bc

Hanya Soal Waktu

book_age16+
1.0K
FOLLOW
5.6K
READ
time-travel
love after marriage
mate
bxg
lighthearted
serious
coming of age
spiritual
like
intro-logo
Blurb

"Aku harap kamu bisa memahami jika aku menikah denganmu karena Kenzie dan Ammara. Jadi kamu jangan berharap banyak dengan hubungan kita." Kata Eric di hari kedua pernikahan mereka.

“Baiklah tidak masalah. Aku merasa lebih baik menjadi baby sitter yang diistimewakan daripada menjadi istri yang diabaikan.” Kata Fatma.

“Apa maksud kamu?” Tanya Eric.

“Bukankah kamu memintaku hanya mengasuh anak-anak kamu? Apa namanya kalau bukan baby sitter?”

Cover by Ai

Photo by Jeremy Beadle on Unsplash

chap-preview
Free preview
HSW 1
Eric duduk di tepi tempat tidur sambil memegang pigura yang membingkai foto keluarga kecilnya. Dia tersenyum lebar memandang empat wajah ceria yang terpampang di sana. Namun sejenak kemudian setetes air mata jatuh di kaca pigura tepat di wajah wanita cantik Angela, istrinya. "Kenapa kamu meninggalkan kami secepat ini, Angel?" Ratapnya dalam tangisan. Hari ini adalah peringatan empat puluh hari meninggalnya Angela. Wanita yang sudah mengisi hatinya sejak sepuluh tahun terakhir itu harus pergi karena menderita penyakit lambung akut. "Jaga Kenzie dan Ammara dengan baik ya, Sayang." Kata Angela beberapa hari sebelum dia dirawat di rumah sakit. Saat itu Eric hanya mengiyakan karena dia anggap itu hanya sekedar ucapan saat mereka berdua berbincang. Akan tetapi sekarang baru dia sadar bahwa itu adalah pesan terakhir dari sang istri. Tok. Tok. Tok. Aida mengetuk pintu kamar Eric yang sedikit terbuka. “Eric, boleh Bunda masuk? Bunda perlu bicara sama kamu.” Kata Aida membuka pintu kamar Eric lebih lebar. “Silakan, Bund.” Jawab Eric. Aida kemudian duduk di samping Eric. Dia melingkarkan tangan ke pundak putranya itu untuk memberi kekuatan. “Ric, Bunda tahu kamu sangat mencintai Angela. Bunda juga tahu kamu sangat sedih karena kepergiannya. Tapi, Ric, kamu juga harus ingat kalau masih ada anak-anak yang harus kamu perhatikan.” Kata Aida berusaha mengatakan selembut mungkin. Eric yang semula menunduk, menoleh kepada Aida. “Aku ingat, Bund. Tapi aku harus bagaimana? Aku ngga mungkin merawat mereka sendirian. Menitipkan kepada Mila juga ngga mungkin. Anak itu selama ini hanya bisa masak dan bersih-bersih. Tapi kalau mengurus anak-anak, rasanya aku belum bisa percaya.” Kata Eric frustrasi. “Apa ngga bisa kalau mereka bersama Bunda dulu?” “Ric, bukannya Bunda ngga mau mereka terus tinggal sama Bunda. Tapi sejak mereka tinggal di rumah Bunda setelah kepergian Angela kamu cuma dua kali mengunjungi mereka.” Kata Aida. “Itu karena aku kerja, Bund. Aku juga rasanya ngga tahan terlalu lama di rumah. Bayangan Angela seakan masih ada di rumah ini, Bund.” Eric berusaha membela diri. “Itulah yang jadi pikiran Bunda. Kamu jadi semakin ngga karuan kalau kerja. Mau sampai kapan kamu seperti ini? Kamu mau Kenzie dan Ammara ngga kenal sama kamu lagi?” Tanya Aida tajam. “Bund!” Seru Eric. Dia terkejut dengan ucapan Aida. “Kenapa? Apa kamu ngga sadar kalau mereka semakin jauh sama kamu?” Tanya Aida. Eric semakin menunduk. “Mereka masih butuh kamu sebagai orang tua mereka, Ric. Ngga akan sama kasih sayang kami dengan kamu.” “Aku ngga tega kalau mereka harus diasuh sama baby sitter saat aku bekerja, Bund.” Kata Eric memelas. “Sama, Ric. Bunda juga ngga tega kalau cucu Bunda diasuh oleh orang lain. Tapi keadaannya sekarang kayak gini. Mau ngga mau harus ada yang bantu kamu jaga mereka.” “Terus gimana, Bund? Ngga mungkin kan aku berhenti bekerja dan di rumah saja mengasuh mereka?” “Cari istri, Ric. Kamu harus menikah lagi agar ada yang bisa merawat anak-anak juga mendampingi kamu. Bunda rasa ini lebih baik dibandingkan sekedar menggunakan jasa baby sitter.” “Tapi, Bund. Aku ngga mau menggantikan posisi Angela dengan siapapun. Bunda tahu kan gimana besarnya perasaanku sama dia?” “Iya, Ric, Bunda paham. Kamu ngga harus mengganti tempat Angela di hati kamu. Kamu hanya perlu menyediakan ruangan baru untuk ditempati istri baru kamu nanti.” “Tapi, Bund-“ "Eric, Bunda yakin Angela juga pasti akan kecewa kalau melihat kamu tidak merawat anak kalian dengan baik. Kamu juga tau kan bagaimana selama ini Angela memperlakukan anak-anak? Dia bahkan rela menunda waktu makannya demi mendahulukan keperluan Kenzie dan Ammara. Sampai-sampai dia harus menderita penyakit lambung sebagai penyebab dia akhirnya meninggalkan kita semua untuk selamanya." Kata Aida melirih. "Bund aku-" “Bunda ngga mau negosiasi lagi, Ric. Semua keputusan ada sama kamu. Dua hari lagi Bunda akan antar Kenzie dan Ammara ke sini lagi. Terserah kamu mau apakan anak-anak kamu itu. Atau kalau kamu memang merasa sudah tidak sanggup, biar Bunda antar mereka ke tempat Gina. Biar adik kamu yang mengurus mereka.” “Bund...” Eric terkesiap mendengar ancaman Aida. Dia sudah hendak menahan tapi terlambat dan hanya bisa melihat kepergian Aida keluar dari kamarnya. Aida akhirnya berdiri dan meninggalkan kembali Eric sendirian. Sebenarnya dia tidak sampai hati mengatakan hal itu, namun putranya itu tidak akan berpikir jika tidak diancam seperti ini. Dia kemudian menghampiri Kenzie dan Ammara yang sedang ditemani oleh Zain. “Gimana, Ai?” Tanya Zain ketika Aida sudah duduk di sampingnya. Wanita itu menggeleng lemah. “Masih sama, Yang. Tapi tadi aku udah ancam dia.” Jawab Aida. “Ancam gimana, Ai?” “Aku bilang kalau dua hari lagi akan antar anak-anak ke sini, biar dia sendiri yang tentukan apa yang akan dia lakukan.” Kata Aida. Zain melongo. “Beneran kamu bilang kayak gitu, Ai? Yakin kamu tega?” “Entahlah, Yang.” Aida menggeleng lemah. “Kita pulang sekarang aja yuk.” “Ayo. Kenzie, Ara, ayo ke rumah Kakek lagi.” Ajak Zain kepada kedua cucunya. “Ric, kami pulang dulu!” Teriak Zain. Beberapa saat kemudian terdengar suara langkah Eric mendekati tempat kedua orang tua dan anak-anaknya berada. Dia lalu berlutut menyejajarkan diri dengan Kenzie yang sudah berdiri di depan kakeknya. "Papa minta maaf ya belum bisa ajak kalian tinggal di sini lagi. Papa masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan." Kata Eric berusaha memberi pengertian kepada putra sulungnya itu. Anak kecil berusia empat tahun itu mengangguk. "Pekerjaan Papa penting ya? Jadi harus diselesaikan dulu ya?" Tanya Kenzie polos. "Iya, Ken." Jawab Eric. "Kalau pekerjaan penting Papa sudah selesai baru bisa jemput aku sama Ara ya?" Tanya bocah itu lagi. "Iya, Nak." "Tuh, Ric, kamu ngga merasa tersindir dengan pertanyaan anak kamu?" Kata Aida. Eric seketika menoleh kepada sang ibu. "Maksud, Bunda?" Tanya Eric tidak mengerti. "Dari apa yang Kenzie tanyakan sebenarnya dia mulai merasa kalau pekerjaan kamu lebih penting dari mereka." Jawab Aida. "Tinggal menunggu waktu aja sampai mereka melakukan hal yang sama sama kamu. Mereka suatu saat akan menganggap ada yang lebih penting dari kamu." "Tapi, Bund-" Eric sudah akan mengatakan sesuatu tapi terpotong karena Aida tiba-tiba berdiri sambil menggendong Ammara. "Ayo, Yang. Kita pulang." Ajak Aida kepada Zain. "Pikirkan apa yang bunda kamu katakan, Ric." Kata Zain sambil menggandeng tangan Kenzie. "Jangan sampai kamu menyesal karena tidak ada yang lebih berharga dibandingkan keluarga." "Iya, Yah." Hanya itu yang bisa Eric katakan. Zain bukan tipe orang yang banyak bicara, jadi jika pria itu sudah mengeluarkan suara pastilah masalah yang terjadi sangat penting. Eric mengantarkan kedua orang tuanya sampai ke depan. Dia membukakan pintu mobil untuk mereka masing-masing secara bergantian dimulai dari pintu belakang untuk anak-anaknya, lalu pintu di sebelah kemudi untuk Aida, dan terakhir pintu bagian kemudi untuk Zain. "Hati-hati Yah, Bund." Ucap Eric mengantarkan kepergian orang tua dan anak-anaknya. Dia baru masuk kembali ke dalam rumah setelah mobil Zain tidak lagi terlihat. Eric mengunci pintu rumah baru kemudian masuk ke dalam kamar. Dia merebahkan tubuh di tempat tidur ingin rasanya dia beristirahat namun tidak bisa. Apa yang bundanya sampaikan tadi terus terngiang di telinganya. Eric kembali duduk dan mengambil foto Angela. "Ngel, gimana menurut kamu? Apa kamu mengizinkan kalau aku menikah lagi? Hanya demi anak-anak, Sayang. Aku janji ngga akan menggantikan posisi kamu dengan siapapun." Kata Eric pada foto Angela yang pasti tidak akan memberikan dia jawaban apapun. Dia kembali merebah namun kali ini dengan foto Angela dalam dekapannya. Tidak berapa lama kemudian Eric terlelap. Esok paginya Eric bangun dengan tergagap. Dia semacam mengalami mimpi buruk hingga foto Angela yang sejak semalam dia dekap terjatuh ke pahanya. Dengan segera dia mengambil kembali foto itu dan mengajaknya bicara lagi. "Ngel, apa mau kamu yang sebenarnya?" Tanya Eric. Dia kembali memeluk foto Angela kemudian meletakkan lagi di tempatnya. "Aku harus segera mengatakan ini sama Bunda." Kata Eric. Dia bergegas bangun dan menuju ke kamar mandi. Dia berniat menceritakan mimpi yang baru dia alami kepada Aida. "Sarapannya sudah siap, Pak." Kata Mila, asisten rumah tangga Eric, begitu melihat pria itu keluar dari kamar. "Kamu aja yang makan. Saya mau ke tempat bunda sekalian sarapan di sana." Kata Eric tanpa sedikitpun menoleh kepada Mila. "Baik, Pak." Hanya itu yang bisa Mila katakan. Dia sebenarnya kecewa, sudah repot memasak tetapi tidak dimakan oleh majikannya. Jangankan disentuh, dilihat pun tidak sama sekali. Sebenarnya ini bukan pertama kali Eric melakukan hal ini. Sejak kepergian Angela, pria itu hampir tidak pernah makan di rumah. Dia lebih sering berangkat bekerja tanpa sarapan dan pulang sangat larut malam melewati jam makan malam. Terkadang Mila ingin sekali mengatakan jika memang tidak makan di rumah alangkah baiknya Eric mengatakan kepadanya, jadi dia tidak perlu memasak. Namun apalah dia yang hanya asisten rumah tangga. Dia tidak ingin pekerjaannya terancam jika sampai mengatakan hal yang membuat marah Eric sebagai majikannya. Dalam waktu kurang dari dua puluh menit Eric sudah sampai di depan rumah orang tuanya. Di jam yang baru menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit ini, rumah Zain terlihat masih lengang. Dia sudah akan keluar, namun tiba-tiba ada keraguan dalam hatinya. Dia khawatir jika yang mimpinya tadi hanya sekedar bunga tidur belaka dan bukan sebuah isyarat. Eric mengetukkan jemarinya di kemudi mobil sembari berpikir. Beberapa menit kemudian dia memutuskan untuk kembali melajukan mobil meninggalkan kediaman Zain.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook