TIGA

926 Words
Langit yang sebelumnya berwarna jingga, kini sudah sempurna berubah gelap. Siswa berkumpul di tengah-tengah lapangan, yang artinya mereka berdiri di tengah tenda yang sudah terpasang berjajar dengan rapi. Mereka berbaris sesuai kelas masing-masing, untuk pembagian kelompok jalan malam. Tiba-tiba Shin mengangkat tangan, wali kelas yang tengah menghitung jumlah anak didiknya pun menoleh. "Ada apa Shin?" tanya Wira sang wali kelas. "Saya mau berkelompok dengan Viola," ucap Shin dari barisan paling belakang. Dengan kompak siswa yang berada di barisan depannya menoleh ke arah Shin, begitu juga Viola. Perasaan Viola menjadi campur aduk mendengar ucapan Shin. Alika mengoyak lengan Viola saking tak percayanya. Sedangkan Braga melihat sinis ke arah Shin. "Oke," Wira menyetujuinya tanpa meminta persetujuan Viola. Kelompok sudah ditentukan, Shin sudah berdiri di samping Viola. Braga memilih dengan Alika karena memang Alika adalah cewek paling dekat dengannya di antara cewek lain di sekolah. Tepat pukul 22.00 WIB, perjalanan malam dimulai. Mereka berjalan secara bersamaan, dan harus berpencar untuk mencari petunjuk pencarian harta karun. Viola berjalan lebih dulu, senter di tangannya sudah dinyalakan sedari tadi. Menyusuri jalan setapak sebuah hutan. Tangannya digerakkan agar senter itu menerangi jalan yang akan dilaluinya. "Yya!!" Suara Shin memecah keheningan, "Harus banget, dapet harta karunnya?" tanya Shin. "Enggak sih, palingan juga udah ada yang nemu petunjuknya," jawab Viola tanpa menoleh, Viola sangat gugup malam itu. "Mau istirahat dulu?" tanya Shin. "Heh." Viola bingung harus menjawab apa, kali ini gadis itu menoleh ke arah Shin, "Enggak ah, nanti kelamaan," tolaknya kembali berjalan. Shin menarik lengan Viola, sehingga Viola oleng dan Shin segera menangkapnya, dia terjatuh di pelukan Shin. Serasa dunia berhenti, mata Viola membelalak. Detak jantungnya sangat cepat. "Ehemm." Shin berdehem, karena Viola terlalu lama dipelukannya. Viola tersadar dan melepaskan pelukan Shin dengan cepat, keduanya menjadi salah tingkah. "Sorry," ucap Viola lalu berjalan tergesa-gesa, tetapi apa daya, kaki jenjang miliknya malah tersandung sebuah akar yang melintang. Viola terjatuh karena menyandungnya. "Aaauuuu," ringis Viola kesakitan.  Shin khawatir, Ia langsung meletakan senter yang masih menyala di atas tanah. "Lo nggak apa-apa?" tanya Shin panik. "Sakit, kayaknya terkilir deh," jawab Viola menahan sakit. "Sebentar." Shin mulai meluruskan kaki Viola. Gadis itu mengarahkan cahaya senternya untuk menerangi kakinya, agar Shin dengan jelas dapat melihat. "Tahan, pasti bakal sakit banget," ucap Shin berancang-ancang mengobati kaki Viola. Krekk.... Shin memutar telapak kaki Viola. "Yya!!! sakit banget!!" Viola hampir menangis. "Nanti enakan," sergah Shin lalu mengambil posisi duduk di samping Viola. Keduanya terdiam. Baru pertama kalinya Viola berada di luar, saat malam-malam seperti ini, dan hanya berdua dengan Shin. "Kok lo bisa ngobatin luka ginian?" tanya Viola membuka pembicaraan. "Kan gue anak basket, jadi sahabat banget sama yang namanya terkilir, kenapa?" pandangan Shin fokus pada wajah wanita di sampingnya. Viola menjadi gugup, dia menggeleng cepat, "Enggak apa-apa," jawab Viola gugup. Keduanya menatap langit. Cahaya bintang bertaburan, dan sangat indah. Bulan pun hampir sempurna dalam bentuk bulan purnama. Shin menghela napas, "Indah banget," ucapnya mengagumi langit yang begitu luas dari sela-sela pohon tinggi di sekitarnya. "Benar." Viola setuju. Keduanya kembali terdiam, sampai Viola kembali membuka pembicaraan, "Lo kenapa datang terlambat?" tanya Viola. "Kenapa? nyariin?" tanya Shin sedikit meledek. "Enggak." Seketika itu Viola langsung gugup, membuat Shin tersenyum melihatnya. "Udah ah, ayo! yang lain pasti udah sampe tenda." Viola mencoba berdiri, gugupnya terlihat sangat kentara. Shin tersenyum. "Auuhhh." Viola kembali kesakitan, saat akan melangkahkan kakinya. "Masih sakit?" tanya Shin. Viola mengangguk sebagai jawaban. Shin berjongkok di depan Viola, membuatnya sedikit kaget. "Kenapa?" tanya Viola ragu. "Naik, gue gendong sampe tenda," jawab Shin menepuk bahunya. "Enggak. Bisa jalan kok, walaupun harus pelan-pelan," tolak Viola segera. "Cepetan! udah hampir tengah malam, naik!" Perintah Shin sedikit memaksa. Shin menggendongnya, tangan Viola menyorotkan senter untuk menerangi jalanan di depan Shin. Viola sangat gugup, sesekali penerangannya goyah. Berkali-kali mengatur napas karena gugup, membuat Shin tersenyum. Sesampainya di tenda, Braga sangat khawatir, melihat Viola datang dengan digendong oleh Shin. "Udah gue bilang, jangan ikut, malah maksa!!" omel Braga kesal. Shin menurunkan Viola tepat di depan tendanya. "Apaan sih Ga, gue nggak apa-apa kali," jawab Viola lalu duduk di kayu panjang, yang memang disediakan untuk duduk. "Dia terkilir, makanya gue gendong," timpal Shin sedikit sinis. "Oh." Braga mengiyakan singkat, membuat Shin kesal. Shin pergi begitu saja, tanpa permisi. °°° Kedekatan Shin dan Viola semakin dekat, setiap malam Shin mulai mengirim pesan singkat untuk mengucapkan selamat tidur, Viola sangat senang saat itu. Keduanya bahkan saling menyemangati ketika ujian nasional tiba. Tepat, di hari kelulusan. Viola dan Shin duduk berdua di taman belakang sekolah.  "Gue mau ngelanjutin sekolah di luar negeri." Shin membuka pembicaraan. "Heh." Viola sedikit kaget, "Kenapa?" Shin tersenyum, "Cuma pengen sekolah di sana," jawab Shin asal. "Yya!! di sini juga banyak sekolah bagus, kenapa harus sekolah di luar negeri?" protes Viola. Lagi-lagi Shin tersenyum, "Enggak, Bokap pengen gue sekolah di sana." "Harus banget?" tanya Viola. Shin mengangguk, "Kenapa? nggak mau jauh dari gue ya?" ledek Shin, membuat wajah Viola memerah. "Ih, apaan sih," sela Viola malu. "Nanti sore, mau jalan bareng gue?" ajak Shin, matanya menatap Viola yang kini tengah mengatasi rasa gugupnya. "Oh." Viola mengangguk mengiyakan. Sore hari, setelah pulang sekolah, Shin benar-benar mengajak Viola berjalan-jalan di sebuah taman kota, Shin memilih duduk di depan danau yang tak terlalu besar. Airnya tenang, pepohonan yang mengelilinginya terlihat begitu asri. Suasana sore itu tak terlalu ramai. Mungkin karena belum waktunya jam pulang kantor, tetapi tak sedikit yang berlalu lalang melewati taman itu. "Rencananya mau kapan ke luar negerinya?" tanya Viola membuka pembicaraan. "Mmm__ paling minggu depan, kalo udah diurus semua dokumen yang di sini," jawab Shin memandang danau di depannya. Viola mengangguk mengerti. "Jangan kangen ya," goda Shin sembari tersenyum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD