Sikap sang mertua

1313 Words
Tiga pekan telah berlalu sejak Khairan memberanikan diri berbagi momen jujur di ruang tamu rumah mertuanya. Harapan Ayunda untuk memiliki waktu berdua penuh privasi dan jauh dari kepungan telinga Zahra akhirnya tiba untuk diwujudkan. Khairan tahu, kencan romantis di kafe mewah tidak akan cocok dengan pakaian takwa Ayunda yang sederhana dan suci. Bisa-bisa, hal itu justru menjatuhkan martabat agama yang mereka junjung tinggi, mengingat juga usia muda yang mereka punyai. Meskipun telah sah sebagai pasangan suami istri di mata agama, status pernikahan mereka masihlah harus dirahasiakan rapat-rapat. Sejujurnya, Khairan bisa saja menyewa satu kafe yang tenang dan eksklusif, tapi ia ingin memberikan sesuatu yang jauh lebih istimewa untuk kesan pertama kencan perdana mereka. Sesuatu yang tak terduga, penuh kejutan, dan akan terukir indah di hati Ayunda. Mentari bersinar cerah, kehangatan pagi yang menjanjikan suatu hari indah. Khairan sudah siap dengan kemeja kasualnya melenggang di penjuru Kastil Abinaya. "Khairan...!" Pemuda itu berbalik, menemukan Bintang, ayahnya, berdiri tak terlalu jauh di belakangnya. "Ada apa, Abati?" "Kalian akan berkencan?" Melihat penampilan Khairan, mata Bintang memancarkan senyum penuh arti. Khairan hanya tersenyum tipis, menggulung bibirnya malu. "Gadis itu haid juga akhirnya," Bintang mengangguk paham, seolah memaklumi. "Baiklah. Nanti saja kuberitahu. Nikmatilah kencan kalian." Khairan mengerutkan kening, bingung menatap ayahnya yang berbalik dan menjauh lagi. "Abati... tak apa jika mau memberitahuku sekarang," panggilnya, segera. Bintang menggeleng, "Tidak. Titip salam saja untuk mertuamu." "Baiklah," sahut Khairan tak memaksa. "Sudah bawakan oleh-oleh?" tanya Bintang lagi, menoleh sekilas. "Kudapan," jawab Khairan. Bintang mengangguk, "Hati-hati di jalan." Hati Khairan dipenuhi rasa syukur karena telah dilahirkan menjadi putra dari seorang pria yang begitu pengertian. Mungkin saja masalah yang sebenarnya ingin Bintang bicarakan adalah hal penting, namun beliau tahu, bagi Khairan, Ayunda lebih penting saat ini. Kepekaan dan kepedulian sang ayah memang selalu berhasil menyentuh perasaan sensitifnya. Pemuda itu kembali melangkah tegap dan pasti, jantungnya berdebar penuh harap, menuju sang pujaan hati. Dalam perjalanan panjang itu Khairan menyempatkan diri untuk menghubungi Zahra. Bagaimana pun, ia tak bisa mengontak langsung Ayunda, dan selalu harus lewat mertuanya itu. "Sudah kuduga. Kau memang akan datang," suara Zahra terdengar datar dari seberang telepon. "Bolehkah Khairan membawa Ayunda berjalan-jalan di luar, Umma?" pinta Khairan dengan nada penuh hormat. "Kalian pasti sudah merencanakannya. Akan ke mana kau membawa putriku?" suara Zahra terdengar penuh selidik. Khairan mencebik singkat, ekspresi yang tak mungkin Zahra lihat. "Sebuah tempat sepi yang akan menenangkan hati dan membahagiakan istri," jawabnya penuh misteri. "Di mana itu?!" Suara Zahra meninggi, ada nada tidak suka. Khairan sebenarnya tak mau memberitahu, tapi ia tak ingin Zahra menghalangi jika ia tetap merahasiakan sendiri. Ia lebih ingin kencan ini berjalan lancar. "Amankah tempat itu?" "Ya. Kami akan mengajak Khadijah juga," sahut Khairan, menambahkan nama Khadijah sebagai penjamin keamanan yang mertuanya harapkan. Ada jeda singkat. "Baiklah. Tapi ingat, kalian harus sudah sampai di rumah lagi sebelum magrib!" perintah Zahra tegas. "Baik, Umma," Khairan menyembunyikan jauh rasa senangnya, supaya tak tampil dalam suaranya. "Bolehkah Khairan minta Umma kabarkan pada Ayunda untuk bersiap-siap? Itu akan menghemat waktu kami." "Akan kucoba." Panggilan terputus sepihak, menyisakan keheningan di udara. "Beliau tidak akan menyakiti kita 'kan, Paman?" Suara cicitan kecil menarik perhatian Khairan. Ia menoleh pada gadis kecil di sampingnya. Khadijah, mengenakan gamis hijau lembut dengan jilbab senada yang lebih pucat warnanya. Gadis itu berkerut kening, tampak cemas. "Tentu tidak," Khairan tersenyum menenangkan. "Beliau akan senang menerima bingkisan yang kita bawa." Khadijah tidak mengatakan apa-apa lagi, cemasnya sedikit mengendur. "Kau tidak senang bertemu Bibi Ayunda?" tanya Khairan lembut, melihat ekspresi Khadijah. "Senang. Ummi bilang aku harus terus ada di tengah-tengah kalian." Khairan tersenyum kaku. Sesulit itu mempercayai pemuda untuk ditinggal berdua dengan orang yang dicintai. Memang jelas begitu, tapi bagaimana lagi, akal sehat harus tetap bekerja, sebagaimana hati yang sesuai fitrahnya. Tak lama mereka memang sampai di sana. Di ruang tamu sang mertua. Jika biasanya Khairan akan minta dihubungi dulu oleh Ayunda, kali ini ia disambut langsung oleh Zahra yang berdiri tegak. Ikatan tangan Khadijah di jemarinya terasa mengerat. Mungkin gadis kecil itu takut saat nenek tersebut memandangnya tak suka. "Assalamualaikum, Umma," sapa Khairan dengan suara hormat. "Wa’alaikumussalam," balas Zahra dingin. "Aku kira kau belum akan sampai. Aku sendiri belum sempat memanggil Ayunda. Dia mungkin saja masih ada pelajaran." Ada nada ketidakpedulian yang jelas dalam ucapan Zahra. Sejujurnya Khairan kecewa, namun tak menampilkannya sedikit pun. "Kami bisa menunggu, Umma," balasnya santun. Bingkisan yang Khairan bawa disodorkan perlahan. Zahra mau tak mau menerima dan harus mempersilakan menantu satu-satunya itu masuk. "Duduklah, pelayan akan menghidangkan minuman. Aku masuk sebentar. Ayunda akan kupanggil juga." "Baik, Umma," sahut Khairan. Terdengar helaan napas kecil yang Khadijah embuskan, lega. Khairan tersenyum melihatnya melepas tangan yang tadi digenggam erat. Lumayan lama mereka menunggu. Dua gelas es teh madu yang disuguhkan sampai berembun dan habis setengah. Zahra tidak sedikit pun kembali lagi ke ruang tamu itu. Khairan dan Khadijah menunggu saja, ditemani keheningan yang sedikit canggung. Kemudian, akhirnya pintu dikuak langsung. Ayunda masuk sambil buru-buru melepas cadarnya dan berjalan cepat. Gadis itu sama sekali tak menyadari keberadaan Khadijah dan Khairan di sana. "Bibi...!" Panggilan Khadijah mencicit, memecah keheningan. Ayunda seketika menghentikan langkah. Gadis itu tampak berpeluh saat berbalik dan terperangah. "K-kau sudah datang?!" tanyanya terbata, matanya membulat tak percaya. Khairan tersenyum tipis. Sekali lagi, ia yakin Zahra sengaja menghambat apa pun rencananya. "Apa kabar, Ayunda?" sapanya, menahan rasa jengkel terhadap kelakuan sang mertua. Khadijah menggoyangkan tangan, menyapa dengan senyum malu-malunya. "Oh, hai, Khadijah," sapa Ayunda berusaha ramah, napasnya masih terengah. "Tunggu sebentar, ya. Bibi mandi dan ganti baju dulu." Katanya, tampak akan beranjak detik itu juga. "Sebentar!" cegah Khairan. Ayunda menunggu di tempat. "Haid, kan?" tanya Khairan, suaranya merendah. Gadis itu mengangguk pelan, terus menunduk, pipinya sedikit merona. "Aku sudah izin Umma. Kita akan mengobrol di luar hari ini." Kepala Ayunda cepat terangkat, matanya berbinar penuh harap, "Benarkah?!" Khairan mengangguk dengan senyum puas. "Kita buat kenangan menyenangkan, Ayunda." Gadis itu tersenyum lebar, semangat tampak menyala di matanya. "Aku akan siap secepatnya!" Dan ia pun bergegas pergi. Tak lama, Ayunda muncul kembali, membuat Khairan tertegun di tempatnya. Gadis itu mengenakan gamis berwarna serupa dengan Khadijah, dipadukan dengan jilbab senada yang membingkai wajahnya dengan anggun. Kecantikan Ayunda selalu berhasil membuat Khairan terpaku. Cantik sederhana yang membuatnya sulit memalingkan wajah. "Ke mana kita?" tanyanya kecil saat tiba di dekat mereka, suaranya mengandung nada penasaran yang manis. Khairan menyadarkan diri dengan helaan napas singkat. "Sebentar. Aku masih terpesona." Ayunda tersipu. Namun, tak membiarkan lebih lama hatinya dirayu. Gadis itu mengalihkan debaran dengan menyapa Khadijah, "Akan ke mana kita, Nona kecil?" "Rahasia," jawab Khairan sebelum Khadijah membongkar rencana mereka. Mata Ayunda membulat, memancarkan rasa penasaran yang menggemaskan. "Benar-benar seistimewa itu?" Khairan tersenyum misterius, mengangguk pelan. Ayunda menyipitkan mata, penasaran sekaligus antusias. "Baiklah kalau begitu. Aku serahkan sepenuhnya padamu, Tuan Jenius." Tak ingin membuang waktu, Khairan berbisik, "Pamitlah." Ayunda langsung memutar tubuhnya, masuk dan datang kembali dengan Zahra di sisi. "Aku pastikan kalian tidak bisa lagi berkencan di luar kalau sampai ada jejak di tubuhnya," ancam Zahra, tatapan matanya tajam. "Umma," Ayunda merengek pelan, sedikit kesal. "Kami berangkat, Umma," Khairan segera memotong, suaranya tetap santun. Ia membungkuk untuk menyalami Zahra. Waktu mereka tak terlalu banyak untuk basa-basi atau peringatan yang akan membuat buruk awal perjalanan manis yang Khairan rencanakan. Khadijah menggenggam tangan Ayunda, seolah menuntunnya keluar dari sarang singa betina itu. "Lekas kembali!" seru Zahra, suaranya menggema. "Baik, Umma!" jawab Khairan dan Ayunda serentak. "Kita belum berangkat, sudah disuruh pulang," gumam Ayunda, memutar bola matanya. "Semoga Ummimu tidak sekejam Ummiku," katanya kepada Khadijah. "Sabar, Bibi," Khadijah membalas dengan senyum polos. Ayunda mengentakkan cadarnya lewat napas kasar. "Sering-seringlah mengajakku bolos. Sesering itu juga kita buat Umma sakit kepala,” pintanya kepada Khairan. Khairan tergelak ringan. Pemberontakan manis Ayunda benar-benar menghapus kesan muram di hatinya karena penolakan Zahra. Rasanya Ayunda akan siap berkomplot jika itu untuk menantang Zahra. Sepanjang perjalanan, Ayunda mencoba menebak-nebak, melontarkan berbagai kemungkinan tujuan, dari pegunungan hingga pantai. Khairan hanya tersenyum simpul, menikmati raut penasaran yang terpancar jelas di wajah istrinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD