Efek pernikahan

1344 Words
Efek pernikahan sungguh membawa kebahagiaan dan semangat penuh untuk Ayunda. Gadis itu bisa dibilang suka bermalas-malasan sebelumnya, baik dalam hafalan maupun mengerjakan tugas-tugas sekolah. Titel sebagai anak pemilik pondok membuatnya sering lalai dan menganggap remeh pelajaran. Namun, setelah pernikahan dengan Khairan, Ayunda berubah drastis. Hafalannya cepat bertambah, tugasnya selalu rampung di hari pertama titah ustazah. Hatinya diliputi sebuah janji, meski tak terucap. Ayunda tak ingin waktu khusus bersama suaminya harus disita oleh tugas atau beban lain lagi. Singkatnya, kerinduan akan Khairan menjadi motivasi terbesarnya. Siang itu, Ayunda sedang melemaskan kakinya di danau. Memang terik, tapi ia memilih menikmati sengatannya, asal bisa bebas menyendiri dengan pikiran berkeliaran bersama bayangan Khairan. Suara riak air yang membelai kakinya terasa seperti bisikan harapan. “Ayunda...!” Gadis itu menoleh, terperanjat dari lamunannya. Sikapnya lekas bangkit dari air dan berdiri santun di hadapan salah satu gurunya yang datang menyapa. “Ada apa, Ustazah?” “Ustazah Zahra memintamu pulang.” “Oh, baik, Ustazah.” Ayunda undur diri. Ada keceriaan yang memercik cepat di wajahnya. Pikirannya melayang dan berharap Khairan akan datang. Tiga hari tanpa pertemuan terasa seperti berabad-abad. Ayunda mengenakan cadar, berjalan buru-buru menuju rumah utama. Gadis itu menunduk, salam sapa dibalas singkat saja. Ayunda mau tak mau harus melewati juga sebagian pemuda-pemuda pondok. Jantungnya berdebar, bukan karena takut, melainkan karena ingin segera sampai dan mendapati harapannya menjadi nyata. Ayunda yang terus menunduk tak sengaja bertabrakan dengan seorang pemuda yang berlari kejar-kejaran dengan teman sebayanya. “Maaf, Ayunda.” Ayunda tak menggubris, dia terus berjalan setelah singkat saja merapikan diri dari ketidaknyamanan. Namun, suara riang di belakang masih didengarnya jelas. “Kau sengaja, kan?” tanya suara lain. “Tidak!” “Itu Ayunda. Kau berminat jadi menantu Ustaz Zulhan, hm?” “Tidak! Aku tahu itu Ayunda, tapi aku benar-benar tidak sengaja. Jangan mulai menyebar fitnah!” sangkal pemuda yang tadi bersapa Ayunda. Ayunda menggeleng saja hingga kakinya membawa jauh dan tak terdengar lagi apa pun di belakangnya. Ayunda lega masuk rumah dan melepas cadar setelahnya. Ada rasa sesak yang perlahan menguap, digantikan oleh kelegaan sederhana. Lekas Ayunda mencari keberadaan ibunya. Namun, yang ada hanya Zulhan. “Ayunda...” pria itu memanggil saat Ayunda ingin menghindar. “Ayunda cari Umma. Abah melihat beliau?” “Umma tadi ke kantor kami, ada sedikit masalah.” Ayunda mendesah. Jadi gadis itu harus ke sana. “Terima kasih, Abah.” “Ayunda...” Ayunda berbalik lagi, memaksakan senyum. Ada gurat lelah di wajahnya, mencoba menyembunyikan kecanggungan. “Ada lagi, Abah?” Zulhan bangkit dari piring kuenya. “Aku tahu kau kecewa kepada kami karena menyembunyikan rahasia selama ini, kami minta maaf.” Ayunda merasakan percikan geli yang juga sinis pada diri sendiri. Ibunya bahkan tak mengucapkan kalimat serupa itu. “Tentu kami berencana memberitahumu sejak lama, sudah sangat matang menyusunnya. Namun, kami tidak kuasa saat lamaranmu datangnya begitu tiba-tiba.” Ayunda tak mau mendengar alasan. Hatinya perih, tidak ingin mengulang luka lama. “Ayunda tak memikirkannya lagi, Abah. Jangan terlalu merasa bersalah.” “Kalau begitu tinggallah lagi di sini. Abah merasa kau menghindari Abah karena kecewa.” Ayunda menggeleng. Matanya berkaca-kaca, ada kesedihan yang sulit diungkapkan. “Ayunda masih selalu menyayangi Abah sama seperti sebelumnya. Hanya saja Ayunda merasa tak nyaman untuk berdekatan. Ayunda tahu Abah sudah jadi mahram Ayunda, tapi... tetap bukan ayah kandung yang sedarah dengan Ayunda.” Zulhan menghela napas. Saat ingin bicara lebih panjang, suara pintu terbuka. Langkah mendekat tergesa, “Ayunda...” “Umma meminta Ayunda datang?” tanya gadis itu berbalik badan. “Ya,” Zahra langsung masam. Wanita itu melewati Ayunda dan duduk di kursi, mengambil beberapa potong kue lalu mengunyahnya kasar. Ayunda menunggu. Harapannya melambung tipis, membayangkan Khairan akan muncul dan mengubah suasana. Namun, ia seperti hanya mematung untuk sesuatu yang tak akan terwujud. “Umma... mengapa memanggil Ayunda? Ada apa?” “Aku tidak tahu apa yang kau lakukan. Mengapa ada lagi yang datang ingin melamarmu?!” tanya Zahra dengan pandangan menuding. Ayunda tersentak. Sebuah kejutan pahit menusuk ulu hatinya. “Siapa lagi yang kau goda?!” Ayunda yang tak paham tentu heran. Siapa pun yang datang, Ayunda tak ingin tahu dan tak memedulikan. Pikirannya kalut, mencoba mencerna tuduhan tak masuk akal ini. Ia tak ke mana-mana, dan tak pernah menyapa siapa-siapa. Namun, entah bagaimana, semua seolah jadi salahnya. “Umma...” “Satu lagi. Khairan bilang akan datang. Mungkin dia sudah di sini, tapi dia tetap memintamu menghubungi lebih dulu.” Zahra merogoh kantong gamisnya dan meletakkan ponsel di meja. “Hubungi dia. Lagi pula aku tidak mungkin menerima lamaran satu lagi. Poliandri jelas akan mencoreng Islam. Pun, bagaimana kau akan mengurusi dua suami sekaligus? Tidak mungkin. Putriku tidak seharusnya semurah itu.” Ayunda merasa panas telinganya. Tamparan dari kata-kata sang ibu juga mendarat keras di pipinya. Melihat ponsel ibunya, Ayunda meraih benda itu. “Ayunda bawa ini, Umma. Permisi.” Masih sakit telinganya mendengar ucapan tajam sang ibu. Namun, nama kontak Khairan sedikit menenangkan hatinya. Deretan nada tunggu lumayan lama Ayunda dengar. Perasaannya mulai tak nyaman. Takut kalau suaminya sudah berbalik pulang karena terlambat Ayunda menghubunginya. “Maaf, Umma tadi ada kesibukan. Jadi, aku baru bisa menghubungimu sekarang,” Ayunda langsung buka bicara setelah panggilan tersambung. Dadanya berdesir takut. “Kau... sudah di jalan?” “Aku sudah sampai,” jawabnya tenang. “Mau bertemu denganku atau aku pulang saja?” Ayunda terjentik rasa heran. Ada nada aneh yang samar di suara Khairan, entah apa lagi yang salah. Gadis itu menggeleng, mengenyahkan pikiran buruk. “Tentu saja bertemu. Sudah jauh datang ke sini, mampirlah.” Ketukan di pintu terdengar, satu detik setelah ucapannya selesai. Ayunda pun memakai cadar, gegas ke sana dan ia terenyak mendapati Khairan mengantongi ponselnya. “Assalamualaikum,” salamnya masam. “W-wa’alaikumussalam.” Khairan bergerak masuk, sesaat, sengaja menabrak Ayunda sedikit. Ayunda tentu terdorong mundur, rasa heran yang tak terselamatkan segera memenuhi kepalanya. Ayunda berdeham, “Silakan duduk.” Khairan pun menjatuhkan diri dengan tenang. Ayunda menelisik. Khairan menghindar. Seolah, mata suaminya yang tampak tajam tanpa senyum itu sudah melihat kejadian sebelumnya dan me-rekaulang. “Kau... melihat sesuatu?” “Siapa dia?” tanyanya tak buru-buru menghindari kesan cemburu. Panas d**a Khairan terasa, membakar emosi yang terpendam. Ayunda duduk pula. Meringis, “Akan kujawab ‘tidak tahu’. Karena memang aku tidak tahu. Tidak melihat wajahnya atau bersapa. Itu tidak sengaja.” Khairan mengembuskan napas kasar. “Aku baru merasa muda,” keluhnya kepada diri sendiri. Ayunda masih tak enak hati. “Bagaimana lagi, memang itu kenyataannya. Maksudku ... yang terjadi, padaku,” jelasnya cepat, sebelum Khairan salah mengartikan. Khairan menatap Ayunda yang pasrah. “Aku lupa bertanya, mungkin kau punya seorang incaran sebelum menikah denganku?” tanyanya terlontar jatuh. Sekarang pikiran itu baru tiba di kepala. Mungkin saja sedikit kisah Khalid dan Khumaira menyapa pernikahannya juga. Ayunda menurunkan kain cadarnya dengan kasar. Matanya menatap Khairan tajam, ada kilatan amarah dan kekecewaan atas tanya serampangan pemuda itu. “Aku tidak terima pikiran liarmu.” Khairan menipiskan bibir. Ia pun tahu kalau pikirannya memang bergerak liar beberapa saat ini. “Kurasa aku perlu minuman dingin.” Ayunda bangkit, “Tunggulah sebentar, tenangkan dirimu.” Khairan menarik dan mengembuskan napas banyak-banyak. Ia tak tahu kalau rasanya bisa sesegera ini mengalami cemburu. Yang terpikirkan hanyalah mandi. Khairan pernah dengar tentang danau Pesantren Darul Quran, yang kata ayahnya sangat menyegarkan. Namun, ia bukan salah satu yang terdidik di sini. Bukan tempatnya untuk sesuka hati. Muncul gejolak di dadanya, percampuran rasa malu, kesal, dan sedikit geli karena ulah cemburunya sendiri. Ayunda kembali dengan segelas es jeruk. Dari warnanya itulah yang Khairan simpulkan sepihak. “Untuk orang yang cemburu tidak jelas!” ucap gadis itu sinis. Khairan mengipas-ngipaskan wajahnya. Malu, marah, dan memang terpanggang. “Mungkin perlu saya masukkan kulkas?!” tawar Ayunda lebih sarkas. Khairan tersenyum singkat mengambil gelas es. Ia terjengkit saat merasai minuman itu yang ternyata bukan jeruk, melainkan... “Kunyit?!” Ayunda mengangguk, tenang dan menantang. Itulah alasan suara blender tadi, pikir Khairan. Dan, kini rasa pengar tertinggal di lidahnya. Khairan melepaskan gelas. “Kau sendiri yang membuatnya?” “Ya. Tidak kutambahkan gula,” Ayunda mempertegas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD