Ruang tamu itu berpendar oleh cahaya matahari siang. Di atas meja, gelas kosong yang tadi berisi es madu kini hanya menyisakan titik-titik embun di luarnya.
“Coba kulihat, apa yang kau buat?” Khairan mencondongkan diri ke meja, penasaran.
“Kubilang mobil!” seru Ayunda semangat, senyum lebar menghiasi wajahnya. “Kita akan balapan.”
Tak lama setelahnya, Ayunda benar-benar berhasil melipat kertas yang dibagi dua itu menjadi berbentuk mobil dan meluncur begitu ditiup bagian belakangnya. “Aku berhasil!” seru Ayunda melompat kecil di tempatnya.
Kegembiraan Ayunda menular pada Khairan. Pria muda itu ikut beraksi pula. Dengan lugas, Khairan mengambil sisa kertas yang dipotong Ayunda tadi, lalu membentuknya sama dengan milik Ayunda. Bedanya, Khairan berhasil membuat itu dalam sekejap, hanya seperempat waktu dari yang Ayunda perlukan.
Gadis di depannya menganga polos, ekspresi takjub campur kebingungan terpampang jelas di wajahnya. “Kau… pasti menertawakanku,” katanya terlontar, suaranya sedikit tercekat oleh rasa terkejut. “Mengapa tak membantu kalau kau sudah tahu?”
“Aku tidak tahu. Aku baru saja tahu,” Khairan mengoreksi, nada suaranya tenang dan datar.
Ayunda mengerjap, tuduhannya terasa aneh. Ia tetap yakin kalau Khairan sebenarnya sudah tahu sejak awal cara membuat mobil lipat kertas itu. Keraguan tergambar jelas di matanya yang menatap Khairan lekat-lekat.
“Sungguh, aku melihat yang kau kerjakan, makanya aku bisa.”
Ayunda tetap tak percaya. Alisnya sedikit bertaut, menunjukkan perdebatan batin yang sengit. “Aku ingin percaya, aku tahu kau mungkin tidak berbohong, tapi…”
Khairan disebut jenius. Itulah alasannya. Otaknya bekerja cepat dan menangkap informasi seolah mencatatnya dalam waktu singkat. Satu kali saja melihat, informasi itu akan terekam selamanya di kepala Khairan. Efisiensi benar-benar tergapai dengan otak jeniusnya itu. “Buatlah bentuk lain, biar kutebak.”
Ayunda tanpa senyum melipat kertas. Ekspresinya datar, namun ada secercah tantangan di matanya. Setengah jalan, gadis itu menatap Khairan, “Menurutmu akan jadi apa?”
“Tidak tahu. Khadijah hanya bisa membuat bunga, orang-orangan, dan mangkuk persegi.”
Ayunda kemudian meneruskan lipatannya dan di akhir benda itu berubah bentuk menjadi pesawat. Gadis tersebut mengayunkan lengan lalu melepas kertas tersebut hingga terbang dibawa udara sekitar.
“Oh!”
Reaksi kagum Khairan menunjukkan kepolosan yang tulus, matanya membulat. Ayunda terus menelaahnya. Sebuah senyum tipis tersungging, “Cobalah.”
Khairan pun melipat dan berhasil melakukannya. “Begini?”
Ayunda menghela napas, bercampur antara takjub dan sedikit frustrasi. “Kau… jenius?” tanyanya ragu, nyaris berbisik.
Sudut bibir Khairan terangkat sedikit, memperlihatkan kepuasan yang tersembunyi.
Ayunda mendesah sebal, raut wajahnya menunjukkan kejengkelan yang kentara. “Aku sempat dengar, entah siapa yang bicara. Kurasa itu juga alasannya mereka tidak bisa menolakmu. Abati menuruti keinginanmu untuk menikahiku. Umma menyetujui pernikahan meski harus membongkar keberadaan ayah kandungku sebelum waktunya. Itu juga alasan mengapa mereka siap mempercayakan perusahaan dan pondok kepadamu. Bukan begitu?”
Senyum Khairan makin lebar. Matanya berbinar, menunjukkan kebahagiaan yang tak terbendung.
Ayunda resah lagi. Gurat kecemasan tampak di wajahnya. “Jujur saja, apa istimewanya aku?” tanyanya berubah rendah diri.
Khairan tak merespons. Ia menarik satu lembar kertas lalu membuat bentuk dan menyerahkannya kepada Ayunda, “Untuk istriku.” Senyumnya lembut dan menenangkan, seolah seluruh pertanyaan Ayunda telah terjawab dalam isyarat sederhana itu.
Ayunda ragu, tapi anggukan kecil Khairan memaksanya menerima bunga kertas itu. Ia menatap bunga itu, lalu beralih pada Khairan, mencari jawaban yang terselip dalam interaksi kecil mereka.
Khairan menggeser duduknya, mendekat. “Aku tidak bisa menjelaskan apa istimewanya seorang Ayunda Haris. Hanya saja, setiap kali aku melihatmu, kaulah keindahan itu.”
Pipi Ayunda merona tipis. “Tapi… jenius. Kau bisa mendapatkan apa saja, siapa saja.”
Khairan tertawa kecil, suara tawa yang renyah dan menenangkan. “Jenius atau tidak, itu tidak mengubah fakta bahwa hatiku memilihmu, Ayunda. Apa yang orang lain pikirkan atau katakan, itu tidak sepenting apa yang kurasakan.” Khairan menatapnya serius. “Aku memilihmu. Sejak pertama kali kita bertemu.”
Ayunda terdiam, memproses setiap kata. Kalimat itu mengalun seolah uluran tangan, menyentuh lembut pipi Ayunda dengan belaian tak kasatmata. Ia ingat bagaimana pertemuannya dengan Khairan, memang terasa berbeda. Ada tarikan aneh, seperti pengertian yang tak terucap. Mata Ayunda berkaca-kaca, “Kau... tidak menyesal?” tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar, memastikan pertanyaan terakhir yang bergelayut di benaknya.
Khairan tersenyum, senyuman paling tulus dan menawan yang pernah Ayunda lihat. Pemuda itu menggelengkan kepala pelan. “Tidak sedikit pun. Justru aku bersyukur. Karena kehadiranmu... akhirnya melengkapi apa yang selama ini terasa kurang.”
Manisnya kebersamaan merebak di antara mereka. Ayunda memutar-mutar bunga kertas di tangannya. Jemarinya merasakan setiap lekukan kertas dengan hati-hati, seolah bunga itu terbuat dari bahan paling rapuh yang pernah ia sentuh.
“Jadi, mau balapan lagi?” tanya Khairan, matanya mengerling jahil.
Ayunda tertawa kecil, “Tentu! Kali ini buktikan kejeniusanmu dengan membuat tandingan pesawatku.”
Ayunda tahu, sebagian orang dengan mudah bisa meniru dalam satu waktu, pada percobaan pertama. Ayunda pun begitu saat diajari teman sekamarnya, akan tetapi, Ayunda gagal saat mengulang pembentukan ke dua dan harus diajari sekali lagi supaya bisa membuat yang sama. Dan, jika Khairan gagal juga di pesawat ke duanya, berarti Ayunda pun bisa disebut jenius.
Khairan terkekeh, menerima tantangan itu. Ia dengan cepat melipat kertas menjadi bentuk yang sama seperti milik Ayunda, sementara gadis itu meneliti gerakan lugasnya. Setiap lipatan itu sempurna.
Ayunda sekali lagi menatapnya tak percaya. Buktinya terlalu jelas untuk disangkal. Gadis itu kemudian bangkit memungut pesawat yang sebelumnya ia terbangkan. "Baiklah, dia memang jenius," gumamnya di belakang.
“Bagaimana menentukan pemenangnya?” tanya Khairan menyambut Ayunda duduk kembali di tempat semula.
“Entahlah. Mungkin yang paling jauh terbang atau yang paling lama mengudara, kurasa.”
Khairan lagi-lagi tersenyum mendengar jawaban ringkas Ayunda. Keduanya kini berdiri berdampingan di garis mulai khayalan, bersiap dengan pesawat masing-masing. Ayunda mendadak membaui parfum yang Khairan kenakan. Lembut, harum menenangkan. Berbanding terbalik dengan dirinya yang serasa bau keringat. Jelas saja, Ayunda memang berjemur sebelum pertemuan tak terduga ini. Namun, Khairan sepertinya tak mempermasalahkan sedikit pun. Pemuda itu fokusnya pada permainan mereka saja.
“Siap?” Khairan melirik sang istri.
“Siap… mulai!” seru Ayunda.
Ayunda mengayunkan pesawat kertasnya. Benda itu meluncur terbang, sesaat mengudara dan melayang anggun sebelum akhirnya mendarat lembut beberapa sentimeter di depan pesawat Khairan.
Ayunda melompat kegirangan, “Aku menang! Aku menang!”
Khairan menatap pesawat kertas Ayunda, lalu beralih tersenyum tipis. Ada kekaguman dalam tatapannya. “Sebenarnya kedua pesawat itu tampak sama. Mungkin saja punyaku yang menang.”
Ayunda mengerutkan dahi, “Kau tidak mau mengalah saja?”
Khairan menggelengkan kepala perlahan dan tegas. “Kalau kau punya pensil warna, mungkin sebaiknya kita beri perbedaan dua pesawat itu sebelum berlomba lagi.”
Ayunda merengut, dientaknya kaki. “Sebentar! Kita akan buktikan punyaku memang patut menang.”
Khairan terkekeh senang. Ia tak peduli menang atau kalah. Sebenarnya yang diinginkannya hanyalah kesempatan lebih banyak dan lebih lama menikmati ekspresi Ayunda.
Tak lama gadis itu memang membawa beberapa pensil warna, meletakkannya di meja. “Sebagian besar di asrama. Ini seadanya saja.”
Mereka kembali duduk di tempat masing-masing. “Anggap pesawat tadi didiskualifikasi. Buat pesawat baru, warnai, dan beri nama. Aku tidak akan mengizinkan adanya kecurangan dan kekalahan di sini!”
“Baiklah,” kata Khairan menanggapi dengan santai.
Keduanya sibuk masing-masing dengan lipatan kertas dan pensil warna pilihan mereka. Khairan tentu selesai lebih dulu. Bahkan hasilnya lebih memuaskan daripada milik Ayunda. Dari bentuk juga warna hiasannya. Termasuk, goresan tangan pemuda itu juga mengintimidasi Ayunda. “Benar-benar tidak adil, seorang yang biasa sepertiku bersaing dengan si jenius itu,” gumamnya sebal sendiri.
Khairan gemas bukan kepalang. Dicubitnya pelan pipi Ayunda yang menggelembung secara singkat. “Aku jatuh cinta padamu, Ayunda.” Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya, jujur dan tulus.
Ayunda tersentak. Tangannya berhenti, bahkan dunia dan degup jantungnya serasa terjeda sesaat.
“Aku serius,” Khairan menegaskan lembut.
Ayunda mendengar itu, pipinya bersemu merah, seolah panas menjalarinya. Jantungnya berdebar kencang, menabuh irama yang tak biasa. Suasana di antara mereka berubah, menjadi lebih intim dan penuh kehangatan. Ayunda menunduk, menyembunyikan senyum malu yang merekah di bibirnya.