BAB : 3

965 Words
"Dira," gumam Leo segera menghampiri Dira yang saat itu masih mengemasi buku-bukunya yang berjatuhan di lantai. Setelah semua bukunya terkumpul, ia langsung saja berlalu pergi dari hadapan Leo tanpa meninggalkan sepatah katapun. "Ra!" panggil Leo. Tapi, panggilan itu tak ia hiraukan. Yakali orang lagi kesal malah nyahut 'ya, Beb,' Awalnya Dira hendak menuju kelas, tapi sekarang dirinya tak berminat lagi. Ia melangkahkan kakinya menuju belakang kampus, dan menyendiri dibalik sebuah pohon besar. Untung saja bukan pohon beringin. Kalau tidak, ia pasti akan langsung menggantung lehernya di akar-akar yang berjuntaian itu. Pandangan yang tak mengenakkan barusan, benar-benar mengganggu pikirannya. Otaknya berusaha berpikiran positif, tapi tetap saja yang namanya hati akan berpikir sejenaknya juga. Dira tak ingin masuk kelas, tapi tiba-tiba Kiran malah mengiriminya pesan agar segera ke kelas. Jadilah, ia harus menahan rasa sesak di dadanya untuk beberapa saat. “Kadang waktu nggak bisa diajak kompromi. Udah tahu lagi sakit hati, malah nggak bisa menghindar gini,” gumamnya mengumpat kesal. Ia segera menuju kelas dengan hati yang masih nyesek. Bahkan, saat masuk pun ia hanya diam. Padahal saat itu Leo sudah berada di depan kelas. "Saudari Dira, kenapa terlambat?" tanya Leo. "Toilet," jawab Dira ketus sambil terus berjalan menuju kursinya, tanpa mengarahkan pandangannya pada Leo. Leo bisa lihat kalau Dira kesal padanya, tapi ia masih mengingat kalau ini di dalam kelas. Statusnya adalah dosen dan ia harus bersikap profesional. Kiran saja sampai terheran-heran di buatnya. Apa yang terjadi dengan sahabatnya itu? "Lo kenapa?" tanya Kiran lewat pesan di ponselnya. "Gue lihat Leo sama cewek, mereka lagi pelukan," balas Dira pada pesan Kiran. Saat Kiran menerima pesan itu, jelas ia kaget dan sedikit tak percaya. Seorang Leo yang sifatnya tak jauh berbeda dengan Arland, mau-maunya disentuh wanita? Sepertinya ada kesalahpahaman. Kiran berinisiatif untuk mengirimkan bukti pesan Dira barusan pada Leo. Sesaat setelah Leo membaca pesan dari Kiran, ia mengarahkan pandangannya pada Kiran. Kiran mengangkat kedua bahunya pertanda tidak mengerti. Hingga kelas usaipun, tampang Dira masih saja kecut dan selalu membuang muka saat Leo mencuri pandang padanya. "Lo yakin, Leo pelukan sama cewek lain?" tanya Kiran yang langsung menghampiri Dira. "Iya. Gue liat sendiri," jawabnya "Jangan-jangan lo salah lihat." Dira mendengus saat Kiran tak mempercayai ucapannya. "Haruskah gue ajak lo flashback ke waktu gue ngeliat itu semua? Tapi sayangnya, nggak bisa. Udah ah, gue males. Duluan ya," ucapnya berlalu pergi meninggalkan Kiran. Dira hendak masuk ke dalam mobilnya, tapi seseorang malah menariknya masuk ke dalam mobil yang parkir di samping mobilnya. Ia kaget, apalagi saat tau kalau yang menariknya barusan adalah, Leo. "Bapak apa-apaan, sih. Buka pintunya sekarang. Saya mau keluar!" seru Dira. Ia tak ingin berada di situasi seperti ini. "Bersikaplah seolah aku ini pacarmu." "Setelah kejadian tadi, masih menganggap aku ini pacarmu?" "Kamu salah paham. Aku nggak meluk dia, tapi dianya aja yang langsung main peluk," bantah Leo. "Kalau memang kamu nggak memeluknya, harusnya kamu ngejar aku, yakinin aku, dan jelasin yang sebenarnya. Tapi apa, kamu bahkan menganggap seolah tak terjadi apa-apa. Kamu pikir aku tak punya perasaan?" "Aku hanya ingin kamu mempercayaiku, tanpa harus ku jelaskan." ''Tapi aku butuh penjelasan." "Namanya Indah, dia itu anak dari teman bisnis orang tuaku. Dia akan mulai mengajar juga di kampus ini. Sikapnya memang seperti itu, bahkan Arland juga mengenalnya," terang Leo pada Dira. Ia berharap kalau Dira bisa mengerti. "Tetap saja, aku nggak suka kamu dipeluk-peluk seperti itu. Aku nggak suka, Leo." Dira mendengus.   Ia berpikir, sepertinya hari-harinya bersama Leo bakalan lebih sulit dengan adanya wanita itu di kampus. "Bagaimana kalau aku yang memelukmu?" "Aku tidak mau," jawabnya ketus dan mengalihkan pandangannya dari Leo. "Oo baiklah. Aku tahu, pelukan memang tak semanis ciuman. Lain kali, aku akan memberikannya lagi." Bibirnya melengkung membentuk senyuman. Sudah ia katakan, sikap Leo sangat berbanding terbalik ketika bersamanya, dan ketika statusnya sebagai dosen ataupun ada orang lain di antara mereka. Tapi, jujur saja, Dira menyukai sifat yang di miliki oleh Leo. "Ngomong apa, sih. Udah ah, aku mau pulang. Masih kesal sama kamu," ucap Dira hendak keluar dari mobil. Tapi, niatnya kembali tertahan. Saat ia membuka pintu mobil, ternyata masih dikunci oleh Leo. Ia kembali mengarahkan pandangan pada Leo. "Buka pintunya, Bapak. Saya mau keluar." "Kalau saya nggak mau?" "Leo, buka pintunya," geram Dira pada Leo yang terus mempermainkannya. "Kita makan siang dulu," ajaknya. "Aku nggak bisa," tolaknya "Kenapa?" "Karena aku harus ..." 'Tok-tok-tok,' Seseorang mengetuk pintu mobil. Leopun segera menurunkan kaca dan melihat siapa yang telah mengganggunya. "Ada apa?" tanya Leo yang ternyata orang tersebut adalah Indah. "Bisa anterin aku pulang, soalnya tadi pagi berangkatnya nebeng sama Papa," jelasnya tanpa ragu. "Kamu nggak lihat kalau aku lagi sama pacarku," ujar Leo menarik Dira agar sedikit mendekat padanya. "Jadi, menurut kamu, apa aku akan memilih mengantarkanmu pulang dan meninggalkan dia disini. Begitukah?" "Oo, maaf. Aku pikir kamu sendirian.” Dia pura-pura tersenyum. "Kamu sudah punya pacar dan dia seorang mahasiswi?" tanya Indah dengan wajah tak sukanya itu. "Iya, kenapa. Ada masalah?" Leo balik bertanya. Indah menggeleng. "Kalau gitu aku naik taksi aja, ya," ucapnya sambil berlalu pergi, meninggalkan tatapan kesalnya pada Dira. Dan Dira sendiri, bisa merasakan itu. "Dia menyukaimu." "Di akhiri dengan tanda tanya atau tanda seru?" tanya Leo. Dira memukul lengan Leo. "Jangan mengkaitkan semua ucapan dengan pelajaran." "Lebih bagus, pelajaran itu bisa di praktekkan langsung. Biar ilmunya nggak hilang begitu saja," balasnya "Bunuh orang, dosa, nggak?" "Tentu saja," jawab Leo cepat. "Sebelumnya kamu harus memikirkan dulu, pasal apa saja yang akan menjeratmu setelah kamu melakukan tindakan keji itu," terang Leo. "Begitukah?" Matanya menyipit, diiringi hembusan nafas beratnya menerima penjelasan Leo. "Apa perlu ku sebutkan satu persatu pasalnya?" "Tidak perlu ... tidak perlu," jawab Dira cepat. Ya ampun. Saking gregetnya, Dira berasa ingin menggigit bibir Leo yang bicara masalah hukum itu. Entah apa yang dipikiran cowok ini, hingga otaknya malah mendarat di masalah hukum-hukuman. "Mau ikut aku, kan?" "Kemana lagi?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD