File 5 : Hipnotis

1452 Words
"Kalau pada akhirnya tidak tahu apa-apa, lebih baik diam!" tandas Kapten Wawan. "Kenapa tidak kamu katakan itu pada dirimu sendiri?" Rain hanya mendesah. Dalam hati merefleksikan kembali kata-kata itu. "Lihat kaki korban!" Dia menunjuk mayat lagi, tidak mengindahkan nasihat Kapten Wawan. "Biasa saja, hanya ada gumpalan tanah di sana!" Kapten Wawan mendengus. "Itu poin aneh pertama! Kenapa ada banyak sekali tanah di kakinya, padahal lokasi sekeliling ditutupi daun kering?" ujar Rain, "TKP merupakan pertigaan, yang mana salah satunya menuju pemukiman," imbuhnya. "Apanya yang aneh?" heran Kapten Wawan, "aku yang gila atau otakmu yang, bagaimana? Mereka bekerja di ladang, apa yang salah dari itu?!" imbuhnya. "Jalur utama itu bebatuan terjal, sementara area sekeliling dipenuhi daun bambu. Lantas dari mana tanah itu berasal?" Rain. "Kamu lihat sendiri, bukan dia tidak mengenakan alas kaki?" "Oh, itu logika anda? Terus kenapa tidak ada jejak kaki di atas dedaunan sekitar?" Kapten Wawan mengernyitkan dahi, mulai ikut bingung. Posisi mayat berada tepat di titik pertigaan. Satu mengarah ke pemukiman, satu mengarah ke ladang, dan yang terakhir mengarah ke jalur utama. Seperti yang Rain katakan, jalur utama merupakan bebatuan, sementara arah menuju pemukiman dipenuhi daun bambu. Melihat kaki korban yang penuh tanah, bisa disimpulkan kalau jalan utama, maupun jalur pemukiman bukanlah rute yang dia ambil. "Itu ada jejak kaki!" Kapten Wawan menunjuk arah utara, ya jalur menuju ladang. Rutenya masih berupa tanah, dan terdapat sejumlah jejak kaki. Karena memang jalur yang rutin dilalui, sampah dan dedaunan secara alami cuman berserakan di pinggiran saja. "Pasti dia baru pulang, kamu saja yang kurang teliti!" tudingnya. "Anda benar, ada jejak kaki di sana," angguk Rain, "tapi anda perlu melihat sendiri, bagaimana bentuk jejak kaki itu!" lanjutnya. "Untuk apa lagi?" Kapten Wawan yang tadinya senyum, cemberut. "Lebih baik anda lihat sendiri!" tandas Rain, menolak menjelaskan. Terpaksa ia pun, memeriksa. Jelas-jelas ada jejak kaki, kok, pikirnya. Ia memperhatikan tanah yang amblas itu, seraya mengingat-ingat poin yang dipermasalahkan Rain. Bentuk. "Ini..." Kapten Wawan seketika menoleh. "Siapa yang bertanggungjawab soal TKP?" Ia menghampiri rekan-rekannya. "Ada apa, komandan, izin?" tanya seorang anggota. "Kamu yakin, lokasi ini steril?" tanyanya. "Siap, yakin, komandan!" jawabnya, "lima belas menit setelah mendapat laporan, kami segera datang dan menutup semua akses," lanjutnya, menerangkan. "Saksi, kalian sudah menanyainya juga?" Kapten Wawan. "Siap, sudah, Komandan!" "Apa kesaksiannya?!" "Lapor, saat berangkat menuju ke ladang, dia menemukan mayat korban sudah tergeletak di pertigaan! Kebetulan Tono, salah seorang anggota kita adalah tetangga saksi, dan tengah dalam perjalanan berangkat ke markas. Mereka berpapasan di jalan, dan dia segera mengamankan TKP, sementara kami ke sini." "Panggil dia!" "Siap!" Si Prajurit melaksanakan perintah, menelusuri lagi keseluruhan TKP. "Bagaimana mungkin semua jejak itu melebar ke depan?" bingung Kapten Wawan. Jejak kaki manusia pada dasarnya melebar ke ujung, mengikuti jari-jemari. Jejak-jejak yang ada melebar ke depan, menuju ke arah ladang, dan tidak ada yang terbalik. "Berarti, belum ada yang kembali dari ladang?" tanyanya. "Lapor, benar, komandan!" jawab anggota bernama Tono, anggota yang pertama kali mengamankan TKP, "saya terus berada di sini sejak pukul delapan pagi, dan menutup semua area menuju TKP. Saya pastikan, tidak ada orang yang masuk ke dalam radius sepuluh meter dari TKP!" imbuhnya. "Kalau begitu, bagaimana mungkin dia ada di sini, dengan semua tanah di kakinya?" Kapten Wawan semakin tak habis pikir. Apa mungkin.., ah tidak! Jalanan terlalu licin dan sulit. Lagipula, kenapa tubuh korban ada disini? Luka berada di kening yang artinya, pelaku menyerang dari depan. Tapi kenapa tak ada tanda-tanda perlawanan? Satu-satunya yang masuk akal adalah : dia berasal dari kuburan. "Ya, hanya tempat itu yang penuh tanah!" Kapten Wawan berasumsi. "Itu tidak mungkin!" sambar Rain. "Apanya yang tidak mungkin, aku belum mengatakan apa pun?" kaget Kapten Wawan. "Kuburan! Itu, kan yang anda pikirkan?" tebak Rain. Kapten Wawan mengangguk, tapi Rain langsung menimpali lagi, "dengan pakaian begitu? Terlebih ini hari Rabu, hari yang kurang lumrah untuk melayat!" "Kamu ini pesulap atau apa?" heran Kapten Wawan. "Dia cuman beruntung, atau memang pola pikirku mudah ditebak?" pikirnya. Ia menatap pakaian korban yang compang-camping. Semakin sulit lagi rasanya, membalas argumen itu. Pria ini juga mengenakan celana pendek, pikirnya. Ia menoleh. Mulai mengakui pemuda itu, tapi rasanya ada saja yang kurang, kalau belum menang adu argumen. "A..." Belum sempat mengutarakan pembelaan, Rain sudah menyambar, "mencari rumput juga tidak mungkin! Anggota di sini saja tidak menemukan arit!" "Apa tidak ada arit?" Kapten Wawan berbisik, menatap semua anggota, tapi mereka dengan kompak menggeleng. "Lantas apa yang sebenarnya terjadi?" pikirnya. ... Mobil jenazah akhirnya tiba. Petugas medis bergegas menurunkan tandu. Sambil membawa peralatan, ahli forensik membuntuti. Mereka tengah mengumpulkan barang bukti, saat dia tiba-tiba saja menyela. "Rambut apa itu?" Rain menunjuk-nunjuk jasad. "Rambut?" Petugas memeriksa rambut korban, tapi Rain kelihatan kecewa. Mereka saling tatap. Bingung melihatnya mendekat. Tiba-tiba, Rain membalik jenazah. Terlihat kaos korban sudah robek. Sekujur punggungnya dipenuhi luka koyak, serta noda hijau beraroma menyengat. "Lihat?!" Dia menunjuk punggung korban, di mana rambut-rambut kecil misterius bermunculan, beserta noda kehitaman. Petugas segera mengumpulkan daun-daun bambu yang entah bagaimana tersangkut di sana, serta mengambil sampel rambut misterius itu. Melihat mereka bekerja, seketika Rain tersadar. Matanya terbelalak, menatap daun bambu yang berserakan. Ia memperhatikan bukit, beserta pepohonan bambu di sekitaran. Oh, begitu caranya, pikirnya. Tiba-tiba, tubuhnya terasa berat. Gambaran yang ia lihat semakin kabur. Kepalanya mulai terisi dengan informasi tanpa henti, sampai akhirnya semuanya lenyap entah ke mana. Begitu sadar, dia tengah berdiri di depan bangunan besar bernomor 23. "Apa ini halusinasi?" Rain memperhatikan sekeliling, bingung bukan kepalang. Di hadapannya, berdiri seorang gadis kecil, mengenakan terusan putih. "Kamu sudah sadar?" tanya gadis itu. "Sadar? Jadi aku mimpi?" Rain memperhatikan gadis itu. Rambutnya pirang. Iris matanya merefleksikan warna coklat yang amat terang. Pupilnya yang mungil, seakan tidak mau berhenti bergerak. Meskipun berbicara dengan bahasa nusantara yang begitu lancar, wajahnya terlihat seperti orang barat. "Bagaimana kamu memecahkan kasus itu?" tanya Si Gadis. "Kok, kamu tahu isi mimpiku?" "Itu bukan mimpi, tapi masa depan!" "Oh, masa depan?" Rain yang semula kelihatan serius, tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. "Apanya yang lucu?!" tanya Si Gadis. "Cukup! Aku tidak punya waktu!" sergah Rain, "berhenti melakukan panggilan iseng!" imbuhnya. "Iseng katamu?" "Ya, sejujurnya itu sangat mengganggu!" "Itu adalah masa depan yang akan terjadi be-" "Sudahlah, berhenti mengada-ada!" putus Rain. "Lihat mataku! Aku yakin kamu melihat gerakan di situ!" Gadis itu mengejar, melotot menatapnya. Rain yang melihat kornea matanya bergerak secara tidak lazim seketika menggeleng. "Mataku bisa melihat masa depan, dan kamu punya kemampuan menerima gambaran itu," ujar Si Gadis. "Sudahlah, aku tahu fenomena ini namanya hipnotis," tuding Rain, "prinsipnya sama seperti permainan menyilang jari telunjuk yang kita lakukan saat kecil. Seseorang bertingkah seolah mengikatnya dari kejauhan, lalu saat dia bilang, " berat, kan?' Tiba-tiba saja itu terasa berat!" lanjutnya. "Hipnotis? Ah, lagi-lagi seperti ini!" gerutu Si Gadis. "Tunggu!" seru Rain. Pinggangnya tiba-tiba serasa bergetar. Melalui radio komunikasi, Kolonel Wahyu memanggilnya secara langsung. Ia menyuruhnya segera kembali ke markas. Tidak biasanya, pikir Rain. "Maaf, aku benar-benar harus pergi, sekarang!" pamitnya. "Aku akan meneleponmu sore nanti!" jawab Si Gadis. Ia melambaikan tangan. "Haruskah kutangkap saja dia?" Setelah dipikir-pikir, gadis itu rasanya kurang ajar. Bukannya kapok, dia malah terang-terangan ingin menelepon lagi. Namun, ia sudah terlanjur pergi, dan gadis itu pun, sudah lenyap entah kemana. ... Sesampainya di markas, Kolonel Wahyu sudah menunggu. Dia begitu murka, tapi Rain berhasil mengelabuhinya. "Anda sendiri yang meminta saya mengerjakan laporan, sekalian mencari beberapa petunjuk," kibulnya, "masak lupa?" lanjutnya. "Benarkah?" Kolonel Wahyu mengingat-ingat, merasa tak pernah memerintahkan itu. "Ah, jangan bilang kalau saya tidak seharusnya melakukan ini!" Rain balik marah-marah, dan Kolonel Wahyu masih mengingat-ingat. "Alah, tuh, kan?" keluh Rain, "sudah capek, dimarahi pula! Kerja, kok begini!" lanjutnya, makin menyalahkan. "Ya sudah, saya minta maaf!" ucap Kolonel Wahyu, "sekarang, kamu temui Wawan sana!" lanjutnya. "Wawan?" Rain mulai heran. Semua adegan itu benar-benar sangat mirip. "Eh, omong-omong, janji yang semalam..." "Janji?" Kolonel Wahyu yang ingat janji mentraktir pura-pura lupa. "Jujur saja, nih saya belum makan, karena jatah istirahat saya gunakan unt-" "Ya, ya, ya! Temui Letnan Wawan dulu, tagihannya kirim saja ke markas!" putus Kolonel Wahyu. "Bukan Kapten?" tanya Rain. "Benar, maksudku Kapten!" ralat Kolonel Wahyu, "tunggu sebentar kamu kenal Wawan?" imbuhnya. "Eh, itu, cuman pernah lihat." "Oh... ya sudah sana pergi!" "Siap, komandan!" Rain memberi hormat. Dalam hati, dia merasa begitu gembira, karena merasa memakan makanan enak itu dua kali. Namun, di saat yang sama takut. Selain tamparan Sang Atasan, semua hal kembali terulang. Mobil yang mogok, perjalanan yang menyebalkan, lalu puncaknya ketika mereka rupanya berhenti di sebuah pertigaan. Sekali lagi, dia dipertemukan dengan sosok mayat, yang ciri-cirinya sama persis dengan sebelumnya. Pria paruh baya berpakaian seadanya. Mengenakkan celana pendek, kaos biru lusuh, dengan luka bacok di kepala. Kondisinya pun, serupa dengan yang dia lihat sebelumnya. Darah masih mengalir yang menandakan kematian baru saja terjadi. Melihat bentuk luka dan bukti rumput yang ditemukan, semuanya jadi semakin terasa tidak masuk akal. Jangan bilang kalau...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD