...
Tubuh korban ditemukan di hulu sungai dengan bau yang sudah menyengat. Evakuasi mayat sendiri sedikit terkendala, akibat debit air sungai yang kebetulan agak tinggi, mengingat cuaca hujan di sebagian distrik 17 belum reda.
Setelah menduga kematian terjadi beberapa hari belakangan, kami menyisir ulang berbagai tempat, mengingat tambang kehijauan yang kami yakini; pelaku gunakan untuk menghabisi nyawa korban, juga ditemukan di tubuh korban.
Akhirnya, kami menemukan jejak-jejak pembunuhan di sebuah jembatan, dekat area perbatasan. Hasil olah TKP tim forensik pun, kurang lebih sama. Korban meninggal lebih dari 48 jam. Tambang yang kami temukan pun, diketahui cocok dengan bekas luka di leher korban.
...
"Penemuan ini, sedang dalam pengembangan lagi, laporan selesai!" pungkas Si Prajurit.
"Yang lainnya, masak tidak ada?" ragu Rain.
Ia memperhatikan sekeliling, yakin masih ada hal yang mereka sembunyikan. Terlebih, begitu banyak bukti yang ditemukan. Sampai akhirnya, Letnan Andi datang menghampiri.
Petugas tampak berbisik sesuatu, sampai Letnan Andi berkata, "katakan saja! Itu bukan masalah yang perlu ditutup-tutupi, lagipula dia anggota Distrik 17."
"Siap, semua barang korban lenyap, dan bukti lain berupa rontokan beton jembatan di ujung perbatasan, kami temukan bersama sisa goresan tambang yang sama dengan, yang kami temukan!"
Si Prajurit meneruskan laporan pada Rain.
"Jadi TKP aslinya ada di situ?" tanya Rain.
"Siap, betul, komandan!"
"Dugaan awalnya?"
"Izin, untuk sementara, kami menduga dia merupakan korban perampokan disertai kekerasan yang berujung kematian, karena barang berharga korban juga ditemukan hilang."
"Bagaimana dengan orang terdekat korban?"
"Jadi kamu mau bilang, ada dugaan pembunuhan?" sela Letnan Andi.
"Tidak juga, saya hanya mencoba memastikan alibi mereka," jawab Rain.
"Suami korban tengah bekerja, dan beberapa orang menyaksikan itu," Letnan Andi mengambil alih penjelasan, " korban tidak memiliki anak, sehingga hanya ada dua orang tuanya yang sudah jompo. Lalu, kamu mau menuduh dua orang jompo itu menghabisi nyawa korban, dengan sengaja?" lanjutnya.
"Kerabat lain?" Rain.
"Tidak ada! Setidaknya yang berada cukup dekat dengan TKP, terlebih tempat itu memang rawan perampokan dengan modus mencekik leher korban," tandas Letnan Andi.
"Tali Penjerat!" tandas petugas sebelumnya.
"Tali penjerat?" heran Rain.
"Anda tidak tahu kasus itu, izin?"
Si Petugas balik bertanya.
"Ada banyak kasus kematian di divisiku, kenapa harus tahu kasus kalian?"
Rain beralasan.
"Dia adalah pelaku perampokan yang telah melakukan dua belas kali kejahatan serupa, dimana enam diantaranya berujung kematian," sahut Letnan Andi, "korban bukan hanya warga Distrik 16, dan lokasi berada di dekat perbatasan. Itu artinya, ini bukan hanya masalah Distrik 16," imbuhnya.
Oh, pantas mereka memanggilku, pikir Rain.
Sambil menatap salah satu foto yang memperlihatkan tangan kanan korban, dia menggumam, "entah mengapa, aku merasa ada yang tidak beres."
"Tidak beres?" Letnan Andi.
"Aku ingin mempelajari data tali penjerat!"
Rain menoleh, menatap ke arahnya.
Mereka berdua saling pandang sampai akhirnya, Letnan Andi mendesah. Meskipun tidak yakin dan meremehkan Rain, dia pun, mengajaknya masuk ke mobil. Mereka pergi ke markas Distrik 16, dan mengunjungi ruang arsip.
"Jangan sentuh apa pun, selain yang kutunjukkan!" seru Letnan Andi.
"Baiklah."
Rain yang sedang berdiri di sebuah rak, jalan mengekor. Letnan Andi mengambil beberapa dokumen. Mulai dari kliping koran, surat kabar lama, hingga berkas-berkas resmi. Kelihatan jelas pria itu hafal betul soal pengarsipan kasus, khususnya kasus tali penjerat.
"Kalau kurang, panggil saja!" seru Letnan Andi, "aku akan membaca yang lain, mungkin saja ada sesuatu yang kulewatkan," imbuhnya.
"Tentu," angguk Rain.
Pemuda berambut acak-acakan itu pun, mulai sibuk sendiri.
...
Rupanya, jembatan yang menghubungkan distrik 16 dan 17 terus memanas, sejak satu dekade terakhir. Hal ini diakibatkan oleh ulah pria misterius, yang terus melakukan pembunuhan berantai, hampir dua dekade lamanya. Yang membuat semua orang geram, pelaku membantai korban dengan cara yang sama, senjata yang sama, bahkan tempat yang sama. Walaupun demikian, dia begitu teliti dalam menjalankan aksinya, sehingga keberadaannya jadi sulit terendus.
Selotip tanpa jejak berarti selain sidik jari korban. Rontokan tambang yang bisa dibeli di toko bangunan mana pun, serta bekas reruntuhan jembatan yang hanya menunjukkan lokasi pembunuhan. Belum lagi, korban-korban tewas dengan cara digantung, sehingga tidak ada jejak darah yang bisa ditelusuri.
"Apakah benar kejahatan ini dilakukan oleh pelaku tunggal, atau sebenarnya semua itu dilakukan suatu oknum?" gumam Rain.
"Sebenarnya tidak ada yang tahu pasti kebenarannya," sahut Letnan Andi, "hanya saja, pimpinan Distrik 16 yang sebelumnya menjabat, sangat meyakini perbuatan ini dilakukan oleh seorang pelaku tunggal," lanjutnya.
"Di mana dia sekarang?" tanya Rain lagi.
"Kenapa kamu ingin tahu?" Letnan Andi.
"Atas dasar apa dia menyimpulkan itu semua?"
"Aku juga ingin tahu, tapi sayangnya beliau ditemukan tewas dengan luka tembak di kepala, di dekat lokasi yang biasa digunakan Si Tali Penjerat," jawab Letnan Andi, "orang-orang yakin, kematian almarhum disebabkan oleh Si Tali Penjerat," imbuhnya.
Rain memutar otak. Ia yakin, pasti ada dasar kuat di balik kesimpulan itu.
"Bisa tolong ambilkan data dan foto korban Tali penjerat?!" pinta Rain.
"Tentu!" angguk Letnan Andi.
Ia segera bangkit, tapi sebelum sempat mengambil terdengar derap suara langkah kaki.
"Aku akan memeriksa sebentar!"
Letnan Andi pun, pergi memeriksa. Baru saja ke luar ruangan, keributan besar langsung terjadi.
"Kenapa kamu mengizinkan orang lain mempelajari kasus?!"
"Orang lain apa, ini jelas-jelas ada hubungannya dengan mereka!"
"Apa kamu sudah lupa pada sumpah pemimpin kita?!"
"Kamu juga sudah lupa, ya kalau orang itu sekarang sudah mati?"
"Bagaimana dengan ja-"
"Tidak ada yang percaya omongan orang tua itu! Tidak ada! Dia saja sekarang sudah mati!"
"Tapi..."
"Cukup! Seperti halnya kamu, aku juga ingat, betapa pria yang sangat doyan nasi rawon itu percaya pada keyakinannya, tapi di dunia ini hanya hasil-lah yang mereka perdulikan."
"Bagaimana dengan janji untuk mengungkap semua ini dengan tangan kita sendiri?"
"Janji itu sudah mati bersama orang tua itu!"
"Andi, kamu sudah kelewatan!"
"Aku tahu, tapi bagaimana pun, juga aku ingin membuktikan ucapannya."
"Tapi bukan begini caranya!"
"Cukup! Kalau sama-sama tidak bisa buktikan apapun, setidaknya biarkan orang lain melakukannya!"
"Di sini, akulah atasanmu!"
"Kalau begitu, pecat saja aku setelah ini!"
Tiba-tiba Letnan Andi masuk ke dalam lagi, dan mengunci pintu keluar. Hal itu membuat seseorang menggedor-gedor pintu, tapi ia mengacuhkannya. Beberapa saat kemudian, orang itu pun, menyerah.
Rain menggeleng, tak mau ikut terlibat dengan urusan mereka. Bahkan ketika dia mendekat pun, pemuda itu tidak bertanya sama sekali. Ia hanya memperhatikan tubuh jangkung itu terhuyun-huyun, pergi ke pojok ruangan.
Di sebuah kursi rotan tua, Letnan Andi duduk menyendiri. Wajahnya tertekuk, kesal pada segala hal.
Sadar diperhatikan, dia pun, melempar senyum, dan berkata, "maaf, yang barusan!"
"Ada yang kurang menyukai saya lagi, ya?" gumam Rain.
"Lagi?" Letnan Andi.
"Anda juga membenci saya, kan?"
"Tidak, kok!"
"Saya sudah terbiasa dibenci, tidak ada bedanya jujur atau pun, tidak orang itu!"
"Kenapa kamu pikir aku benci padamu?"
"Saya hanya membaca raut wajah anda."
"Mungkin aku memang tidak menyukai tingkah lakumu, tapi kurasa itu bukan berarti benci."
"Sejak kapan tidak suka, dengan benci itu berbeda?"
"Dari awal, kamu memang melakukan hal yang negatif, ingat?"
"Istirahat, membuka jendela, apanya yang negatif dari kedua hal itu?"
"Istirahat tidak berarti boleh tidur, dan angin dari jendelamu sedikit mengganggu, aku kesal bukannya tanpa alasan!"
"Namanya waktu istirahat, ya terserah mau digunakan untuk apa. Mungkin, anda punya pemikiran yang lebih baik, tapi baik bagi anda tidak selalu baik bagi orang lain, dan cara anda menegur saya itu menunjukkan kalau anda memang tidak menyukai saya," ujar Rain, "sejujurnya, saya juga tidak perduli. Menyukai sesuatu adalah perspektif masing-masing, demikian pula membenci. Sekali orang berpikir negatif, pikiran itu tak akan bisa lenyap," lanjutnya.
"Kamu tidak pernah berpikir mereka bisa berubah pikiran?" tanya Letnan Andi.
"Mungkin, tapi itu berarti saya harus membuktikan sesuatu," jawab Rain.
"Mengapa kamu berpikiran sempit begitu?" protesnya.
"Orang-orang lebih suka melihat kejelekan kita, itu sudah sifat alami mereka," jawab Rain, "mereka menganggap saya pemalas, dan melupakan kerja keras saya. Mereka tidak pernah memuji saya ketika saya lembur, tapi mereka selalu menjadi yang terdepan mengkritik saya, saat saya tidur-tiduran," imbuhnya.
"Bukankah itu artinya, sebenarnya kamu mengharapkan pengakuan?" tanya Letnan Andi.
"Kedengeran seperti itu ya?" gumam Rain, "anda kebetulan melihat saya hari ini, sedang malas-malasan, bukan? Lantas bagaimana pendapat Anda tentang saya?" lanjutnya, bertanya.
"Jujur, aku juga berpikir kamu pemalas, tidak bertanggungjawab, juga kekanak-kanakan!" aku Letnan Andi.
"Tahukah anda, kemarin saya lembur?" tanya Rain, "saya juga menyelesaikan sebuah kasus pembunuhan kemarinnya lagi. Belum telepon iseng, mengurus berkas, dan sebagainya. Bukan maksud saya melakukan pembelaan atau menginginkan pengakuan, toh saya memang bermalas-malasan hari ini, tapi bukankah ada baiknya anda mencari tahu dulu sifat orang itu, sebelum memberikan penilaian?" imbuhnya.
"Entahlah, siapa tahu kamu berbohong?" ujar Letnan Andi.
"Lihat? Itulah kenapa saya tidak suka pembuktian diri!" kata Rain, "kita tidak bisa terus menjadi baik di hadapan orang. Pasti ada kalanya kita melakukan keburukan, dan saat orang baik melakukan keburukan, dia mungkin akan dianggap lebih buruk dari pada sampah," imbuhnya.
Letnan Andi diam, akhirnya paham berat pembicaraan mereka. Seperti seorang pembohong yang sulit dipercaya, pembuktian diri pun, demikan. Ia bahkan mulai bimbang pada perasaannya sendiri.
"Haruskah aku mengungkap kematian atasanku, mewujudkan ambisinya, atau malah membalaskan kematiannya!" gumamnya.
Rain mendehem. Sambil mengernyitkan dahi ia menoleh. Penggalangan kalimat terakhir yang dia ucapkan kedengarannya menakutkan.
"Maaf, maaf! Ini memang bukanlah kata-kata yang pantas diucap anggota, tapi saya benar-benar memikirkan itu," kata Letnan Andi.
"Haruskah saya berpikir anda orang baik?" tanya Rain, sarkas.
"Entahlah, saya mungkin bukanlah manusia baik," jawabnya, "saya dengar, anda adalah anggota jenius dari distrik metro. Tadinya saya cukup berharap sebelum..."
"Kecewa?" putus Rain.
"Begitulah! Maaf kalau saya tidak sopan." Letnan Andi.
"Tak apa, jujur memang yang terbaik," ujar Rain, "ketika anda tidak siap kecewa, jangan pernah berharap apa pun!" lanjutnya.
Letnan Andi tak mampu berkata-kata. Ia mulai mempertanyakan, dengan siapa sebenarnya dia bicara. Mengapa dia bicara begitu dewasa, sementara perangai dan tingkahnya masih seperti bocah.
"Saya akan mengambil berkasnya!" ucapnya.
Beberapa saat kemudian, ia pun membawakan berkas yang di minta. Foto-foto dan data dari belasan korban mulai mereka periksa.
"Sebenarnya, argumen tentang saya jenius itu dari mana asalnya?" gumam Rain.