Bab 8

1864 Words
"Seperti itu bagaimana maksud Mama?" tanyaku mendelik ketika melihat wanita itu berjalan mendekat ke arahku dengan tatapan yang tajam. Sungguh seperti bukan menantunya yang sedang dia tatap. Padahal, dulu mama bukan orang yang seperti ini. Sikapnya lembut dan hangat, bahkan tidak berani berbicara dengan nada yang lebih tinggi. "Kamu pikir saja sendiri!" Mama duduk begitu saja di sofa ruang keluarga, seolah aku tidak terlihat. Baiklah, mungkin ini memang lebih baik untuk kita semuanya. Aku kembali melanjutkan aktivitas, sementara Mas Darren tengah berjalan ke kanan dan ke kiri seperti orang yang bingung. Anehnya, wanita itu tidak datang lagi ke sini dan suaranya juga sudah tidak kelihatan. Apa jangan-jangan dia pergi secara diam-diam setelah mendengar suara mama? Berbagai dugaan dan sangkaan tiba-tiba menghampiri kepalaku. Rasanya aku sudah lelah dengan pernikahan ini dan ingin menyerah saja, tetapi justru aku yang akan langsung kalah jika menyerah di saat seperti ini. "Mana wanita yang kau maksud itu? Kenapa dia tidak keluar?" Mama kembali mengangkat wajahnya dan menunjukkan kebencian, aku hanya tersenyum tipis. "Dasar kau pembohong!" "Jangan tanya aku, Mas. Tanya Mas Darren saja agar nama percaya," lirihku tetap tenang. Benar, tidak akan ada akhirnya kalau aku selalu mengotot dengan wanita sepuh ini. Sifatnya yang ingin selalu menang tidak bisa dikalahkan begitu saja. "Lagi pula dari mana Mama tahu yang aku sebut itu seorang wanita?" Pertanyaanku kali ini berhasil membuat mama diam dan terlihat sangat gelagapan, namun untuk pertama kalinya dia tidak akan bisa lepas dari tatapanku. "Bukankah aku juga belum menyebut jenis kelamin?" cecarku lagi sambil sibuk dengan masakan, agar tidak disangka suka membuat masalah. "Mama tadi tidak sengaja dengar," ucapnya terdengar tidak yakin. "Dengar apa?" Aku kembali bertanya. "Sama seperti yang aku katakan tadi, tidak ada yang menyebut jenis kelamin, Ma." Mama kembali mematung, bahkan Mas Darren juga ikut diam. Aku tersenyum kecut. "Lain kali kalau tidak tahu apa pun, jangan asal nimbrung, Ma. Khawatir nanti Mama jadi tersangka langsung," tandasku membuat kedua tangannya mengepal, tetapi tidak mengatakan apa pun. Mas Darren juga tidak ikut bicara. Aku yakin dia juga sudah mulai curiga dengan perkataanku kalau mama ikut terlibat, hanya saja dia tidak berani mengatakannya. "Ya sudah, sebaiknya kita makan dulu saja," ucapku memecah kesunyian. Keduanya sama-sama langsung berjalan ke arah meja makan yang sudah banyak makanan. Hari ini aku menyediakan banyak menu kesukaan. Sebenarnya aku tidak tahu kalau mama akan datang, kalau tahu mungkin aku tidak akan menyediakan makanan sebanyak ini karena mama pasti mengomel. Mulai sekarang aku harus menyiapkan kata-kata agar aku bisa membalas ucapannya kalau nanti mama berkomentar buruk. "Lain kali, sebelum Mama datang itu harusnya membicarakan yang baik-baik tentang Mama. Bukan malah sebaliknya," ucap mama mertua tiba-tiba, tepat setelah kami semua berkumpul di meja makan. "Iya, Ma," sahut Mas Darren singkat. "Tidak ada yang membicarakan Mama loh, tadi kita hanya saling mengemukakan pendapat," tandasku, tetapi langsung mendapatkan tatapan yang tajam dari mereka berdua. "Sudahlah, Nya. Jangan buat masalah lagi. Cukup katakan 'Iya', apa susahnya?" Mas Darren menatapku tajam dengan kedua tangan yang menghentikan aktivitasnya. "Aku hanya mengatakan yang sebenarnya, Mas. Aku tidak mau Mama salah paham," jelasku sambil terus melanjutkan makan. Setelah mendapatkan surat panggilan kerja, aku akan langsung mengambil kesempatan itu. Tidak peduli mau menjadi apa pun, aku akan tetap bekerja dan melupakan semua masalah yang ada di rumah. Nanti, aku tidak perlu lagi bersikap manis di hadapan mama karena aku tidak akan bertemu dengannya setiap waktu. Meski aku bekerja di perusahaan Mas Darren, tetap saja aku tidak akan bertemu dengannya. Kalau pun nanti kita bertemu, aku akan berpura-pura tidak melihatnya. Anggap saja aku tidak kenal. Lagi pula dia juga sudah mengingatkan tentang hal ini. "Tetap saja tidak boleh!" Mas Darren tiba-tiba menggebrak meja, lalu menatapku tajam. Aku berpura-pura tidak peduli dan tetap makan dengan lahap sampai makanan di piringku habis. Setelahnya, aku langsung pergi ke dapur untuk mencuci piring dan beberapa peralatan bekas masak tanpa memedulikan panggilan mama. "Dia itu semakin lama semakin tidak tahu diri, ya." Mama tiba-tiba membicarakan aku dari belakang dengan suara yang ditinggikan, tetapi aku masih berpura-pura seolah aku tidak mendengarnya. "Mungkin hanya perasaan Mama saja. Jangan berpikir yang tidak-tidak, Ma," tandas Mas Darren. "Dia masih sama, hanya saja dia membutuhkan perhatian ekstra. Sepertinya perasannya sedang tidak bagus." "Halah, kamu jangan terlalu memihak istrimu. Mama lebih tahu perubahan apa saja yang ada pada dia, dibandingkan kamu, karena Mama lebih punya banyak waktu di sini daripada kamu." Mama tiba-tiba berteriak hingga membuatku terkejut. Aku yang tidak pernah mendengar suara yang keras membuatku asing dengan teriakan ataupun bentakan. Tubuh ini langsung gemetar dan dadaku berdetak lebih cepat. Kalau sudah seperti ini, biasanya Mas Darren akan berjalan perlahan ke arahku untuk memberikan pelukan terbaiknya. Akan tetapi, kali ini dia tidak melakukannya. Sepertinya dia memang berada di pihak mama.. "Mama tahu jelas Lavanya berubah banyak! Dia bahkan berani menggoda adikmu di saat kamu sedang bekerja," teriaknya lagi dan kali ini tubuhku sangat tidak kuat dan secara tiba-tiba tubuh ini jatuh begitu saja di lantai. Kedua tanganku memegang d**a yang terasa sakit, tetapi mama ataupun Mas Bagas seolah tidak peduli dengan keadaanku. Napasku pun terasa sesak. "Ma! Hentikan!" Suara yang sangat aku dengar tiba-tiba masuk, dia adalah Dion. "Aku tahu Mama akan membuat keributan karena sejak di rumah sudah emosi, ternyata benar," ucapnya lagi, lalu berjalan ke arahku dan memasangkan penutup kepala. Kini, teriakan mama tidak terdengar terlalu keras. Semuanya sudah kembali normal dan keadaanku sudah menjadi lebih baik. "Terima kasih," ucapku lirih, tetapi Dion hanya tersenyum tipis, lalu berjalan ke arah kakak dan mama. "Mas Darren benar-benar keterlaluan, padahal Mas sudah tahu Lavanya tidak bisa mendengar suara yang keras, tetapi tetap saja Mas tidak melakukan apa pun." Aku masih bisa mendengar suara Dion, tetapi terdengar biasa dan sangat pelan. Sementara Mas Darren dan mama masih setia dengan kediamannya. Aku kembali melanjutkan aktivitas, lalu pergi ke atas untuk menenangkan diri. Beberapa detik kemudian, pintu terdengar diketuk dari luar. "Siapa?" tanyaku tanpa langsung membukanya. "Ini aku!" Suara Mas Darren mulai terdengar. "Untuk apa ke sini? Sana ke kamar saja," pintaku sedikit kesal. Kalau sedang tidak ingin melihatnya, aku memang biasa tidur di kamar ini. Sama seperti sekarang. Mana mau aku tidur dengan pria yang sama sekali tidak mau membelaku, meskipun dia suamiku. Sudah jelas-jelas aku tidak salah dan pusat masalahnya adalah dia, tetapi tetap saja aku yang disalahkan atas semuanya. Benar-benar membuatku marah. "Mas minta maaf apa yang baru saja dilakukan, Nya. Mas janji tidak akan mengulanginya lagi," ucapnya terdengar serius, tetapi aku tahu semuanya hanya terucap di bibir saja. Kelak, kalau ada masalah seperti ini lagi, sangat jelas dia tidak akan memihakku dan akan selalu berada di samping mama. Aku sama sekali tidak menyalahkan dia, tetapi aku mau dia bisa membedakan siapa yang salah dan benar, juga mau mengaku salah. "Sudahlah, Mas. Aku lelah, aku mau istirahat sejenak," pintaku tanpa mempedulikannya lagi. Aku langsung menarik selimut dan menutupinya hingga leher. Benar-benar tidak mau mendengar perkataannya lagi, jadi aku mengambil penutup telinga yang diberikan Dion. Akan tetapi, sebelum memakainya, lagi-lagi aku mendengar perkataan yang tidak enak. "Mengajak bertengkar dengan suami adalah dosa besar, menyudutkan suami juga dosa besar, mengajak pisah ranjang juga dosa besar," teriak mama lagi. Berhubung pintunya tertutup rapat, jadi aku tidak terlalu terganggu dengan teriakannya itu. "Ma, sudahlah. Anya juga perlu waktu untuk sendiri. Kita biarkan saja dia istirahat." Dion berusaha menengahi. "Tidak bisa! Istirahat saja terus, lihat lantai di bawah sudah kotor, tidak? Bahkan licin, tetapi alih-alih memilih untuk menyapu dan mengepel, dia malah lebih memilih masuk ke kamar, dan tertidur layaknya Tuan Putri," cibirnya membuatku semakin risih. "Ma, pekerjaan rumah itu tidak terlalu penting. Sangat jauh jika dibandingkan dengan kelelahan seorang istri, Ma." Dion masih berusaha untuk membelaku, tetapi suara Mas Darren sama sekali tidak terdengar. Benar-benar pria ajaib. Baru beberapa detik dia mengakui kesalahannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi, tetapi detik ini pula dia langsung mengingkari janjinya. Untung saja aku tidak langsung percaya dan membukakan pintu untuknya, kalau percaya, lalu mendengar teriakan mama lagi, sepertinya aku akan pingsan dan Mas Darren tidak akan peduli. *** Aku berpura-pura tidak mendengar semuanya sampai aku ketiduran dan kembali sadar saat azan asar berkumandang. Bergegas aku ke kamar mandi untuk wudu, lalu melaksanakan salat. Biasanya aku mandi dulu, tetapi kalau belum azan. Kalau sudah, aku langsung salat karena tidak terbiasa mengulur waktu untuk bertemu sang pencipta. Usai salat, aku segera mandi. Untung saja beberapa waktu lalu aku menyarankan Mas Darren untuk membuat kamar mandi di kamar ini. Dengan alasan, kalau mama menginap tidak perlu ke kamar mandi bawah. Alhamdulillah, sekarang kamar ini sangat berguna untukku. Setelah tujuh ini kembali wangi, aku kembali turun untuk membersihkan lantai dan beberapa ruangan yang terlihat kotor. Jangan tanya kenapa aku mandi dulu sebelum bersih-bersih, tentu karena aku tidak terbiasa mandi lebih dari jam lima. Kalau melakukannya, di beberapa area tertentu akan muncul bentol-bentol yang sangat gatal. "Mantu pemalas!" Baru saja hendak menyentuh satu, aku sudah mendengar perkataan yang tidak enak didengar. Secara otomatis tanganku langsung mengembalikan sapi itu ke tempat semula, lalu memasang alat penutup telinga. Biarkan saja mama mengomel, yang jelas kali ini kesabaranku sudah habis. Sudah pacarnya gonta-ganti pacar terus, sekarang ditambah mamanya sibuk berkomentar, aku seperti sedang menjadi istri konglomerat yang hanya tahu caranya menjadi ratu. Padahal, meski Mas Darren tergolong kaya, tetap saja tidak ada yang bekerja di sini. Pernah aku merekrut beberapa asisten rumah tangga, tetapi semuanya langsung diusir mama mertua dan diamuk habis-habisan. Katanya aku akan menjadi pemalas kalau punya asisten. "Lihat istrimu, tiap hari hanya bisa bersantai di sofa yang mewah dan mahal itu. Seperti dia sendiri saja yang sudah membelinya," cecarnya kepada Mas Darren yang kebetulan baru datang, entah dari mana. "Sudahlah, Ma. Bukankah dulu Mama sangat menyayangi Lavanya, kenapa sekarang malah sebaliknya? Apa ada sesuatu dia antara kalian yang tidak aku ketahui?" tanya Mas Darren setelah mengembuskan napas panjang. Untung saja aku sudah melepas penutup telinganya, kalau tidak mungkin aku tidak akan tahu Mas Darren akan membela siapa. "Mama akan sangat menyayangi dia kalau cepat menyelesaikan pekerjaan rumah. Perhatian sama kamu dan bisa memasak makanan enak," ucapnya panjang lebar. "Pokoknya dia adalah menantu terbaik Mama kalau bisa melakukan semuanya dengan cepat, atau kalau dia seorang wanita karir." Aku tersenyum hambar. "Bagaimana mungkin aku bisa menjadi wanita karir, kalau terus-terusan diminta sibuk di rumah?" tanyaku lirih, karena beberapa hari ini mama selalu datang dan memberikan komentar yang tidak-tidak. Untung saja aku belum punya anak, kalau sudah, mungkin aku sudah terkena penyakit yang biasa menyerang ibu-ibu. Aku lupa namanya. "Kamu berani membantah?" teriaknya lagi. Kali ini suaranya bahkan lebih kuat beberapa kali. "Dasar wanita sombong, padahal mandul, tetapi gayanya masih selangit." Aku dan Mas Darren sama-sama diam ketika kata mandul terucap dari bibirnya. Siapa yang tidak kaget, kata itu yang selama ini dihindari Mas Darren agar aku tidak menuntut akan keturunan karena Mas Darren menolak untuk punya anak dini dan malah ingin berpacaran dengan banyak orang. Akan tetapi, kata itu malah berkali-kali keluar dari mulut yang selama ini kami sebut mama. "Kenapa? Sekarang kamu tidak bisa bantah, bukan? Ini jelas menandakan kamu adalah wanita yang cacat! Tidak sempurna!" hinanya lagi membuat tubuhku sama sekali tidak bergerak dan air mata luruh begitu saja. "Bukan aku yang bermasalah, Ma, tetapi anakmu. Jadi, tanyakan saja pada dia," ujarku lirih, lalu kembali menaiki anak tangga dan masuk ke kamar untuk menenangkan diri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD