File 4 : Kisah seekor Kera

2086 Words
Kapten Wawan mengacung ke arah pertigaan, dimana kerumunan warga berkumpul. "Itu TKP-nya!" serunya. Rain hanya menoleh, mabuk kendaraan. "Ah, kamu terlalu berlebihan!" ledek Kapten Wawan. "Berlebihan, kutilmu rontok!" celetuk Rain. Tidak lama berselang, seorang anggota bergegas menghampiri. Dia memberi salam hormat yang cuman dibalas anggukan kepala. "Bagaimana kondisinya?" Kapten Wawan. "Lapor, kami sudah mengambil dokumentasi dan mengumpulkan barang bukti!" jawab Si Prajurit. "Keamanan lokasi?" "Lapor, hanya ada sedikit masalah karena banyaknya warga, tapi jangan khawatir, Komandan TKP masih steril, setidaknya sejak kedatangan kami!" "Dimana tim forensik, aku ingin menyapa mereka?" "Lapor, setengah jam yang lalu kami sudah menghubunginya, tapi mengingat medan cukup sulit, mungkin akan butuh sedikit waktu lagi, komandan!" "Forensik?! Apa ada mayat disini?" pikir Rain. "Keluarga korban, apa kalian sudah meminta izin autopsi?" Kapten Wawan. "Lapor, kami sudah mendapatkan persetujuan mereka, komandan!" jawabnya, "izin, silahkan periksa dokumennya!" lanjutnya. Si Prajurit membungkuk, menyerahkan selembar dokumen pernyataan. Sementara Kapten Wawan memeriksa, Rain mulai berkeliling, mengamati jalan berbatu sepanjang lajur. Sekeliling dipenuhi rimbunnya pepohonan bambu. Rumput menjulang tinggi. Meskipun siang, lokasi masih saja terkesan gelap. Kuburan yang terletak di sebelah kiri TKP, semakin menambah citra menyeramkan tempat itu. Padahal, lokasi merupakan wilayah pedesaan yang biasanya menjunjung tinggi asas gotong royong. Hal itu membuatnya yakin, itu bukanlah jalur yang umum digunakan. "Berantakan sekali!" Rain mengamati daun bambu yang berserakan dimana-mana. "Bagus, kembali ke posisimu!" perintah Kapten Wawan. Rain menoleh, cengar-cengir melihat tingkah Kapten Wawan. Lagaknya memeriksa dokumen dan memberikannya kembali, sudah seperti seorang jenderal besar. "Siap!" Si Prajurit memberi hormat, kembali bergabung bersama barisannya. Peluh belum kering dari keningnya yang gelap. Suaranya pun, sedikit terengah. Tanpa perduli lelah raga dan jiwa yang mendera, dia kembali bertugas. "Ayo kita memerik-" Kapten Wawan celingukan, mencari wajah congkak menyebalkan itu. "Rain?! Lho, kemana bocah itu?" bingungnya. Rupanya pemuda itu sedang jongkok di TKP, mengamati sebujur mayat yang tergeletak di pinggir jalan. Tubuhnya dipenuhi bekas luka koyak. Beberapa bagian masih mengucurkan darah; menandakan mayat itu belum lama ditemukan. Hal itu semakin terbukti saat dia mencoba menggerakkan lengan mayat. "Masih belum kaku," gumamnya. Tiba-tiba selembar koran yang menutupi wajah korban, terbang tertiup angin. "Astaga!" Rain terjengkang, disusul jerit para warga. Suara itu membuat Kapten Wawan pergi mendatanginya. "Dasar berandal!" omelnya, "siapa yang memberimu izin merusak TKP?!" lanjutnya. "Merusak apa?!" Rain mendecak, menunjukkan kedua tangan yang sudah terbungkus kaus tangan. "Masalahnya..." Kapten Wawan terbelalak, mendapati luka bolong sebesar biji nangka yang masih mengucurkan darah, di kening korban. "Tutup saja lagi, tunggu sampai tim forensik datang!" serunya. "Memang apa bedanya, bukannya kita ditugaskan sebagai penyidik?" bantah Rain. Dia menggeleng. Menghalanginya menutup wajah korban. Sambil merapatkan gigi, pemuda itu memeriksa mayat, tak perduli kepala serasa berdenyut tiap kali menatap kening bolong itu. Tubuhnya merinding. Urat syaraf seakan tergaruk, melihat retakan dan warna putih yang tersembul. Terlihat pula pembuluh darah yang menjuntai di antara bekas luka. Di sisi kanan, remukan tulang tengkorak yang berlumur darah mencuat keluar, seperti daun jendela kamar di pagi hari. "Pasti keningnya dicongkel menggunakan arit," gumamnya. Seketika, Kapten Wawan menoleh. "Oh ya? Selain mekanik, apa kamu juga seorang dukun?" sinisnya, "baru saja datang sudah membuat ramalan! Memangnya kamu lulusan padepokan? Atau jangan-jangan murid Ki Gemblung Kecemplung?" imbuhnya, sarkas. Rain hanya mendecak, melirik amat sebal. "Hey! Jawab! Ajari aku ilmu santet, atau ajian semar merem!" kelakar Kapten Wawan. Mendengar ledekan bertubi-tubi, pemuda itu tidak tinggal diam. Sambil menunjuk mayat, matanya mendelik. "Congkel matamu dan masukkan ke dalam bekas luka itu, biar melek!" makinya. Ucapan yang bikin orang-orang cengar-cengir itu, membuat Kapten Wawan kaget. Dengan ketus, dia balas membentak, "apa kamu pikir, aku tidak tahu apa-apa?!" "Kalau tahu, terus yang hijau di dalam situ apa?!" tunjuk Rain. Sontak, Kapten Wawan menepis tangan pemuda itu. Sambil mendekati mayat, dia berkata, "jangan menunjuk mayat, pamali!" Rain menggeleng, memperhatikan caranya memeriksa mayat. "Tolong bantu saya!" pinta Kapten Wawan, "ambilkan kantong plastik dan kaus tangan!" imbuhnya, memerintah. "Siap, komandan!" jawab para anggota. Sambil melirik Rain, Kapten Wawan mengenakan sarung tangan. Berulang kali dia memeriksa bekas luka itu, memastikan sesuatu. Lalu tiba-tiba, dia mengambil sebatang lidi dan menusukkannya jauh ke dalam kening mayat. Tak pelak, adegan itu membuat semua orang merinding. Orang-orang berteriak melihatnya mencukil sebuah benda kecil kehijauan, melewati remukan tulang yang menyembul. "Siapkan plastik!" serunya. "Siap, komandan!" Seorang anggota membuka plastik bening, membantunya memasukkan bukti. "Apa ini?" Kapten Wawan yang memeriksa temuan itu kebingungan. Berkali-kali, dia membolak-balik benda hijau berlumuran darah yang sudah terbungkus plastik. "Sepertinya rumput, komandan, izin!" seru seorang anggota. "Rumput?" Kapten Wawan. "Jidat mayat itu juga tidak rata, pelaku pasti menggunakan arit untuk membacoknya," sahut Rain, "Benda yang biasa digu-" "Arit!" putus Sang Kapten. Wajahnya mulai serius. "Benda untuk memotong rumput, itu yang mau kamu katakan, bukan?" tebaknya, "tapi, bisa saja pelaku menggunakan pisau? Potongan kecil rumput ini bukan bukti otentik," imbuhnya. "Hanya? Siapa yang bilang hanya itu buktinya?" sewot Rain, "semua itu terlihat jelas di sana!" lanjutnya, kembali menunjuk ke arah mayat. "Sudah kubilang, jangan menunjuk mayat, pamali!" tegur Kapten Wawan. "Pamali kek, Padayat kek, saya tidak perduli!" celetuk Rain. "Anak ini..." "Apa ada sesuatu lagi di sana, komandan, izin?" kejut anggota tadi. "Biar kuperiksa!" Kapten Wawan turun tangan sekali lagi. Kali ini cukup lama memeriksa. Akan tetapi kepalanya terus saja menggeleng. "Tidak ada apa pun," ujarnya. "Ada!" sahut Rain. Kapten Wawan menoleh, lalu memeriksanya lagi. Merasa tak akan membuahkan hasil, ia pun, menyerah. Sambil senyum sinis, dia berkata, "kalau memang ada, berarti aku harus pergi ke dokter mata!" "Pergilah, apa perlu saya antar?!" sahut Rain, "semua orang, bahkan bisa melihat itu dengan sangat jelas!" lanjutnya, kesal. "Hey, kunyuk! Berhenti main-main!" omel Kapten Wawan. "Melihat luka itu, apakah anda tidak merasa janggal?" sergah Rain. Kapten Wawan menatap mayat pria malang itu. Kombinasi perasaan jijik, heran, bingung, hingga rasa tidak percaya menghambat kinerja otaknya memproses informasi. Yang ada di kepalanya hanyalah kata-kata balasan untuk kembali mematahkan argumentasi bawahan sok tahu ini. Bola mata coklatnya bergerak-gerak. Bibirnya berkerut. Keningnya berdesakan mencari jawaban. Amarah yang berkecamuk membutakan matanya akan kebenaran sejati. Sementara pemuda itu terus berfokus mengembangkan penyidikan, dia masih saja gusar sendiri. "Kamu bilang bekas luka?" Kapten Wawan mendesah, angkat tangan dari perburuan jawaban. "Apa menurut anda, pisau akan membuat tulang hancur seperti itu?" balik Rain, "maksud saya kenapa bentuknya seperti itu, melebar ke arah samping kanan?" imbuhnya. "Samping kanan? Wah, kamu bahkan merangkap menjadi seorang profesor sinting!" ujar Kapten Wawan, lagi-lagi sarkas, "teorimu itu mengada-ada dan tidak masuk akal!" imbuhnya. Rain mendecak. Melihat sebongkah potongan bambu, dengan cepat dia mengambilnya. Kapten Wawan yang mengira akan dipukul spontan mundur. Tidak ada yang mengira pemuda itu cuman meletakkannya lagi. Sekarang, pemuda itu malah celingukan mencari sesuatu, menambah rasa bingung. "Mau apa lagi dia?" pikir Kapten Wawan. Rasa kagetnya semakin menjadi-jadi, kala tiba-tiba saja ia merebut belati milik salah seorang anggota. Sambil mengacungkan belati itu, dia berjalan mendekat. "M-Mau apa kamu?" panik Kapten Wawan. "Tusuklah!" seru Rain. "Apa kamu sudah gila?" Kapten Wawan melotot, memandangi wajah datar Rain dan belati di tangannya. "Maksud saya, tusuk bambu itu!" gerutunya, menunjuk bambu tadi, "kenapa malah melihat saya? Memangnya acara debus?" lanjutnya, menyodorkan. Kapten Wawan mendesah, meraih belati itu dengan kesal. Penuh emosi, ia tusuk bambu itu. Belati yang menancap kuat membuatnya senyum puas, merasa membuktikan kekuatan. "Sekarang tarik lagi!" seru Rain. "Tadi tusuk, sekarang tarik!" gerutu, Kapten Wawan. Dia mencengkeram gagang belati, tapi itu menancap cukup dalam. Tak kehilangan akal, ia menahan bambu dengan tangan, dan menariknya kuat-kuat. Dengan mudahnya, belati pun, tercabut. Rain yang menyaksikan adegan itu terbelalak. Tiba-tiba saja, dia memakai kaus tangan lagi, dan pergi meneliti mayat. Kedua tangan mayat dia periksa, bahkan memegang langsung. "Ada apa?" tanya Kapten Wawan. Rain bukannya menjawab malah melepas lagi kaus tangannya. Lagi-lagi, pemuda itu mondar-mandir mencari sesuatu. Dia kembali lagi membawa sebilah arit yang dia pinjam dari seorang warga. Sambil membalik bambu sebelumnya, ia pun, menyodorkan arit tadi pada Kapten Wawan. "Bacoklah!" seru Rain. Kapten Wawan melongo, diam menatapnya. "Bambu itu! Kenapa melihatku terus?" omel Rain. "Kenapa kamu membawa benda tajam dan membuat salah paham begini?!" tandas Kapten Wawan, tak kalah sewot. "Nanti saya jelaskan!" tenang Rain. Kapten Wawan mendesah. Sambil meraih arit itu, berkata, "untung belum aku bacok betulan kamu!" Sambil menatap Rain, dia membacok bambu itu. Ia lalu bermaksud menariknya lagi, tapi tiba-tiba saja Rain menghentikannya. "Biarkan saja!" "Tadi tarik, sekarang biarkan saja? Dasar bocah gemblung!" gerutu Kapten Wawan. Rain mengambil alih. Kapten Wawan yang berpikir dia tidak mungkin kuat melongo. Ia merasa menancapkan arit cukup dalam, tapi dia mencongkel arit dan mengambilnya dengan mudah. Tanpa berkata apa-apa, pemuda itu membawa arit itu, pergi begitu saja. "Maksudnya apa coba?" Kapten Wawan menggeleng. Tiba-tiba, dia jadi merasa seperti badut. Yang dia pikir akan melakukan sesuatu, ternyata cuman mengembalikan arit tadi. "Kenapa aku mau saja disuruh-suruh begini?" pikirnya. "Apa aku bodoh?" gumamnya. "Kenapa, komandan?" sahut seorang anggota. "Tidak, tidak, bukan apa-apa!" sahut Kapten Wawan, gugup. Seusai mengembalikan arit, Rain memungut bambu tadi. "Bekas luka tegak lurus di kiri, lalu melebar ke kanan, dan bentuknya seperti setengah lingkaran." Rain menatap mayat. Sambil melemparkan bambu tadi ke pelukan Kapten Wawan, ia berkata lagi, "periksalah! Pelaku pasti mencongkel arit ke kanan, setelah membacok korban!" lanjutnya. "Bocah i..." Kapten Wawan mendesah. Sambil memegang bambu, dia berpikir betapa tidak sopan pemuda itu. "Masalahnya..." "Anda telah melakukan dua metode yang mungkin dilakukan pelaku, bandingkan sendiri mana yang lebih masuk akal!" putus Rain, menunjuk bambu yang sekarang ada di pelukannya. Kapten Wawan menatap bambu itu, membolak-balikannya beberapa kali. Keduanya sama-sama membentuk garis, tapi kerusakan yang ditimbulkan arit jelas lebih kentara. "Tetap saja, keduanya sama-sama lurus!" ujarnya. "Lihat baik-baik pojok bawahnya!" seru Rain. Di ujung kanan bawah bambu, dia menemukan bekas bacokan. Itu membuatnya mulai membayangkan apa yang sebenarnya terjadi pada korban. Jari-jarinya, bahkan ikut bergerak, karena terlalu menghayati. "Kalau menggunakan pisau, bekasnya tidak mungkin seperti itu!" ujar Rain, "pojok atas kanan akan remuk ketika pisau dicongkel ke kanan, sebaliknya pojok atas kiri yang remuk, kalau dicongkel ke kiri," imbuhnya. "Bagaimana kalau tidak dicongkel? Kebetulan saja posisi pisaunya sedemikian rupa sehingga..." "Kalau begitu, seharusnya ada bekas luka di wajah korban!" putus Rain. "Kenapa begitu?" tanya Kapten Wawan. "Ingat saat anda mencabut pisau yang macet tadi? Anda menahan bambu dulu, sebelum menarik pisau," ingat Rain, "seharusnya terdapat bekas luka di wajah korban yang disebabkan oleh pelaku, saat mencoba menariknya, lagipula kedua tangan korban pun, bersih," imbuhnya. "Maksudmu?" bingung Kapten Wawan. "Itu artinya, korban tewas seketika," jawab Rain. "Tunggu, tunggu, tunggu! Jangan melangkahi penjelasan!" omel Kapten Wawan, "jelaskan mulai dari awal!" lanjutnya. Rain mendesah. Menjelaskan sesuatu selalu menjadi hal yang tak suka dia lakukan. "Seperti halnya anda menahan bambu, pelaku butuh penahan untuk mencabut pisaunya bukan?" tanya Rain. "Kenapa perlu penahan? Kenapa tidak langsung cabut saja?" "Remukan tulang itu menandakan adanya suatu tindakan paksaan," jawab Rain, "kalau bisa dicabut, kenapa tulang di dahinya bisa hancur begitu?" imbuhnya. "Masuk akal," gumam Kapten Wawan, "sekarang jelaskan, kenapa kamu pikir korban mati seketika?" lanjutnya. "Merujuk kondisi TKP, posisi dan keadaan luka, sementara saya simpulkan pelaku menyerang dari depan," jelas Rain, "apa saya perlu menjelaskan ini?" imbuhnya. "Tidak perlu, lah! Memangnya bagaimana caranya membacok jidat sampai bolong, dari belakang?" "Kalau di TKP ad-" "Tidak ada! Dia harus jatuh dari ketinggian, dan benda yang mengakibatkan jidatnya seperti itu seharusnya sudah ditemukan dari tadi," putus Kapten Wawan, "ini adalah kasus pembunuhan kalau itu aku setuju!" imbuhnya. Kalau cuman hal mendasar begitu, aku juga tahu, pikirnya merasa diperlakukan seperti anak baru. "Bagus, anda sudah mengerti," angguk Rain, "yang paling aneh itu, kenapa korban tidak melawan?" imbuhnya. "Apa? Tunggu sebentar, kamu tahu darimana kalau korban tidak melawan?" bingung Kapten Wawan. "Tadi katanya tahu!" gerutu Rain. "Kenapa?!" "Saya sudah memeriksa tangan korban, dan itu bersih tanpa ada darah, rambut, atau bukti-bukti perlawanan semacamnya," jawab Rain, ketus. Kapten Wawan mendesut, memanggil seorang anggota. Prajurit itu segera memberi hormat, melihat Kapten Wawan mengedikkan kepala. Dia tahu, atasannya menyuruhnya memeriksa mayat. "Siapa dia, komandan, izin?" tanya Si Anggota, seusai memeriksa. "Anak baru!" ketus Kapten Wawan, "bagaimana hasilnya?" lanjutnya. "Siap, seperti yang dia katakan, tidak ada tanda perlawanan!" jawabnya, "izin, komandan! Kalau menggunakan pisau, kenapa mengincar kepala, orang jelas-jelas keras?" lanjutnya, berbisik. "Kamu benar," gumam Kapten Wawan, "kenapa tidak mengincar perut, atau organ tubuh lain?" Dia membayangkan saat menusuk bambu, dan tulang tengkorak jelas lebih keras. "Kita sudah mencoba menusuknya tadi!" ujar Rain. "Hah?! Siapa yang kamu tusuk?" kaget Kapten Wawan. "Bukan orang, bambu tadi maksudnya!" gerutu Rain. "Kalau benar ada yang bisa melakukannya, saya ingin melihat wajah orang itu," ujar Rain. "Ya, dia pasti sangat kuat," sahut Si Prajurit. Kapten Wawan melotot, berpikir bawahannya memihak Rain. "Kamu bawa belati tidak?!" sewotnya. "Izin, untuk apa, Komandan?" Si Prajurit. "Kamu ingin lihat orangnya, bukan? Sini aku pinjam sebentar!" Si Prajurit menggeleng, paham maksud atasannya. "Sini! Aku bikin bolong jidat kamu!" Kapten Wawan menengadahkan tangan, menggoda Si Prajurit. "T-Tidak, komandan maaf!" ucapnya. "Makanya diam!" omel Kapten Wawan. Ia menatap Rain tajam, tapi pemuda itu hanya diam. "Jadi, siapa pelakunya?" tanya Kapten Wawan. Rain senyum. Sambil menggaruk kepala, dia menjawab, "yang benar saja, ini adalah pembunuhan yang tidak masuk akal." "Tidak masuk akal bagaimana, kamu bilang pelakunya menggunakan arit?!" bingung Kapten Wawan. Rain mendecak, terlihat berpikir keras. "Seekor monyet yang masuk ke dalam sebuah sekolah, dan seorang anak. Pernah dengar cerita ini?" tanyanya. "Hah?!" Spontan Kapten Wawan menggeleng, tak mengerti korelasi antara kasus dan cerita yang kedengeran menggelikan itu. "Jadi anak ini, sebut saja Si A, ditemukan oleh seorang guru dalam keadaan luka lebam. Murid-murid bilang, mereka sedang di kelas, dan monyet itu baru saja keluar dari sana," dongeng Rain, "anak yang lain berkata monyet itu yang menyerang, tapi penyidik tidak percaya begitu saja, karena anak itu ternyata suka menganiaya murid lain," imbuhnya. "Terus apa hubungannya?" "Hubungannya? Entahlah, saya sendiri sedikit lupa, tapi menurut anda siapa pelaku sebenarnya?" tanya Rain. "Lah, mana saya tahu, mungkin anak tadi?" Kapten Wawan. "Alasannya?" "Dia sengaja berbohong?" "Berbohong?" Sambil menggeleng, Rain tertawa. "Apanya yang lucu?!" bentak Kapten Wawan. "Tidak ada, ini cuman psikotes ringan," sahut Rain, "hasilnya, anda adalah tipe orang yang memaksakan pendapat!" imbuhnya. Kapten Wawan hanya diam. Tak mau menerima, atau pun, menampik argumen itu. "Terus yang benar apa?" tanyanya. "Entahlah, yang pasti bukan monyet pelakunya!" jawab Rain. "Apa-apaan itu!" gerutu Kapten Wawan. "Kalau pelakunya monyet, harusnya luka cakar, bukan luka lebam!" jelas Rain. Jawaban itu sontak membuat orang-orang meringis. "Oh, saya jadi ingat hubungannya!" serunya lagi. "Apa itu?" tanya Kapten Wawan. "Keduanya memiliki perbedaan yaitu; kalau cerita saya, yang jelas pelakunya bukan monyet, sementara kalau kasus kita, yang jelas pelakunya menggunakan arit!" jelas Rain, "ada juga kesamaan di antara keduanya yaitu; pelakunya sama-sama bukan monyet, karena monyet tidak mungkin menggunakan arit. Dan itulah jawaban saya atas pertanyaanmu tadi, Komandan!" imbuhnya. Kapten Wawan terdiam. Itu adalah jawaban paling sarkas yang pernah dia terima. Dia benar-benar meremehkanku, pikirnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD