Badai emosi

1466 Words
Suasana tegang masih menyelimuti ruang tamu tersebut. Ayunda sepertinya tak mau jika ia harus terima saja atau menjelaskan ulang. Satu tanya memojokkan yang tadi Khairan lontarkan telah mengusik amarahnya. Khairan tersenyum kecut karena rasa tertantang yang Ayunda gaungkan. “Jadi, beginilah kalau kita sedang bertengkar?” tanyanya geli. Ayunda menghela napas panjang. Lelah terpancar dari tatapannya. Khairan seolah sudah kembali dari rasa cemburu yang tak berguna itu. “Mari berbaikan!” ajaknya masih tegang. “Mulailah,” kata Khairan menyilakan, lebih tenang. Ayunda menggigit bibirnya. Ia tak mau. Khairan yang pertama mencemburuinya, secara berlebihan. Namun, sikap balasan yang Ayunda berikan juga tak masuk akal. Ayunda berjuang untuk berdamai dulu dengan perasaannya. Mengingat betapa banyak penghiburan Khairan saat rapuhnya dan bagaimanapun juga mencemburui itu wajar. Khairan sudah jauh-jauh datang, jelas bukan untuk pertengkaran. Dan, Ayunda punya alasan utama, ia ingin hubungan mereka baik-baik saja. Khairan tetaplah suaminya. “Maafkan aku,” desahnya lemah. Khairan menarik napas panjang. Sikap frontal balasan Ayunda mungkin juga ada sebabnya. “Kau juga punya hal lain selain sikapku?” Ayunda mengangguk pelan. Wajahnya kembali sendu. Ditutur sedemikian kejam oleh ibunya sendiri sangatlah tak nyaman, apalagi didengar juga oleh ayah sambungnya langsung. Khairan membujuk, “Mau memberitahuku?” Ayunda mengangkat wajah, memandang pada mata hitam kelam Khairan yang serasa menariknya untuk patuh. Namun, Ayunda merasa takut. Akan tambah masalah jika Khairan tahu ada orang lain yang terayu olehnya meski Ayunda tak sadar sama sekali melakukan hal itu. Ketakutan itu jelas tergambar di matanya. “Tidak, ya.” Khairan merasa tertolak. Agak menyakitkan, tapi mustahil untuk memaksa. “Mungkin kau bersedia memperbaiki minumanku? Mana tahu bisa mengubah perasaan juga.” Ayunda lekas bangkit mengambil gelas suaminya. Momen itu Khairan gunakan untuk menahan pergelangan tangan Ayunda. Mereka bertatapan sangat dekat. Detak jantung mereka seolah berpadu, mengisi keheningan singkat itu. “Maaf juga atas sikapku,” ucap Khairan mencairkan kusut perasaannya. Ketegangan singkat itu melebur, Ayunda membalas dengan senyuman manis. “Aku mungkin mengalaminya juga jika itu terjadi padamu. Manusiawi sekali untuk cemburu, apalagi kita memang sedang di masa pergolakan emosional.” Khairan melepas tangan Ayunda perlahan. “Terima kasih.” “Mau diganti es teh saja?” tanyanya manis. “Mungkin kalian punya madu?” Ayunda mengangguk, “Tunggu sebentar, Suamiku.” Gadis itu menjauh dihantar tatapan teduh Khairan. Sikap bijak Ayunda melegakannya. Setidaknya gadis itu tidak terus mengajaknya berperang. Sesaat kemudian perasaan lega lainnya membanjiri Khairan, sebuah keyakinan bahwa mereka akan baik-baik saja, bahkan di tengah badai emosi sekalipun. Kali ini, suasana terasa jauh lebih tenang dan santai. Pasangan lima belas dan tujuh belas tahun itu mulai kembali meredakan kecanggungan yang sempat menyelimuti, membiarkan benang-benang kedekatan terajut perlahan. Segelas es madu yang Khairan teguk memberinya rasa manis dan sejuk yang menenangkan. “Tidak ada tugas?” Ayunda menggeleng. Binar matanya menanti sebuah keseruan baru. “Kau punya cerita? Aku sudah bercerita beberapa hari yang lalu.” Khairan melemaskan diri di kursi, membiarkan tubuhnya rileks. “Sebuah survei menyoroti pentingnya berbicara bagi perempuan, terutama dalam konteks kesehatan mental dan kualitas hubungan. Hasil survei menunjukkan bahwa mayoritas perempuan merasa kebutuhan untuk berbicara atau mencurahkan isi hati adalah hal fundamental dalam hidup mereka. Ini bukan sekadar keinginan, melainkan sebuah kebutuhan psikologis yang nyata.” Khairan memaparkan kalimat itu dengan nada penuh pengertian, seolah ingin Ayunda tahu bahwa ia siap memahami, sanggup mendengarkan. “Hm.” Ayunda melirik rumah yang sepi. Gurat kesedihan tampil mendadak di wajahnya. “Kurasa Umma masih dengan sikapnya.” “Yang penting kita sudah sah,” Khairan membalas, mencoba menularkan ketenangan. Ayunda mengangguk, sedikit terhibur. Senyum tipis tersungging di bibirnya. “Aku tinggal di asrama sekarang. Rasanya masih enggan untuk pulang. Rumah bukan lagi tempat ternyaman.” Dia menghibur diri sendiri, “Setidaknya aku punya suami.” Suara terakhirnya terdengar lebih ceria, sebuah pengakuan kecil yang membuat hati Khairan menghangat juga. Khairan tersenyum. Ada janji dalam tatapannya. “Kita tunggu waktunya. Sementara, kita rencanakan akan ke mana.” “Maksudmu...? Umma... mengizinkan?” bisiknya ragu, matanya membesar penuh harap. Khairan mengangguk. Ia sempat bicara tadi dengan sang mertua. Itulah sebabnya Khairan melihat langsung tabrakan tak sengaja Ayunda dengan salah satu pemuda di sana. Sudah cukup lama Khairan di sini. Bahkan, dua kali disuguhkan minuman. Tiga, sebenarnya, dengan es kunyit yang cukup pahit tadi. “Ini terdengar agak memalukan,” gumamnya, sedikit canggung. “Hm?” Ayunda menunggu dengan sabar dan heran. Rasa penasaran memenuhi benaknya. “Apa yang memalukan?” Khairan memerah. Rona tipis menjalar di pipinya, pertanda rasa malu yang tak terduga. “Kau memikirkan sesuatu yang janggal. Terlihat begitu,” tegur Ayunda apa adanya. Nadanya lugu, tapi tegas. “Citramu di mataku sudah baik, jangan rusak itu.” Khairan mengibaskan tangan cepat-cepat, menampik ketakutan Ayunda. “Bukan begitu.” “Lalu apa?” “Khadijah harus ikut kalau kita... berkencan, istilahnya.” Ayunda merona malu. Kata “kencan” terasa begitu asing namun memabukkan di telinganya. Hatinya menghangat, kegembiraan serasa meletup dalam dadanya, seperti kembang api kecil. “Kapan? Aku tak masalah dengan keponakan manis itu.” “Tunggu tanggal haidmu,” jawabnya hati-hati. Ayunda tersentak. Rasa malu seketika mengerubunginya, membuat pipinya terasa panas membara. Sampai-sampai ia menutup wajah dengan kain cadar, juga uluran jilbabnya. “Haruskah kita membicarakan ini?” bisiknya, hampir tak terdengar. “Bagaimana lagi,” Khairan menggaruk tengkuk tak nyaman. “Hanya waktu itu diperbolehkannya.” “Sepertinya kita tidak cukup dipercayai,” gumam Ayunda masam. Nada kecewanya tak bisa disembunyikan. “Positifnya, kita bisa lebih leluasa membicarakan apa pun dan menikmati, tidak sekadar ruang tamu,” Khairan mencoba menghibur. “Yah,” Ayunda mendesah, pasrah. Ada jeda sejenak, sebelum secercah pemahaman muncul di matanya. “Benar juga.” Detik berikutnya, gadis itu semangat lagi, matanya berbinar dengan antusiasme yang baru. “Ke mana?” “Rumahku, berminat?” Ayunda merengut, sedikit tidak suka dengan ide itu. “Kau bilang leluasa. Apa bedanya dengan ruang tamu membosankan ini?” Khairan menyembunyikan senyumnya. Tentu rumah Ayunda tidak sama dengan Kastil Abinaya. Segala privasi dan kemewahan di sanalah tempatnya. Namun, Khairan tak mengekang pilihan. “Kalau begitu, kau punya referensi?” Ayunda tidak memikirkannya. “Mungkin lain kali bisa kita sepakati lagi. Saat ini tidak. Ibuku terlalu sibuk dengan urusan pesantren, sampai-sampai aku hanya akan keluar jalan-jalan saat study tour atau kegiatan pesantren lainnya.” Ayunda lalu mengisahkan masa kecilnya yang serasa terlunta-lunta. Namun, bukan berarti tidak menyenangkan. Hanya saja ia terus dikurung dalam tembok pesantren dan jarang sekali keluar. Ada sedikit nada melankolis saat ia menceritakan, seolah merangkai kembali kenangan yang tersembunyi. “Kau punya cita-cita?” tanya Khairan, nadanya lembut. “Tidak,” kata Ayunda cepat. Ketegasan dalam suara mewakili keyakinan yang telah terbentuk lama. “Setelah hidup, aku rasanya hanya punya satu tugas, meneruskan tempat ini. Untuk apa cita-cita?” Khairan paham. Ekspresinya pun berubah masam. “Khairan Abinaya, juga begitu." Ayunda yakin itu tidak mungkin. "Kau pasti pernah punya." "Cita-citaku sama seperti ibuku dulu," jawabnya lugas. “Apa itu?” “Menyendiri,” jawab Khairan yakin. “Hidup sendiri. Sebelum bertemu denganmu.” Ayunda menyimak, sedikit penasaran dengan situasi pemuda itu yang berubah. “Dan, setelah menikahiku...?” Khairan menatap Ayunda, senyumnya melengkung tipis, penuh makna. “Ingin menyendiri, bersamamu.” “Kau persis anak muda yang tidak punya masa depan,” tuding Ayunda sinis, menepis rayuan manis itu. “Malah sebaliknya. Masa depanku sudah rapi tertata, bahkan tanpa aku meminta atau berusaha keras dengannya.” Ada sedikit nada bangga dalam suaranya, namun tanpa kesombongan. Ayunda mendesah setuju. Ia pun begitu. “Mungkin kita perlu hal lain selain pembicaraan membosankan ini. Setahun ke depan, kita tidak usah membawa-bawa tentang warisan.” Sebal yang Ayunda tunjukkan membuat Khairan terhibur. Tawanya yang renyah mengisi ruangan. “Kau akan jadi Nyonya Abinaya, tidakkah itu menghibur?” “Tidak. Itu seperti membawa rumah di pundak. Lagi pula aku tak tahu ‘Abinaya’ dan apa pun itu... perusahaan permata?” Ayunda ragu. “Kalian pasti sangat kaya,” katanya seperti mengejek. “Yah, begitulah. Lumayan untuk hidup sesukaku.” “Aku iri padamu. Pemuda, dan hidup sesukanya. Seorang gadis keluar rumah saja harus ada mahramnya. Itu sudah mengikat,” protesnya pelan. “Kau akan berhenti iri setelah tahu apa yang harus kubawa karena menjadi pria Abinaya,” sahutnya masam. “Sudah kuduga, bicara keluarga itu... membosankan.” Ayunda bangkit dengan semangat membara, “Tadi salah satu teman sekamarku, mengajariku sesuatu. Kalau kau mau, kita bisa bermain-main sedikit daripada kepala meledak.” Khairan mengangguk setuju. “Kita memang di usia yang cocok untuk bermain!” Khairan diam di tempatnya sementara Ayunda menghilang masuk ke rumah. Ia punya sedikit pengetahuan. Bagaimana Nyonya Rani dan Tuan Abimayu bertemu, berinteraksi setiap hari. Diceritakan ulang oleh Latifa Bakrie dalam salah satu bukunya. Khairan pikir, Nyonya Rani itu kurang lebih mirip sikapnya dengan Ayunda Haris binti Yohanes. Tegas, feminin, tapi juga punya daya karismatik yang memukau.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD