Hambatan

1406 Words
Pagi beranjak siang. Tawa renyah Ayunda seperti melodi yang manis, menemani perjalanan menyenangkan itu. “Beritahu aku, kata kuncinya saja, boleh?” Ayunda memelas, menangkup tangan di depan dadda. Ia duduk di samping Khairan yang fokus mengemudi, sesekali meliriknya dengan senyum tipis. “Sabarlah,” balas Khairan, matanya menyembunyikan rasa geli. Tiba-tiba, seekor hewan melintas cepat di depan mereka. Mobil pun mengerem mendadak, membuat tubuh mereka tersentak ke depan. “Astagfirullah!” Ayunda berseru, jantungnya berpacu kencang. “Apa yang terjadi?” “Kau tidak apa-apa?” Khairan langsung meneliti Ayunda, raut panik menghiasi wajah tampannya. Kecemasan itu, entah bagaimana, malah melelehkan hati Ayunda tanpa direncana. Untuk sesaat Ayunda salah tingkah, “Y-ya, aku tak apa. Bagaimana denganmu?” Belum sempat Khairan menjawab, Ayunda berbalik, nyaris memekik saat mereka melupakan putri dari iparnya yang ikut perjalanan itu. “Oh, Khadijah?! Kau tak apa?” “Hmm,” jawab Khadijah tenang, dari kursi belakang dengan sabuk pengaman terpasang melintang. Saking senyapnya, ia nyaris terlupakan oleh pasangan di depan. “Silakan operasikan mobil secara manual,” suara muncul dari speaker mobil. “Nyalakan sistem!” perintah Khairan. “Maaf. Salah satu ban mobil Anda tidak layak digunakan. Anda bisa menggantinya dulu dengan ban serep yang tersedia di bagasi.” Ayunda diam-diam mengamati Khairan. Wajah yang biasanya tenang itu kini tampak makin panik. Bulir keringat bahkan menetes di pelipisnya. “Sepertinya mobil mahal ini memakai sistem autopilot, ya?” tanya Ayunda hati-hati. “Paman Khairan tidak bisa menyetir. Bagaimana denganmu, Bibi?” Suara lembut Khadijah terdengar dari belakang. Ayunda tersengat. Tatapannya menyelidik Khairan. Setengah ragu ia bertanya, “Serius?! Kau... tidak bisa mengoperasikan secara manual?!” Khairan merasa malu, namun bukan itu yang utama. Bagaimana mereka akan menghadapi situasi ini? Ayunda berusaha tenang, tak ingin Khairan makin tertekan. “Kita menepi saja. Jalanan ini pasti akan dilewati orang.” Khairan menelan ludah sulit. Ia sudah sengaja membuat jalur menuju tujuan mereka bebas hambatan, bahkan mengantisipasi dengan menutup jalan sementara agar sistem autopilot tidak menyulitkan. Niatnya, Khairan ingin terlihat keren di mata Ayunda, bisa menyetir, perjalanan tanpa sopir. Tak disangka, satu paku kecil bisa merusak segalanya. “Bisa kau arahkan aku, bagaimana cara mengganti bannya? Lengkapkah peralatan yang dibutuhkan di sini sekarang?” tanya Khairan kepada sistem. “Ya, tentu saja.” Ayunda terheran-heran. Ia tak tahu kalau teknologi kini sebegitu canggihnya, sampai bisa diajak mengobrol dan membantu permasalahan. Ayunda ikut menyimak setiap perintah sistem. “Lepaskan mur roda dengan kunci roda yang tersedia. Kemudian, gunakan dongkrak untuk mengangkat mobil,” suara sistem menjelaskan. Khairan mengangguk, masih dengan sedikit gugup. Sebentar kemudian, pemuda itu segera beranjak ke belakang, membuka bagasi, dan mencari-cari alat yang dimaksud. Tidak lama, ia menemukan sebuah kotak perkakas lengkap dengan kunci roda dan dongkrak. Khairan mulai bekerja. Ban yang bocor ternyata di bagian depan. Tanpa diminta, Ayunda ikut turun. “Pernah melakukan ini sebelumnya?” “Tidak, tentu tidak pernah.” Selama ini hidup Khairan begitu menyenangkan, nyaris tanpa kesusahan. “Beritahu jika ada yang bisa kubantu,” tawar Ayunda, duduk berjongkok dekat pemuda itu. Khairan terenyuh, tersenyum bersyukur. “Terima kasih sekali.” Mereka berdua mulai bekerja. Khairan dengan canggung berusaha mengikuti instruksi sistem, sementara Ayunda membantu mencari alat yang tepat dan memberikan semangat. Sesekali, keringat dingin membasahi dahi Khairan. Ayunda tahu, ini bukan hal yang mudah baginya. Ia tak pernah membayangkan seorang Khairan, yang selalu rapi dengan gaya casual itu akan kerepotan mengganti ban di pinggir jalan seperti ini. Namun, justru di saat seperti inilah, Khairan tampak begitu manusiawi dan Ayunda menyukainya. Khadijah di kursi belakang, tetap diam, sesekali melongok dari jendela. “Apa kita hubungi Abati? Rasanya tidak terlalu jauh lagi. Mungkin beliau ada di rumah.” Khairan mencebik. Sudah pasti tidak akan ada bantuan. Ia memastikan tidak ada gangguan, jadi begitu pula bantuan yang bisa diharapkan. “Tunggu sebentar lagi, Saleha. Sepertinya Pamanmu ini bisa diandalkan.” Pandangan Khadijah lurus ke depan, seolah tak terpengaruh oleh keributan di luar. Tingkah lakunya yang tenang itu justru membuat Ayunda dan Khairan sesekali meliriknya, memastikan bahwa gadis kecil itu baik-baik saja. “Apa lagi katanya, Ayunda?” “Sepertinya sudah,” jawab gadis itu. Setelah beberapa waktu, dengan petunjuk sistem yang sabar dan detail, ban serep akhirnya terpasang. Mereka berdua melihat hasilnya. “Kau yakin sudah menguncinya dengan benar?” Khairan sedikit membungkuk, menggoyangkan benda yang dimaksud. “Harusnya begitu.” Ayunda ikut memastikan sendiri sementara Khairan menghela napas lega, membersihkan tangannya yang sedikit kotor. “Selesai juga,” gumamnya, raut wajahnya masih menunjukkan sedikit kelelahan. “Hebat, Paman!” Khadijah tersenyum lebar. “Kau berhasil!” Khairan tersenyum tipis, lega dan juga malu. “Terima kasih sudah membantuku, Ayunda.” “Kau melakukannya dengan baik untuk pengalaman pertama,” puji gadis itu terpukau. Khairan tersipu sungkan. “Dan juga, terima kasih, sistem.” “Sama-sama,” jawabnya dengan suara robotik yang datar. Ayunda merogoh tisu dari tas selempang kecilnya dan menyerahkannya kepada Khairan. “Keringat Anda luar biasa, Tuan.” “Perjuangan untuk sebuah kencan,” balasnya manis sambil mengambil tisu itu seperti sebuah piala kemenangan yang agung. Keduanya saling melempar senyum penuh arti, seolah saling memahami bahwa selama bersama mereka akan baik-baik saja. Mereka kembali masuk ke dalam mobil. Khairan menyalakan mesin. “Silakan nyalakan sistem autopilot kembali!” perintah Khairan. “Maaf, fungsi autopilot tidak dapat diaktifkan sebelum Anda melakukan pengecekan di bengkel resmi terdekat. Jika ingin melanjutkan perjalanan, Anda harus mengemudi secara manual.” Wajah Khairan kembali pucat. Ia menatap Ayunda dengan tatapan putus asa. “Ayunda...” Ayunda menahan tawa. Sepertinya perjalanan ini akan jauh lebih menarik dari yang ia bayangkan. “Jangan melihatku. Gadis berusia lima belas tahun yang hidup di pesantren selama itu mana bisa mengendarai mobil.” Khairan menghela napas. “Maaf, kencanmu mengecewakan.” Ayunda tergelak singkat, “Apanya yang mengecewakan?” Khairan mencebik. “Sudah jelas. Aku dan rencana buruk ini.” Ayunda mengambil tisu lainnya lalu menyeka keringat di pelipis suaminya. Dengan penuh perhatian, senyumnya melebar. “Ini kencan terbaik. Melihatmu melakukan sesuatu untuk kita, itu benar-benar mengharukan. Kita tidak sampai di sini kalau kau tidak bersedia meminta izin Umma.” Khairan hanya menatap Ayunda dengan penuh kekaguman dan cinta. Tak menyangka kalau musibah kecil mereka malah membawa anugerah, sama seperti pertemuan pertama di toserba. “Beritahu kami cara mengemudi secara manual,” perintah gadis itu riang kepada pada sistem. Ayunda menyemangati suaminya yang masih terdiam, “Jenius sepertimu pasti bisa melakukan sesuatu.” Khairan mencoba menekan rasa paniknya. Dukungan dan kepercayaan Ayunda sudah cukup membangkitkan rasa percaya diri. “Sistem, apa ada panduan untuk mengemudi manual?” tanyanya sedikit tenang. “Tentu saja. Saya dapat memberikan panduan langkah demi langkah. Harap diperhatikan, pengalaman mengemudi Anda akan memengaruhi efektivitas panduan ini.” Suara sistem tetap datar, seolah tak peduli dengan kegusaran Khairan yang nol pengalaman. “Baguslah!” Ayunda berseru dengan semangat. “Lihat, ‘kan? Selalu ada jalan!” Khairan menghela napas panjang, mencoba tersenyum tipis. “Baiklah, Sistem. Mulai dari mana?” “Pertama, pastikan sabuk pengaman Anda terpasang dengan benar. Lalu, injak pedal rem, masukkan tuas transmisi ke posisi ‘D’ untuk maju. Perlahan lepaskan pedal rem dan injak pedal gas secara bertahap.” “Bismillah!” bisik Khairan mengikuti instruksi tersebut. Mobil sedikit tersentak saat ia melepaskan rem terlalu cepat, membuat Ayunda sedikit terlonjak. “Pelan-pelan saja, Tuan,” Ayunda mengingatkan sambil menahan gugupnya sendiri. “Ini lebih sulit dari yang kubayangkan,” gumam Khairan, keringat mulai menetes lagi di dahinya. “Aku ini terbiasa dengan teknologi paling mutakhir, bukan mengendalikan benda raksasa ini secara manual.” Khadijah menimpali. “Seperti main game, Paman! Kalau kalah, ulang lagi!” Ayunda mengangguk setuju. “Anggap saja begitu. Dan kami di sini sebagai co-pilot Anda.” Khairan tidak yakin. Keberadaan Ayunda-lah yang malah membuatnya tambah gugup. Keren, memang sudah binasa dari dirinya. Sekarang yang penting hanya menyelamatkan mereka bertiga. Ia lalu membuka ponselnya dan mencari aplikasi peta. “Sistem, bisakah tetap memberikan informasi navigasi?” “Tentu. Saya akan terus menyediakan rute terbaik dan informasi lalu lintas terkini,” jawab sistem. Perlahan tapi pasti, Khairan mulai merasakan mobil bergerak stabil. Ia fokus penuh pada jalan di depan, sesekali melirik spion dan indikator kecepatan. Ayunda yang mulai percaya dengan ketrampilan Khairan, melerai tegang dengan rayuannya. “Sekarang kau benar-benar mengendarainya, bukan hanya duduk di sana.” Khairan terima olokan itu dengan senang hati, “Kuharap aku terlihat keren.” “Kau memang berhak mendapatkan pujian itu, Tuan Jenius,” balasnya bangga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD