"Serius dia tidak pernah cinta sama kamu?" Dion menatapku dengan wajah heran. "Padahal, aku saja sudah jatuh cinta sejak pandangan pertama, tahu."
Aku dan Mas Darren seketika melihat ke arah Dion yang berbicara tanpa ragu. Memang di antara kita tidak ada saling cinta, tapi kenapa dia bisa begitu lancar mengatakan hal itu?
"Cukup bercandanya, kita lanjut makan saja." Aku berpura-pura tidak mendengar dan mengambil buah alpukat untuk dinikmati. Setelah makan, memang sudah menjadi kebiasaanku memakan buah kesukaan. Terutama alpukat, jeruk, dan mangga. Walau aku tidak pilih-pilih dalam soal makanan, tapi tiga buah itu sangat spesial. Mereka bahkan bisa meningkatkan nafsu makanku hanya dengan membayangkannya.
"Hentikan lelucon ini!"
Mas Darren kembali mengebrak meja makan untuk yang kedua kalinya. Tadi tidak terlalu keras, tidak seperti sekarang hingga membuat alpukat yang sedang diam cantik di tanganku terjatuh.
"Apa yang kamu lakukan, Mas?" tanyaku tidak terima. "Kalau lapar duduk dan makan. Kalau tidak, kamu bisa pergi ke kamar, dan membersihkan diri."
Aku memberikan pilihan dengan cepat agar tidak ada lagi pertengkaran. Selama ini aku sudah cukup sabar menghadapi sikapnya yang terkadang kelewatan. Seringkali aku juga berpikir kenapa aku bisa sekuat ini menghadapi suami seperti dia?
Kalau saja ada salah satu keluarga yang mendukung, setidaknya memberikan semangat, mungkin aku sudah pergi ketika rasa sakit mulai menyerang. Rasanya tidak sanggup jika harus selalu bersama dengan orang-orang yang suka melihat kita menderita. Padahal, kita juga manusia biasa yang ingin bahagia dan bersama orang-orang yang mencintai kita dengan tulus.
"Kamu usir aku?" Mas Darren menatapku tajam. "Harusnya yang kamu usir itu dia, bukan aku."
"Usir? Apa ada kata pengusiran yang keluar dari bibirku?" tanyaku menantang. "Tidak, Mas. Kamu sendiri yang salah mengartikan kata-kataku."
"Ini rumahku, apa pun yang aku lakukan, terserah padaku," sentaknya membuatku langsung terdiam.
Tanpa terasa air mata mengalir ke pipi. Kalau saja aku tidak punya tahan dingin dan bisa makan makanan apa saja, tentu aku akan memilih pergi. Masalah tempat tinggal bisa aku pikirkan nanti.
Lebih baik tinggal di jalanan daripada di tempat pria yang angkuh dan sifatnya sangat jauh dari suami idaman.
"Anya, aku minta maaf," lirih Dion sambil mendekat dan suaranya terdengar sangat merasa bersalah.
"Tidak apa-apa, ini bukan salahmu." Aku menjawab dengan suara parau sambil mengusap butiran bening yang terus saja bermunculan.
"Padahal aku enggak melakukan apa pun, kenapa kami malah mengeluarkan air mata seolah aku baru saja melakukan kekerasan?" Tanpa dosa, Mas Darren meninggikan nada bicaranya dan mengeluarkan kata-kata yang membuat dadaku terasa sakit.
Apa pria ini masih manusia? Kenapa dia sama sekali tidak punya perasaan?
"Mas, cukup." Dion menatap tajam ke arah kakaknya. "Anya itu istri, Mas. Harusnya Mas lebih tahu perasaan wanita daripada aku dan menenangkannya. Nanti kalau aku yang melakukan itu, Mas pasti marah."
Aku sangat keberatan dengan apa yang dikatakan Dion karena aku tidak butuh ditenangkan, tapi ada perkataannya ada benarnya juga. Jadi, dia tidak sepenuhnya bersalah.
Mas Darren tidak lagi bicara. Dia menarik kursi yang berada paling dekat denganku, lalu duduk, dan membawaku ke dalam pelukannya.
"Maaf kalau aku sudah berpikir yang tidak-tidak, maaf juga kalau tadi aku sudah membentak," lirihnya membuatku malah semakin marah.
Aku mendorong tubuhnya dengan sekuat tenaga, sayangnya dia hanya tergeser sedikit.
"Kenapa? Aku marah-marah salah, minta maaf juga salah. Apa yang sebenarnya kamu inginkan?" tanyanya sambil mengusap wajah frustasi.
"Aku seperti ini juga karena kamu, Mas. Kenapa kamu mengatakan kalau barusan? Bukankah kamu memang tadi sudah marah dan menuduh yang tidak-tidak sama kami?" cecarku membuatnya terdiam.
Anehnya, Dion yang kini berada di belakang Mas Darren malah tersenyum mengejek ke arah kakaknya. Dasar anak itu. Dia memang selalu terlihat gembira setiap aku memarahi kakaknya.
"Kenapa? Masih tidak mau mengakui kesalahan? Mau sampai kapan seperti ini terus?" Kembali aku bertanya.
Mas Darren hanya diam sambil menatapku dengan tatapan yang entahlah. Aku sendiri tidak tahu. Yang jelas dadaku tiba-tiba berdetak lebih cepat ketika melihat kedua matanya. Bahkan jantungku seakan mau melompat keluar ketika dia tiba-tiba menggenggam tanganku.
"Maaf, Anya. Aku memang sudah keterlaluan," bisiknya lembut.
Aku seketika terdiam, begitu juga dengan Dion. Dia bahkan terlihat sangat terkejut dengan perubahan sikap kakaknya dan aku juga begitu. Selama ini Mas Darren selalu bersikap keras kepala dan tidak pernah mau mengalah, apalagi mengucapkan kata maaf. Namun, kali ini dia mau melakukannya. Benar-benar momen yang langka.
"Sayang," panggilnya lagi dan aku kembali dibuat terkejut untuk kedua kalinya.
Sayang? Aku tidak salah dengar bukan?
Ekor mataku tidak sengaja melihat ke arah Dion, kedua tangannya mengepal kuat, dan dia sedang mengerjakan giginya. Beberapa detik kemudian, dia bahkan berjalan ke arah pintu luar tanpa mengatakan apapun lagi.
Tidak mungkin dia marah hanya karena mendengar nama panggilan Mas Darren barusan bukan?
"Apa yang sedang kamu lihat? Kamu tidak mau memaafkan aku, bukan?" Mas Darren kembali bertanya. Bahkan kali ini kedua tangannya menyentuh dua sisi pipiku dengan sangat lembut dan aku merasakan tangannya yang hangat.
Untuk sesaat, aku terpana melihat ketampanan pria yang ada di hadapanku ini. Bagaimana tidak, Mas Darren memiliki tubuh yang sesuai dengan impian setiap wanita. Tangannya kekar, perutnya kotak-kotak, badannya bagus, hidungnya mancung, kulitnya putih bersih, dan bibirnya merah.
Menurutku sikap dinginnya juga terlihat sangat menarik. Namun, sangat disayangkan aku tidak akan pernah mau menggilai pria ini. Aku wanita normal yang mau disayangi dan dicintai oleh pria setia yang menjadikan kita satu-satunya, bukan salah satunya.
Pria yang selalu bergantung pada istrinya dan mencurahkan segala cinta hanya untuk keluarga. Semua yang aku impikan dalam kelurga kecilku tidak ada pada diri Mas Darren. Jadi, suatu saat aku tetap harus merelakan pria ini.
"Akhirnya dia pergi juga," lirih Mas Darren. Sangat pelan, tapi kembali membuat hatiku terluka.
Ternyata dia mengeluarkan kata-kata yang baik hanya untuk mengusir Dion pergi. Kalau tidak, mungkin semuanya tidak akan keluar dari bibir yang hanya bisa mengatakan hal-hal yang menyakitkan itu.
Aku mengusap air mata, lalu berjalan ke arah tempat cuci piring, dan mencuci muka. Setelah wajah segar kembali, aku langsung mengambil piring kotor dan mencucinya. Aku bahkan mendiamkan Mas Darren yang sejak tadi mengikuti langkahku.
"Bisa tidak kamu duduk saja, Mas?" tanyaku kesal karena dia menghalangi jalanku.
"Tidak bisa. Aku mau kamu jawab pertanyaanku dulu," tantangnya.
"Apa?"
"Tadi kamu baper, ya?" tanyanya sambil tersenyum jahat, sayangnya aku langsung tertawa.
"Mana mungkin aku terbawa perasaan hanya karena kata-kata seperti itu, Mas. Aku Lavanya, tidak akan pernah luluh oleh pria seperti kamu," tegasku. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu, tapi aku tidak mau membuat dia terlalu percaya diri.
Belum sempat dia membalas perkataanku, bel rumah berbunyi nyaring membuatku berjalan ke arah pintu untuk melihat siapa yang datang.
Aku tersentak ketika melihat seorang wanita yang berdiri di depan pintu gerbang dengan pakaian yang terlihat basah.
Dengan gugup, aku berjalan mendekat ke arahnya. "Maaf, Mbak, cari siapa, ya?" tanyaku dengan suara sedikit bergetar.
"Pak Darren ada, Bu? Saya ke sini mau minta pertanggungjawaban," ucapnya pelan, lalu dia menangis.
Pertanggungjawaban?