Kencan

1289 Words
Mengemudi manual memang terasa asing bagi Khairan. Namun, panduan sistem membuatnya terbantu, juga dukungan Ayunda yang berharga menjadikan pengalaman pertamanya ini cukup menyenangkan. Perjalanan yang seharusnya lancar dengan autopilot kini berubah menjadi petualangan tak terduga. Rencana romantis malah dihiasi adegan panik, tapi juga tawa dan kebersamaan. "Kita sudah menghabiskan beberapa waktu hanya untuk urusan ban," keluh Ayunda, tapi nadanya tak benar-benar kesal. Khairan yang kini lebih menguasai kendaraan mereka tersenyum menenangkan. "Semua waktu dan kejadian tidak ada yang sia-sia. Tak apa, Ayunda." Ayunda menatapnya penuh haru. "Bersamamu memang menyenangkan." Kelegaan terukir di wajah Khairan. "Syukurlah." "Jadi, ke mana kita sekarang?" tanyanya kembali penasaran. Khairan menggeleng-gelengkan kepalanya karena semangat Ayunda yang secepat kilat datang. Setelah beberapa waktu perjalanan, mobil Khairan perlahan memasuki area yang semakin sepi. Pepohonan rindang di sisi jalan semakin rapat, bagai kanopi alami yang menyejukkan. Ayunda mulai merasakan perubahan. Udara terasa lebih segar, dan hiruk pikuk kota lenyap, digantikan kicauan burung dan desiran angin. Akhirnya mereka tiba di sebuah tempat yang tenang. Saat mobil Khairan berhenti, Ayunda memekik tertahan. Di hadapan mereka, sebuah pagar tinggi mengelilingi rumah tua yang tampak asri dan hangat. Agak di samping belakang rumah itu, terhampar sebuah danau luas, dikelilingi pepohonan rindang yang hijau. Di pinggir danau, sebuah perahu dayung tertambat. "Indah sekali!" seru Ayunda, matanya berbinar. "Kita sudah sampai?" Gadis itu mencoba melihat, menembus rimbunnya dedaunan untuk sebuah plang tempat atau petunjuk. "Tempat apa ini?" "Rumah Khadijah," jawab gadis kecil di belakang dengan lembut. Ayunda menoleh padanya. "Jadi, ini rahasianya?" Khadijah hanya tersenyum. Perhatian Ayunda kembali beralih saat pemuda di sampingnya buka suara, "Kau bilang tak mau rumahku, jadi... kupikir tempat ini saja." Ayunda agak syok. Ia menolak tempat tinggal Khairan sebagai lokasi kencan, lalu pria itu malah membawanya kencan di rumah ipar. Sungguh, Ayunda yakin, suaminya sama saja, belum pernah kencan kecuali saat ini. Satu sisi melegakan, sisi lainnya begitu gelap. Hilang telinga ibunya, kini mata ipar pula yang akan menyaksikan mereka. Ingin sekali Ayunda merutuk Khairan, bagaimana pria itu disebut jenius dengan ide semengejutkan ini?! Khairan tersenyum, lalu turun, menarik gerbang, dan memarkirkan mobil masuk pekarangan. Ayunda langsung terpukau, lebih lagi saat Khairan menurunkan jendela di sampingnya. Sebuah taman pribadi yang luas dan asri terhampar jelas. Bunga-bunga berbagai warna bermekaran di sekeliling rumah, menyebarkan aroma harum yang lembut ke setiap penjuru. Pohon-pohon rindang berdiri tegak, beberapa di antaranya dihiasi lampu-lampu kecil yang pastinya jadi penerangan saat malam. "Masyaallah..." Ayunda bergumam, matanya berkaca-kaca. Ia tak menyangka Khairan akan membawanya ke tempat seindah ini. Ini jauh melampaui ekspektasinya tentang kondisi, kecuali fakta tempat ini rumah Khumaira. "Aku ingin kita punya kenangan yang istimewa, Ayunda. Hanya kita... yah, belum boleh berdua saja...," kata Khairan, suaranya agak memilukan. Ayunda tergelak. Sesaat tadi Khairan mungkin lupa kalau mereka membawa serta Khadijah. Pemuda itu kembali menilik sisi positif kencan mereka, "Minimal, hanya bertiga. Tidak akan ada siapa-siapa di rumah. Yah, mungkin ada pelayan yang bisa menyiapkan makanan atau hidangan yang kita mau. Tapi kita berdua akan bisa naik perahu itu dan menikmati sepuasnya," tambahnya. "Ide buruk?" tanyanya sedikit khawatir. Ayunda menggeleng cepat. "Luar biasa! Bolehkah kita turun?" Matanya berbinar semangat. "Tunggu!" Ayunda tak sabar di tempatnya. Sabuk sudah dilepas, bahkan kaki gadis itu mengetuk pelan lantai mobil, seolah akan terbang kalau dipaksa diam lebih lama. Ternyata Khairan bermaksud membuka pintu untuknya, "Silakan." Ayunda tersenyum singkat oleh perlakuan tak terduga itu. "Baiklah, kita kencan. Jadi, aku akan bersiap dengan semua sikap manismu." Khairan ikut tertawa senang karena ucapan polos Ayunda. "Kau akan membuat seorang pria malu kalau terus menyebut-nyebutnya. Mau pesan sesuatu dulu?" tawar Khairan. Ayunda berpikir sejenak. "Kurasa tidak, jangan sekarang." Khairan tahu keinginan terpendam Ayunda. Gadis itu fokusnya hanya pada pemandangan danau semata. "Sebentar lagi akan semakin siang. Para pelayan bisa menyiapkan makan siang kita dulu," saran Khairan. "Oh, baiklah," Ayunda mengangguk, mulai memikirkan apa yang ingin ia makan, tapi tetap saja tak konsentrasi karena keindahan sekitar mereka. "Paman Khairan suka kari ayam," Khadijah yang turun sendiri dari kendaraan tiba-tiba bersuara, memecah pembicaraan mereka. Khairan menggaruk tengkuknya kikuk, "Maaf, Saleha. Paman sedikit melupakanmu." "Khadijah bisa. Khadijah sudah besar," balasnya percaya diri. Khairan mendekat lalu mengusap jilbab keponakan mungilnya itu. "Kau akan segera masuk sekolah. Memang begitu orang besar, melakukan banyak hal sendirian." Ayunda melihat Khairan. "Benarkah? Kau... suka kari ayam?" "Hm. Wajar 'kan, seseorang punya makanan kesukaan," jawab Khairan santai. "Aku pun suka kari ayam," Ayunda menimpali. Khairan tersentak. "Benarkah?!" Ayunda mengangguk tenang dengan senyum simpul. "Kurasa itulah menu makan siang kita hari ini." Khairan merasa benar-benar menemukan kecocokan mereka. Sungguh, hal itu tidak dimiliki kisah Khumaira. Tidak terukir dalam sejarah Abinaya sebelumnya. Bahkan, dalam dua generasi di atas Khairan. "Bukalah cadarmu. Itu menghalangiku dari senyuman manis yang kusukai,” ucapnya lembut. Ayunda melongo di tempat. Ia tak bermaksud tampak bodoh, tapi rayuan alami Khairan benar-benar antara kenyataan dan harapan saja. Pria itu hanya berkata dengan senyuman manisnya, tapi tepat menyentuh pada titik terpesona yang Ayunda punya. Selepas Khairan berbicara, pemuda itu langsung menjauh. "Tunggu sebentar. Aku pesankan hidangan kita dulu." Ayunda terpaku saja dengan Khadijah yang mendongak manis melebarkan ujung bibir kepadanya. "Tatapanmu mirip seperti ketika Ummi melihat Abati." Ayunda terenyak, "Oh, ya? Apakah Pamanmu melihatku seperti Abatimu melihat Ummi juga?" Khadijah mengerjap, berpikir, "Sepertinya... begitu." "Kau ragu," komentar Ayunda cepat, agak kecewa. "Abati seperti selalu siap untuk mengusili Ummi, Paman tidak begitu kepadamu. Lebih seperti tatapan Kakek Bintang kepada Nenek Ifa." Ayunda pikir itu hiburan terbaik yang biasa ia terima. Jelas cinta yang mana lebih banyak ujian dan lama bertahan, dan semoga saja kisah mereka akan jauh lebih indah daripada pasangan sang mertua. Ayunda tersenyum senang, "Terima kasih banyak, Khadijah. Maaf juga karena harus membawa-bawamu dalam perjalanan ini." "Aku hanya diantar pulang." Ayunda terkejut mendengar fakta itu. Benar juga. Sempat luput dari kepalanya suatu kenyataan tersebut. "Jadi, tadi paman menjemputmu di sini?" Gadis itu menggeleng. "Semalam Khadijah menginap di rumah kakek." "Hm. Tidur dengan Paman?" Ayunda tahu. Tak wajar baginya mencemburui Khadijah, demi Tuhan, itu bodoh dan memalukan. Namun, tetap saja, Ayunda ingin dirinya saja yang ada di sana, satu ranjang dengan Khairan. Syukurnya, Khadijah menggeleng juga. "Di tengah Kakek dan Nenek." Ayunda menekuk lututnya hingga berjongkok menatap Khadijah. Terkenang satu nasihat baik yang ia punya untuk gadis kecil itu. "Nanti setelah sekolah Khadijah harus sudah tidur sendiri." "Ya. Paman bilang juga begitu. Semua bilang, usia tujuh tahun Khadijah akan punya kamar sendiri. Di rumah dan di Kastil Abinaya. Tapi, Ummi bilang Khadijah akan tinggal di asrama." Nada sendu di ujung kalimatnya membuat Ayunda penasaran, "Kau tidak suka di asrama?" "Banyak orang di sana," jawabnya cemas. "Oh, tidak. Asrama menyenangkan. Kau akan kenal banyak gadis seusiamu dan punya hari-hari seru." Khadijah tampak makin takut. Ayunda cepat-cepat menambahkan, "Aku tahu karena aku di asrama juga. Itu tidak buruk." "Nenek Windi bilang Winda juga bisa sekamar denganku." "Winda... sepupu?" tanya Ayunda berusaha ikut alur cerita. "Bibi Khadijah." Ayunda hampir memukul kepalanya yang bingung karena sulit mencerna, tapi malah dilingkupi cemburu yang lain. Apakah Winda ini seusia Khairan dan mungkin pengajar di asrama yang Khadijah maksud? "Biasanya asrama itu sekamar dengan yang seusia Khadijah,” kata Ayunda melerai rasa berdosanya. "Winda memang seusia Khadijah." Lutut Ayunda lemas. Inginnya lebih paham, tapi jika tak panjang lebar penjelasan, maka kepalanya akan pecah di sini. Ia pilih mengakhiri daripada tahu lebih banyak apa yang tak penting baginya. "Hm. Kalian akan jadi teman akrab kalau begitu." Khairan kembali dan melihat wajah murung Khadijah. "Ada apa, Saleha?" Gadis itu menggeleng saja. Suasana hatinya tampak buruk, begitu jelas. Ayunda beralih bangkit, "Bukan aku yang menyakitinya." Berhenti sesaat, Ayunda tertampar sendiri. Memang yang membahas asrama dan memaksakan keengganan Khadijah akan topik itu adalah dirinya. "Yah, aku sebabnya. Tapi aku tidak bermaksud begitu." Ayunda pikir ia harus... bersiap, jika saja hambatan lainnya akan tiba di kencan mereka. Kencan pertama, tapi rasanya begitu penuh drama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD