"Maaf?!" sahut Letnan Andi.
"Tidak, saya cuman menggumam sendiri." Rain.
"Bukankah anda mendapatkan nilai tertinggi dalam ujian tes IQ?"
"Kalau cuman itu alasannya, lantas bagaiamana dengan pengawas yang menilai saya?" sanggah Rain, "bukankah dia jauh lebih pintar, karena tahu semua jawabannya? Mengapa gelar jenius yang lazimnya diberikan pada seseorang yang sudah melakukan sesuatu untuk kebaikan dunia ini, malah diberikan pada saya yang jelas-jelas belum melakukan apa pun?" lanjutnya.
Letnan Andi diam lagi, berpikir pencapaian apa yang sudah dia lakukan. Dagunya terus ia pegangi. Kakinya terus bergerak, dahinya mulai menekuk. Seperti Rain yang sibuk memeriksa berkas, keduanya mulai sering menghela nafas.
........
Korban pertama tali penjerat merupakan seorang wanita paruh baya. Wanita itu tewas secara tragis dengan cara digantung, di jembatan. Terdapat bekas luka di sejumlah bagian tubuh, serta bekas jeratan di kedua tangan dan kaki. Ditemukan pula bekas luka trauma di kepala korban, sehingga diperkirakan ia dipukul hingga tidak sadarkan diri, sebelum ditangkap dan disiksa.
Setelah puas menyiksa, pelaku mencekik korban sampai mati, dan mayatnya digantung di jembatan. Tidak banyak saksi mata yang bisa ditemukan, sehingga para anggota berasumsi, pelaku beraksi di malam hari. Kemungkinan, ia melancarkan aksi antara jam 11 malam, hingga pukul 2 dini hari.
Korban kedua merupakan seorang pemuda bertato yang dikenal pembuat onar. Di lapas, dia merupakan pesuruh sipir penjara, dan sering keluar masuk penjara. Tak banyak yang tahu, apa yang sipir minta ia lakukan.
Perangai buruknya sempat membuatnya disangka korban primus, tapi mayatnya ditemukan menggantung, di tempat yang sama. Hal ini sekaligus mematahkan dugaan itu, karena korban primus kebanyakan mati tertembak. Apalagi, ditemukan sejumlah bekas siksaan yang sama, di tubuh korban.
Selang beberapa hari, ditemukan lagi dua orang anak yang tewas digantung, di tempat yang sama. Ditemukan luka tusuk di perut salah seorang anak, dan sejumlah luka lebam. Namun, tidak ditemukan tanda-tanda penyiksaan ekstrem, seperti dua kejadian sebelumnya.
Akibat serentetan kejadian mengerikan itu, lokasi TKP menjadi sangat mencekam, sampai-sampai tak banyak kendaraan berani lewat, khusunya di malam hari. Warga sekitar, bahkan selalu menerapkan ronda, tapi aksi pembunuhan serupa malah semakin menjadi-jadi.
...
Mana ada orang waras yang mau membunuh di lokasi yang sama, hingga belasan kali, kecuali jika pelaku merupakan psikopat?
Rain mempertanyakan pendapat Kapoldistrik.
"Namun jika bukan, lantas apa? Mengapa selalu lokasi itu, kenapa juga dia begitu ngotot?" pikirnya.
"Wanita korban pertama itu siapa?"
Ia bertanya pada ada Letnan Andi.
"Seorang penjual nasi di dekat penjara," jawabnya.
"Penjara!?"
Rain terlihat kaget.
Ia mencoba menghubungkan itu dengan pembunuhan kedua, tapi rasanya semua itu begitu acak. Apalagi, korban ketiga merupakan seorang anak-anak.
"Kenapa pelaku tega menghabisi anak-anak?"
Ia tak habis pikir.
"Mereka baru saja pulang dari sekolah, dan semua perhiasannya dirampas oleh pelaku," sahut Letnan Andi, tak kalah geram.
Sambil memeriksa lagi dokumen yang ada, ia bertanya lagi, "korban keempat?"
"Seorang tukang ojek yang mangkal dekat pasar."
Letnan Andi dengan sabar meladeni.
Pasar, penjara, anak-anak, lalu tukang ojek. Ini semua jelas tidak berhubungan, pikir Rain.
"Apa ini memang cuman pembunuhan acak, disertai perampasan harta benda?" gumamnya.
"Korban keempat adalah seorang pria tua pengangguran, yang suka mabuk-mabukan," sahut Letnan Andi.
Ia segera menunjuk berkas perihal informasi para korban, agar tidak ditanya terus-terusan.
Jelas ini pembunuhan acak, tapi mengapa pelaku begitu terobsesi menjerat leher?
Jika pelaku merupakan pelaku tunggal, apa alasannya?
Untuk apa dia melalukan itu?
Rain mengusap wajah. Ada yang janggal dengan kasus itu, tapi belasan kasus jelas bukanlah hal yang sederhana.
"Anda tadi bilang pemabuk?" tanyanya.
"Korban keempat maksudmu?" Letnan Andi.
"Jangan-jangan..."
Tiba-tiba, Rain membolak-balik semua berkas. Sambil menyeringai, dia menunjuk-nunjuk beberapa poin.
"Ini namanya menyembunyikan sampah, di balik tumpukan sampah," gumam Rain.
Ia menunjuk-nunjuk berkas korban kelima. Dia adalah seorang sipir.
"Kenapa dengan itu?"
Letnan Andi mengernyitkan dahi, berasumsi pemuda itu menemukan sebuah petunjuk. Ia pun, merebut berkas, tapi pencerahan yang diharapkan tak kunjung memancar jua. Pemuda itu pun, cuman manggut-manggut tak jelas maksud.
"Hey!"
Ia menepuk pundak Rain.
"Ada apa?"
Rain menoleh.
"Apa yang kamu temukan?"
"Sebuah fakta menarik."
"Bagaimana mungkin membunuh itu menarik? Apa kalian petugas Distrik 17 semuanya tidak waras?"
"Kenapa marah begitu?"
"Atasan saya mati di tangan orang gila ini!" bentak Letnan Andi.
"Bukankah itu risiko kita?" jawab Rain, santai.
"Risiko, bagaimana kalau yang terbunuh itu orang tuamu?" tanyanya, "masihkah itu menarik bagimu?" imbuhnya.
"Oh, jadi begitu, maaf saya tidak peka," ucap Rain.
Letnan Andi diam, tiba-tiba merasa takut padanya.
"Tolong jelaskan pada saya!" pintanya.
Rain mendesah, memperlihatkan berkas-berkas penting, sebelum memulai penjelasan.
Sambil menunjuk salah satu berkas, ia bertanya, "siapa itu korban pertama?"
"Seorang wanita penjaga kedai makan."
Letnan Andi mengingat-ingat sebentar.
"Lalu korban kedua?" Rain.
"Pemuda pembuat onar!"
"Kemudian yang ketiga?"
"Kalau tidak salah, seorang anak-anak."
"Selanjutnya?"
Letnan Andi memeriksa sebentar lalu menjawab, "seorang pria tua pemabuk."
"Itu adalah poin pertama!" seru Rain.
"Hah!?"
Letnan Andi mengernyitkan dahi, fokus mempelajari berkas korban keempat. Sementara itu, Rain memukul-mukul telapak tangan kirinya, seraya mondar-mandir. Dahinya sedikit terlipat, memikirkan sesuatu.
"Dari mana saya harus mulai?" gumamnya, "bagaimana kalau kita langsung pergi saja?" ajaknya, tiba-tiba.
"Pergi?" tanya Letnan Andi, "pergi kemana?" lanjutnya, merespon anggukan Rain.
"Mencari petunjuk lain," jawabnya.
"Tidak ada petunjuk yang lebih lengkap, selain di sini!" Letnan Andi.
"Mungkin benar, tapi di sini kita tidak bisa bertemu dengan saksi."
"Berkas-berkas saksi juga ada di sini!"
"Tidak untuk kasus ini!"
Rain menunjuk sebuah kliping koran lama, bertajuk 'Skandal Haram dari Dalam Sel.'
"Bukankah ini kasus lama?" tanya Letnan Andi.
"Benar, sebuah hal yang baru pasti berawal dari sesuatu yang lama," ujar Rain.
"Maksudnya?" Letnan Andi.
"Penjual makanan, pemuda anarkis, pemabuk, tukang ojek, dan sipir. Sekilas para korban nampak tak berhubungan, tapi sebenarnya ada satu hal yang menghubungkan mereka."
"Kematian korban dengan cara dijerat?"
"Itu jelas, tapi ada benang tak terlihat yang harus kita tarik agar menjadi jelas."
"Apa itu?" tanya Letnan Andi.
"Mabuk!" jawab Rain.
"Mabuk?"
Letnan Andi gagal paham.
"Pola pikir kita selalu tertuju pada miras bila membicarakan mabuk, tapi sebenarnya ada cara lain yang lebih biadab," jelas Rain.
"n*****a maksudmu?" terka Letnan Andi.
"Ya!" angguk Rain, "jika kita telisik lagi, korban pertama merupakan penjaga kedai dekat penjara, yang pastinya berhubungan dengan tahanan. Korban kedua adalah mantan napi yang sering bolak-balik penjara, terlebih dia juga pesuruh sipir. Kita perlu tahu, apa yang sebenarnya dia lakukan, dan apa yang sebenarnya mereka perintahkan," lanjutnya, menjelaskan.
"Tunggu sebentar!"
Letnan Andi berkeringat dingin. Berdasarkan pola pikir Rain, arah pembicaraan mulai mengarah pada sesuatu yang begitu mengerikan. Tangannya gemetaran, memegang surat kabar lama yang dia tunjuk.
"Penjara Distrik 16 dulunya mengedarkan n*****a dari dalam sel!" ingat Rain, "dugaanku, penjual nasi dekat sel itu kemungkinan terlibat menyelundupkannya bersama pemuda pembuat onar. Tukang ojek yang mati mengenaskan itu mungkin pengguna, dan sipir itu adalah orang dalam," lanjutnya.
"Maksudmu, ini semua ada hubungannya dengan kejahatan masa lalu?" tanya Letnan Andi.
"Semua yang terjadi sekarang, pasti berawal dari masa lalu, dan kasus itu seperti sebuah sarang laba-laba," ujar Rain, "semakin besar, semakin banyak binatang yang terperangkap, semakin melawan, jaring semakin terguncang, dan semakin berguncang, semakin terusiklah Si Laba-laba. Kalau jaringnya saja sebesar ini, bayangkan seberapa menyeramkannya laba-laba yang akan keluar," lanjutnya, menganalogikan.
"Jangan bilang kalau..."
"Fakta bila kasus ini masih belum tuntas berarti, kartel biadab ini mungkin masih beroperasi sampai hari ini," putus Rain.
Letnan Andi mandi keringat dingin. Ia mulai paham, mengapa kasus ini begitu berlarut-larut. Aroma konspirasi itu mulai tercium jelas, tapi dirinya merasa tidak siap.
"Bagaimana kalau ada orang yang ku kenal, terlibat dalam kegilaan ini?" pikirnya.
Rain menepuk bahunya, tahu pikirannya pasti sedang campur aduk.
"Jangan bilang kalau kamu tahu pelakunya!" gugup Letnan Andi.
"Alasan kenapa mereka terbunuh, pun masih belum jelas."
Rain menggeleng.
"Belum lagi, barang berharga mereka pun, hilang," ujarnya lagi.
"Itu benar."
Letnan Andi menarik napas.
Ia sadar, ini bukan saatnya dilema.
"Apa langkah yang akan kamu ambil?" tanyanya.
"Pertama, mendatangi penjara distrik 16, di mana para kurir dan pengedar ditahan," jawab Rain.
"Apa yang mau kamu lakukan, setelah bertemu mereka?" tanya Letnan Andi.
"Memastikan, benarkah tindakan haram ini masih terjadi," jawab Rain.
Sejenak Letnan Andi berpikir.
"Baiklah, mari pergi ke sel!"
"Anda yakin?" pasti Rain.
"Yang terpenting sekarang ialah; memastikan kebenarannya," jawabnya.
"Saya sudah mengingatkan kemungkinan terburuk!" ingat Rain, "jangan pernah berpikiran naif, seperti mereka tidak mungkin terlibat!" imbuhnya.
Letnan Andi sejenak diam. Hal itu adalah sesuatu yang terus membebani pikirannya, tapi ia mengekang segala rasa takut.
Sambil mengangguk, ia berkata, "aku yakin, itu hanyalah masa lalu."
Mereka pun, pergi menuju rumah tahanan Distrik 16.
Jaring laba-laba pun, mulai bergetar. Seekor laba-laba besar mengintai kepergian mereka dari balik halaman markas Distrik 16. Seorang prajurit tampak menyalakan radio komunikasi, begitu dua orang itu pergi.
...