Bab 7

1062 Words
"Siapa, Nya?" teriak Mas Darren dari dalam. Aku tidak bicara dan hanya memberikan tanda kepada wanita itu untuk masuk dan menjelaskan semuanya sendiri kepada Mas Darren. Untungnya wanita itu menurut dan mendekat ke arah Mas Darren. "Kamu siapa?" Mas Darren langsung bangkit dari tempat duduknya dan menatap wanita itu nyalang. "Aku yang beberapa bulan lalu menjadi pacarmu, Mas." Wanita itu menjawab sambil terisak. "Kini aku sedang mengandung anakmu, tapi kamu malah melupakan aku." Mas Darren tiba-tiba bangkit dari duduknya dan menatapnya tajam. "Saya memang suka berganti-ganti pacar, tapi bukan berarti saya memilih wanita mana saja dengan sembarangan," sentaknya seolah tidak terima dengan apa yang baru saja dikatakan wanita itu. Sementara aku hanya mengamati dari kejauhan. Mau percaya, tapi yang Mas Darren katakan benar. Mau tidak percaya, tapi hobinya selama ini memang ganti-ganti pacar. Jadi, aku hanya memperhatikan reaksi keduanya. Kalau anak ini benar-benar mengandung anak Mas Darren, tandanya aku harus bekerja lebih giat lagi agar bisa segera terlepas dari pria yang sangat berbahaya ini. Kalau ditambah ini, berarti ada tiga anak di luar nikah milik suamiku, dan aku tidak mau menjadi keluarga lagi dengannya. Wanita itu tiba-tiba tersungkur, lalu kembali bangkit dan memeluk kaki Mas Darren. "Aku mohon sama kamu, Mas, terimalah anak ini. Dia tidak bersalah, Mas," lirihnya memohon. "Tidak bersalah apanya? Aku memang tidak kenal siapa kamu, jadi kenapa aku harus menyentuhmu?" Mas Darren menghentakkan kakinya beberapa kali, tapi wanita itu tidak juga terlepas. Sampai pada akhirnya suamiku lebih memilih untuk menghubungi temannya yang bekerja di kepolisian. "Lepaskan kakiku sekarang juga dan pergi dari rumah ini atau masuk ke dalam penjara?" ancam Mas Darren memberikan pilihan. Karena pembahasan mereka mulai ngeri dan aku tidak suka mendengarnya, jadi aku memilih untuk pergi ke dapur, dan belajar untuk membuat bolu pisang. Dulu, aku pernah coba makan itu di perjamuan yang diadakan saudaranya temanku. Ketika aku tanya resep, tidak ada seorang pun dari mereka yang mau menjawab. Dengan berbekal internet, aku mencari beberapa resep yang bisa digunakan untuk uji coba. Tidak masalah kalau gagal, lagi pula semua bahan yang aku gunakan di rumah ini tidak dibeli dengan uangku, tapi uang Mas Darren. Bahkan orang tuanya juga sering ke sini untuk mengunjungi aku sambil membawa banyak makanan yang bergizi. Termasuk telur yang berprotein tinggi. Jadi aku tinggalkan pakai saja. Sempat terdengar pertengkaran mereka, tapi aku tidak mau ikut campur. Masalah di antara mereka terlalu berat. Aku yang begitu polos mana mungkin bisa menyeimbangi percakapan mereka. "Nya!" Mas Darren berteriak hingga membuat kedua telingaku berdenging. "Apa sih, Mas? Ada tamu juga. Ngomongnya biasa saja, dong," sahutku penuh amarah. Karena kalau didiamkan, dia akan semakin menjadi. "Coba kamu tangani wanita itu. Aku sama sekali tidak kenal dengannya, Nya. Apalagi membuatnya hamil. Enggak sama sekali," sanggahnya. Aku terdiam beberapa saat sambil melihat pergerakan matanya dia benar atau tidak, tapi karena matanya bersih dan mengeluarkan tatapan kejujuran, aku tidak jadi marah-marah. Mungkin saja benar Mas Darren tidak menyentuhnya, tapi kenapa wanita ini bisa datang ke rumah ini dan tahu tentang Mas Darren? "Biarkan saja dia sendiri dulu dalam beberapa saat, kami lihat gerak-geriknya di CCTV, sementara aku akan memasak makan siang untuk kita dulu," putusku pada akhirnya. Meski wanita itu juga bersalah, tidak mungkin bukan aku langsung marah-marah. Apalagi saat ini aku masih tidak mempunyai bukti, jadi biarkan saja Mas Darren mendapatkan bukti itu. Kalau dia bukan wanita baik-baik, tentu saja dia tidak akan sabar ditinggalkan sendirian, bukan? Jadi, mari kita buktikan. *** Tiga puluh menit sudah berlalu dan aku masih belum tahu apa yang didapatkan Mas Darren karena sekarang aku masih sibuk dengan kompor dan beberapa bahan masakan. Sudah lama aku tidak merasakan pedesnya sambal yang selalu aku buat, jadi aku memanfaatkan bahan yang ada untuk membuat semua makanan yang ingin dimakan. Sangat disayangkan kalau persediaan makanan di kulkas busuk begitu saja, bukan? Baru saja mau mengiris gula merah untuk membuat citarasa semakin sempurna, Mas Darren lebih dulu menghampiriku dengan tergesa-gesa dan tangannya juga langsung menarikku. Segera aku mematikan kompor, lalu berjalan mengikuti langkahnya. Ternyata wanita ini sedang menghubungi seseorang dengan ponselnya yang canggih dan terlihat mahal. "Iya, Tante. Saya sudah melakukan apa yang Tante perintahkan. Jadi, walaupun mereka tidak berpisah, setidaknya hubungan di antara mereka semakin buruk. Saya yakin Tante akan semakin puas," ucapnya sambil tersenyum menyeringai, seolah dia baru saja melakukan hal yang hebat. Membuatku jijik saja. Akan tetapi, siapa Tante yang dia maksud? Tidak mungkin kalau mama mertua, bukan? "Siapa yang dia hubungi?" Mas Darren menatapku lekat untuk mencari jawaban, tapi aku hanya mengendikkan bahu. Tanda kalau aku juga tidak tahu siapa yang dihubunginya itu. "Bagaimana kalau Mama?" Dengan rasa takut dia tersinggung, aku berusaha menyebut kata itu dengan hati-hati. "Enggak. Mana mungkin Mama mau melakukan hal hina yang sangat kotor. Apalagi selama ini dia sangat menyayangi kamu dan dia juga wanita. Jangan bawa mamaku untuk beberapa hal yang tidak pantas disandingkannya," makinya panjang lebar. Aku juga tahu dia tidak akan percaya apa saja yang sudah dilakukan oleh mamanya, tapi satu hal yang pasti saat ini memang hanya mama yang bisa menjadi tersangka. Apalagi beberapa hari ini aku pernah mendengar dia mengatakan menyesal karena sudah menikahkan Mas Zedri denganku. "Baiklah, semua terserah padamu, Mas. Kalau perkataanku selalu salah, lain kali jangan tanya padaku lagi." Aku berjalan kembali ke dapur. Baru saja kita akur, tapi dia sudah berani membentak lagi. Sepertinya hubungan di antara kita tidak akan pernah membaik dan alam selalu seperti ini. Jadi, memang aku yang seharusnya pergi dari orang-orang ini. Aku juga hanya manusia biasa yang punya rasa lelah. Aku kembali sibuk dengan daging yang baru saja diberikan perasaan jeruk nipis agar ada asam-asamnya. Bagiku kalau makanan tidak pedas dan asam, maka belum sempurna. Kecuali beberapa masakan tertentu seperti rendang, semur, dan yang lainnya. "Aku sudah menghubungi Mama agar datang ke sini dan menjelaskan semuanya. Lain kali, jangan lakukan hal-hal yang akan membuatku marah lagi, Anya." Aku mematung beberapa saat setelah mendengar perkataannya, lalu tersenyum miris. Harusnya yang selalu cerita kepada orang tua itu wanita, tapi ini ... malah dia yang suka menceritakan semuanya sama mamanya. Dasar anak mama. "Memangnya apa yang sudah aku lakukan, Mas? Barusan aku hanya menyarankan nama, sama sekali tidak menuduhnya," lirihku berusaha membuatnya mengerti. "Menuduh ataupun tidak, Mama sudah tahu kalau sifat aslimu memang seperti ini, Lavanya!" teriakan seorang wanita dari arah luar membuatku menatap Mas Darren tajam. Kalau saja waktu bisa diulang kembali, pasti aku akan memilih pergi di hari pernikahan daripada menghadapi situasi seperti sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD