BAB : 2

1425 Words
Di saat yang bersamaan, Dira juga keluar dari kamar mandi. "Yok, balik. Aku udah selesai," ajak Dira. Tapi apa yang ia dapati, ia sedikit terdiam mendapati orang-orang berseragam lengkap sedang berhadapan dengan Leo. "Ada apa?" tanya Dira bingung sambil menghampiri Leo. "Kalian berdua sedang apa disini?!" tanya salah satu dari mereka dengan tampang sangar. "Kita cuman ..." "Tunjukkan identitas kalian," pinta salah seorang dari mereka memotong ucapan Dira. Baik Dira ataupun Leo menurut saja. Mereka menyodorkan tanda pengenal masing-masing. "Jadi, Anda seorang dosen, dan kamu mahasiswinya?" tanya dia menunjuk Leo dan Dira bergantian. "Begitukah?" "Iya," jawab Leo, sedangkan Dira memilih untuk mengangguk saja. "Ck, dasar. Kalian berdua ikut kami!" hardiknya. "Bentar dulu, ini sebenarnya ada apa, sih. Kenapa kami berdua harus ikut?" tanya Dira dengan wajahnya yang memang sudah terlihat panik. "Ntar aku jelasin," bisik Leo pada Dira. Ia tak ingin Dira tau kalau mereka di grebek petugas yang lagi razia, gara-gara kedapatan berada di satu kamar tanpa adanya hubungan yang sah. Bisa-bisa Dira malah teriak-teriak jejeritan ntar. Yap, jadilah mereka berdua menjadi salah satu di antara pengunjung hotel yang pada malam itu ikut terjaring razia. Karena status mereka yang bukan muhrim, tapi berada di satu kamar. Hingga sampai di kantor polisi, wajah bingung Dira semakin terlihat. Di tambah lagi, ia juga merasa takut kalau sudah berurusan dengan polisi. "Kalian sedang apa di hotel itu?" "Kita nggak ngapa-ngapain kok, Pak. Dia cuman nemenin saya buat bersihin badan, karena tadi  ketumpahan minuman," jelas Dira. "Kalian pikir, kami akan percaya dengan alasan murahan seperti itu!” "Terserah, mau anda percaya atau tidak. Toh, kita udah jujur," balas Leo. Leo tahu, di jelaskan seperti apapun itu, petugas tak akan mungkin percaya gitu aja. "Sekarang, silahkan hubungi wali kalian agar segera datang kesini," pintanya pada Leo dan Dira. "Orang tua saya lagi di luar negri, Pak. Masa iya mereka harus pulang kampung cuman gara-gara masalah beginian doang," terang Dira. Mampuslah kalau orang tuanya tahu ia tertangkap di kamar hotel bersama cowok. "Orang tua saya juga lagi di luar negri," tambah Leo. "Apa kalian nggak punya keluarga di negara Indonesia ini? Apa kalian disini hidup hanya sebatang kara? Hello, dunia ini sudah sulit, jadi jangan dipersulit lagi. Kalian masih punya anggota keluarga lain, kan?” Dengan langkah malas, Leo beranjak dari duduknya dan pindah ke kursi tunggu. Dirapun juga mengikutinya. "Liat kan, ini semua gara-gara kamu," dengus Dira dengan tampang kesalnya pada Leo. "Jangan nyalahin aku.” "Memang ini semua salah kamu,” tambahnya mengoceh. "Sstt ... diem.” Leo menghubungi seseorang, tapi yang jelas bukanlah orang tuanya. Karena ia jujur, orang tuanya memang berada di luar negri. "Nelepon siapa?" tanya Dira. Tapi Leo tak menjawab pertanyaan Dira. Ia lebih fokus pada percakapan di telepon dengan seseorang. "Arland, lo dimana?" tanya Leo pada sobatnya di telepon. "Di rumah orang tua gue. Kenapa?" "Kebetulan. Gue sekarang lagi dalam masalah." "Masalah?" "Iya. Tolong lo bilangin sama Om Alvin, buat datang ke kantor polisi. Sekarang, ya." "Lo ngapain di kantor polisi?" "Hhah, gue sama Dira lagi di hotel. Tiba-tiba ada razia, dan kita dituduh berbuat yang enggak-enggak. Gue sama Dira sekarang butuh wali buat bisa bebas," jelas Leo pada sobatnya itu. "Ya udah, ntar gue bilangin." "Thank's." "Jadi?" tanya Dira masih menunggu. "Kita tunggu Om Alvin dulu," balas Leo. Ya, Alvin adalah orang tua dari sahabatnya yang bernama Arland, yang sudah ia anggap sebagai orang tuanya sendiri. Itu karena dekatnya ia dengan keluarga Arland. "Hadeh, benar-benar hari yang sial. Ntar kalau mau ngedate, jangan pake hari minggu," keluh Dira sambil bersandar di bahu Leo. Kira-kira 20 menitan, sobatnya Arland datang bersama istri dan juga orang tuanya, Alvin dan Kim. Leo merasa ini sangat memalukan ... seperti penjahat saja. "Om, Tante. Maaf ya, kita ngerepotin kalian," ujar Leo merasa tak enak. "Iya, nggak apa-apa," balas Alvin. "Kiran!!! Gue nggak mau disini, gue mau pulang," histeris Dira sambil mewek-mewek pada Kiran, istri dari Arland yang merupakan sahabatnya juga. "Iya, tenang dulu," balas Kiran menenangkan Dira. "Kalau gitu, kita temuin petugasnya dulu, ya. Biar kalian bisa cepetan bebas," terang Alvin. Setelah sedikit perdebatan, perselisihan, negosiasi, akhirnya mereka berdua bisa bebas dan bernapas dengan Lega. "Gue mau tanya. Kalian berdua yakin nggak ngelakuin apa-apa di hotel?" tanya Arland sesaat setelah keluar dari kantor polisi. "Eh eh, itu mulut bisa dikondisiin, nggak. Lo kira gue cowok apaan," kesal Leo pada perkataan Arland. "Ya emang ini semua gara-gara, Bapak," tunjuk Dira ke arah Leo masih dengan kekesalan memuncak. “Ngapain ngajakin aku ke hotel.” Leo hanya bisa mendengus saat Dira terus menyalahkannya. Ya, ia akui semua ini memang salahnya. Tapi, bisa nggak sih, Dira tak menyalahkannya terus. Haruskah ia membuat konferensi pers, untuk mengakui kalau ini semua adalah salahnya. "Mau pulang atau enggak? Atau kamu masih betah di sini?" tanya Leo sambil membukakan mobil untuk Dira dengan tampang datarnya. "Sampai ketemu besok, Ki," ucap Dira pamit pada Kiran.  Sambil mencak-mencak, Dira memasuki mobil Leo. Meskipun ia kesal pada Leo, tapi ia tetap cinta kok. Ia tak akan lupa perjuangannya mendapatkan Leo seperti apa. Butuh kesabaran yang haqiqi guys. ---000--- Di saat sang mentari sudah berkelana setengah hari, Dira masih anteng berada dibalik selimutnya. Bahkan asisten rumah tangganya sudah bolak balik ke kamar untuk membangunkannya, tapi tetap saja tak berhasil. Sepertinya, sebuah ciuman dari sang pangeran lah yang bisa membuatnya langsung melek. "Non, ayo bangun, Non. Ini udah yang ke 99,9 kalinya Bibik bangunin, Non. Bukannya Non Dira ada kuliah siang," terang Bibik. Bibik kembali mencoba, siapa tau kali ini ia beruntung dan berhasil membangunkan Dira. Lumayan, bisa dapat hadiah TV LED. "Non, bangun.” Dan ini yang ke seratus kali. Dira tetap tak menjawab bahkan merespon ucapan Bibik dengan sahutan kentutpun tidak. Inilah yang dinamakan mati, tapi tetap bernafas. Saat yang bersamaan, ponsel Dira yang ada di balik bantalnya berdering. Bibik segera mengambil dan melihat nama yang terpampang di layar ponsel. "Den Leo nelfon," gumam bibik. Awalnya ia agak ragu untuk menjawab, berasa tidak sopan. Tapi, ini yang telfon adalah Leo. Amukanya lebih menakutkan daripada Dira. "Hallo, Den Leo. Ini Bibik," "Diranya mana, Bik?" tanya Leo. "Non Dira masih tidur, Den. Bibik udah bangunin dari tadi, tapi tetap saja nggak bangun-bangun," jelas Bibik. "Speaker-in, dan tarok ponsel di kupingnya, Bik," suruh Leo. "Tapi, Den ...” "Tarok, Bik.” Bibik pun mengaktifkan speaker dan meletakkan ponsel dekat telinga Dira yang masih tertidur pulas. Ia berdoa agar majikannya tak akan mengamuk layaknya seekor macan betina yang tidurnya diganggu. "Dira," panggil Leo di telfon. Panggilan pertama masih lembut, tapi tak di respon oleh Dira. Ini sama saja mengiji kesabaran macan jantan. "Dira! Kalau kamu nggak bangun juga, aku pastiin kamu nggak akan di wisuda tahun ini!" Dira langsung terlonjak bangun dari tidurnya, saat telinganya mendengar sesuatu yang mengerikan. Apakah ini mimpi buruk? Tidak. Ini nyata. Seseorang seperti bicara tepat di telinganya. Sampai-sampai kupingnya berasa panas. Yakinlah, alat pendengarannya pastilah memerah. "Non, are you okay?" tanya Bibik. "Aku mimpi buruk, Bik," ucapnya masih shock. "Ketemu setan atau sejenisnya kah, Non?" tanya bibik ikut penasaran. "Bukan,” jawabnya. “Tiba-tiba ada yang bicara di kupingku. Ancamannya nakutin banget. Ini aja masih terngiang-ngiang suaranya di lubang telingaku." "Elvio Nadira!" "Kyaaaa!!! Itu, Bik. Dia manggil lagi," histeris Dira sambil memeluk guling. "Tapi kok mirip suaranya, Leo, ya," herannya. Bibik hanya bisa tersenyum miris melihat tingkah majikannya. "I-itu memang suaranya Den Leo, Non," ujar Bibik sambil menunjuk ke arah ponsel Dira. "Hah?" Dahinya berkerut. Bibik mengangguk. "Ada den Leo, Non," bisik Bibik kembali menunjuk ke arah layar ponsel miliknya. "Omaigat!" gumam Dira bergidik ngeri sambil tangannya mulai menyambar benda pipih itu dan mendekatkan ke telinganya. “Haii, Leo,” sapanya. "Kalau sampai kamu nggak datang, jangan harap kamu menyandang gelar sarjana tahun ini," ulang Leo dengan garang dan langsung menutup telfon. "Mampus!" seru Dira. Ia langsung bangkit dari tempat tidurnya dan segera lari ngibrit menuju kamar mandi. Ternyata ancaman menakutkan itu bukan mimpi di siang bolong. Ini nyata, Beb. "Ya ampun, punya majikan kok rada gesrek, ya," gumam Bibik segera keluar dari kamar Dira. Untung saja itu hanya gumaman si Bibik. Coba kalau bicara langsung pada Dira, bisa-bisa ia bakal langsung di drop out, atau bahkan dimutasi ke segitiga bermuda. ***** Setibanya di kampus, Dira langsung berlari menuju kelas. Semoga saja ia masih bisa mendahului si dosen es krim itu masuk kelas. Kalau tidak, euh ... habislah ia. Tapi, saat berjalan di salah satu lorong kampus, ia malah dihadapkan pada sesuatu yang benar-benar membuat hatinya patah. Bahkan, tanpa ia sadari, buku-buku yang tadinya masih ia pegang malah jatuh berserakan begitu saja di lantai. "Aku salah jalan," gumamnya tersadar dan segera memunguti kembali buku-bukunya yang berserakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD