, suaranya lebih pada gumaman untuk dirinya sendiri. Khairan tahu, kedatangan Yunus bukan hanya sekadar formalitas sebagai wali melainkan realitas baru yang mengaduk-aduk seluruh dunia Ayunda. Khairan tak akan menutup mata dari masa lalu pahit Ayunda yang berdiri begitu nyata di hadapan mereka. “Duduk dan nikahkan saja mereka,” kata Zahra tajam. Zulhan melerai istrinya. “Tenanglah. Biarkan pernikahan ini berjalan lancar.” “Sebelum aku menikahkan, aku ingin memastikan dulu pernikahan ini tidak dipaksakan kepada Ayunda,” tegas Yunus, pandangannya beralih ke tirai pembatas Ayunda. “Silakan,” kata Bintang, mempersilakannya mendekat ke tirai penghalang Ayunda. Yunus melangkah mendekat, ragu, tapi tidak mengurungkan niat. “Ayunda,” panggilnya lembut, suaranya berusaha terdengar hangat namun terasa sedikit canggung di tengah suasana pra-akad. Pertemuan dramatis terjadi. Ia mengulurkan tangan, seolah ingin menyentuh bahu putri kandungnya itu. Namun, sebelum tangannya sempat mencapai Ayunda, Zahra muncul tiba-tiba, menyambar pergelangan tangan Yunus dengan genggaman kuat. Wajahnya mengeras, menampakkan ekspresi yang Ayunda kenal, campuran marah dan putus asa. “Apa yang kau lakukan?” desis Zahra tajam, suaranya rendah namun penuh ancaman. Matanya memancarkan peringatan, “Jangan merusak hari ini!” Yunus menarik tangannya, tatapannya kini berubah dingin. “Aku hanya ingin menyapa putriku, Zahra.” “Putriku?” Zahra tertawa sinis, suara tawanya kering dan pahit. “Sebagai formalitas belaka! Jangan lupakan kesepakatan kita!” Zahra mendekatkan wajahnya, berbicara nyaris tanpa suara namun penuh penekanan. “Kau ada di sini hanya untuk akad ini. Setelah ini, kau menghilang lagi seperti seharusnya, Yohanes!” Suasana mendadak beku. Bintang pun menjauh dari percakapan intern keluarga Ayunda. Khairan hendak mendekat, tapi Bintang mencegahnya dengan gelengan pelan. Ayunda merasakan pipinya memanas, malu yang luar biasa menyergapnya. Ia tak pernah membayangkan pertemuan pertamanya dengan ayah kandung akan terjadi seperti ini, di hari pernikahannya, di depan keluarga Khairan, dan begitu mempermalukan. “Jadi, Andalah ayah saya yang sebenarnya?” tanya Ayunda kaku, suaranya nyaris tak terdengar. Yunus menghadapkan diri di depan Ayunda. “Maafkan... aku, Nak.” Ayunda mendongak, hanya untuk menahan air matanya jatuh. Ia lalu membetulkan letak kain cadarnya yang sempat naik dan membuat matanya terimpit. “Apakah pernikahan ini keinginanmu sendiri?” tanya Yunus hati-hati. Ayunda mengangguk tegas. Ia ingin drama ini segera usai. “Maukah Anda menikahkan kami?” Ada jurang yang jauh di antara mereka. Yunus merasakan sakitnya sendiri. Bukan maunya begini, tapi... sudah begini. “Setidaknya panggil aku ‘Papa’.” “Tidak perlu, Ayunda. Kalian hanya akan bertemu sekali ini saja!” potong Zahra dengan nada tinggi. “Dia putriku juga, Zahra,” balas Yunus, nadanya lebih tinggi. Mata birunya berkilat menahan emosi. “Aku datang ke sini sebagai walinya, seperti yang kau minta.” “Kau tahu perjanjian di antara kita!” ancam Zahra serius. “Tidak ada yang berubah. Setuju, Yohanes?!” Yunus membuka mulutnya, mungkin untuk membalas, namun pandangannya bertemu dengan mata Ayunda yang kini menatapnya dengan campuran kesedihan, kemarahan, dan rasa malu yang mendalam. Ia melihat sorot mata Ayunda yang memohon agar keributan ini segera berakhir. Helaan napas berat keluar dari bibir Yunus. Ia mengatupkan rahangnya, seolah menelan kata-kata yang ingin diucapkannya. “Baiklah,” ucapnya pelan, suaranya kalah oleh kemarahan Zahra dan rasa malu Ayunda. Yunus melirik Zahra. “Setelah aku menikahkan mereka, izinkan kedua pengantin itu mengantarku ke bandara.” “Untuk apa?!” Zahra menggeram. “Sekarang, kau mau merebut putriku juga?!” Yunus menggeleng. “Setidaknya aku ingin dia tahu, aku tidak pernah membuangnya atau membencinya. Aku merindukan putriku setiap harinya, akan tetapi... keadaan sudah begini.” “Tidak bisa! Selesai akad, angkat kakimu dari negara ini tanpa menoleh sedikit pun!” Zahra masih berdiri kaku, napasnya terengah-engah. Ia bahkan tidak menoleh ke arah Ayunda. Ayunda merasakan getaran aneh menjalari tubuhnya. Ia menatap ayah kandungnya, seorang pria yang selama ini menjadi misteri. “Umma...” panggil Ayunda lirih. Kedua pasang kepala itu menoleh kepada Ayunda. “Ayunda ingin mengantar... Papa.” Zahra ingin membantah, tapi Zulhan datang. “Mengalahlah, Zahra. Kau akan merusak hari bahagia putrimu kalau terus mendesak keinginanmu saja.” Zahra kesal. “Tapi aku ingin yang terbaik untuknya!” “Ya. Kami tahu. Namun, tidak harus seketat itu.” Zahra menghela napas. “Baiklah. Kau boleh mengantarnya, Ayunda. Tapi berjanjilah kepadaku kalian tidak akan membicarakan sesuatu yang membuatku dibenci oleh putriku sendiri!” tantang Zahra pada Yunus. “Kalian tidak akan berhubungan di belakangku dan tidak saling mencari tahu satu sama lain. Tidak boleh terlibat sedikit pun lagi! Selamanya!” “Zahra...” Yunus memohon. “Aku ibunya. Aku lebih besar pengorbanannya, tapi aku hanya mendapatkan sebagian.” Zahra menangis. “Kubilang jangan serakah, Yohanes!” Pria bermata biru itu akhirnya mengalah, “Aku akan melakukan seperti yang kau mau. Aku akan memenuhi janjiku, sama seperti selama ini.” Zahra mengangkat dagu. “Kau mau berjanji juga, Ayunda?!” Ayunda mengangguk. Itu lebih baik daripada membangkang ibunya, daripada tak tahu atau tak mengenal sama sekali ayah biologisnya. Zahra pun puas. Wanita itu dengan tenang kembali ke tempatnya. “Mari lanjutkan pernikahannya.” “Kita bisa bicara sepanjang perjalanan ke bandara nanti, Nak.” Ayunda mengangguk sebagai balasan kalimat lembut ayahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD