File 9 : Mayat di Tepi Sungai

1662 Words
“Sesosok mayat wanita tanpa busana ditemukan di tepi sungai dekat jemba-“ “Tunggu!“ potong Rain. “Kenapa?“ tanya Kolonel Wahyu. “Saya baru saja makan bakso urat, sayang kalau tiba-tiba ngomongin mayat, nanti malah keluar lagi.“ Rain. “Makanya, aku tadi bilang lebih baik setelah kamu makan.“ Pantas tidak mau titip, walaupun sudah ditawari. Padahal, biasanya semangat, pikir Rain. “Gawat, sepertinya saya mulai mual,” aku Rain. “Baiklah, istirahat dulu 15 menit sana!” seru Kolonel Wahyu, “Letnan Andi akan menemanimu menuju TKP sebentar lagi,“ imbuhnya. “Siapa, tuh Letnan Andi?” pikir Rain. Ia menatap sepatu dinas Kolonel Wahyu yang sedikit basah, dan teringat lokasi mayat ditemukan. “Kalau begitu, saya izin sebentar, komandan!” ucap Rain. “Ingat, istirahatmu cuman 15 menit!” seru Kolonel Wahyu. “Siap!” jawab Rain. Di kursi tunggu depan markas yang panjang, Rain tidur-tiduran. Lagi-lagi, ramalan gadis misterius itu kembali terjadi. Namun, pemuda itu masih saja leha-leha, bagaikan turis mancanegara yang sedang berjemur menikmati pantai. Apalagi, semilir angin sepoi-sepoi kala itu memang terasa seperti di Pulau Dewata. Tapu sayangnya ia terbangun beberapa saat kemudian. Waktu santainya terganggu suara deru kendaraan. Dari kejauhan, terlihat kepulan asap. Seorang pria berseragam lengkap, turun dari mobil patroli dengan kaki panjangnya. Sambil membenarkan kerah bajunya yang terlipat, dia berjalan mendekat. "Maaf, bisa carikan letnan Rain?" Pria usia kepala tiga itu melambai-lambaikan tangan, tak tahu orang itu ada di hadapannya. Terlihat kumis tipisnya bergerak konstan. Jakunnya yang menonjol naik turun. Sesekali, pria jangkung bertubuh kurus itu memandang jam tangan berwarna hitam, yang melingkar agak kebesaran di lengannya. Entah mengapa, ia kelihatan begitu gelisah. Setengah malas, Rain bangkit dari kursi. Kantuk masih belum reda. Mulutnya pun, sesekali menganga. Sambil mengorek telinga, ia berjalan mendekat begitu gontainya. "Siapa yang mendidikmu?!" Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba saja pria itu membentak. "Hah?" Rain melongo. Hendak memperkenalkan diri, tahu-tahu dimaki-maki. Ditambah lagi, kantuk juga belum sepenuhnya pergi. Suntuk yang dirasa pun, semakin menjadi-jadi. Ia paksa sepasang matanya bekerja meskipun terasa berat. Kelopak matanya turun naik, bola matanya mulai mengedar. Tak perduli wajahnya kelihatan seperti seekor ikan yang sedang menggelepar, ia terus memperhatikan. Garis di bahunya, beberapa lencana penghargaan, hingga logo burung merpati di seragam yang dia kenakan. Seketika, ia teringat gambar pohon beringin yang ada di depan markas. Gambar itu juga serupa, dengan yang terpasang di seragam para anggota. Oh, pantas, rupanya bukan anggota Distrik 17, pikirnya. Rambutnya klimis, memakai sabuk kulit necis. Parfumnya pun, wangi seperti buatan dari Paris. Pokoknya rapi seperti selebritis. Saking rapinya, pakaian yang dia kenakan pun, tegak seperti penggaris. Ujung bahunya berdiri, seperti ditarik benang. Celananya pun, demikian. Kaku seperti papan kayu. Terlihat jelas kalau pemiliknya sangat rajin menyetrika, sampai-sampai tercipta garis di tiap ujun pakaiannya. Anehnya, sepatu dinasnya kelihatan berlumpur, kontras jika dibandingkan dengan penampilannya yang sudah seperti mau kondangan. "Oh..." Tiba-tiba, mata setengah terpejam bak ikan sekarat itu pun, terbuka, mendapati bentuk garis di bahunya. Sekarang dia tahu, siapa gerangan sosok ini. "Kenapa?" tegur pria tadi. "Itu, biasalah, kalau habis tidur, telinga suka gatal, komandan!" jawab Rain, enteng. Ia malah terang-terangan menggaruk-garuk telinga lagi. Alhasil, semakin geram-lah Si Pria Jangkung. Ibarat sudah tahu ada api menyala, disiram minyak tanah sekalian. "Apa semua petugas distrik 17 seperti ini?!" omelnya. "Sepertinya, hanya saya yang seperti ini, komandan!" jawabnya, sepele. Nada suaranya, bahkan kedengaran begitu tidak enak. Pria yang semakin geram itu pun, hendak menampar. Namun, dia akhirnya menyadari garis yang ada di bahu pemuda itu. Semula, garis itu tidak kelihatan, karena posisi Rain. Terlebih, seragamnya juga sudah begitu usang. "K-Kamu seorang Letnan?" Ia menarik seragam Rain, beberapa kali membandingkan garis yang begitu identik dengan miliknya itu. "Jangan bilang..." "Anda bilang, mencari Letnan Rain, bukan?" putus Rain. Sambil menyentil tanda pengenal di dekat saku bajunya, dengan tengil dia berkata, "saya adalah orang itu." Seketika, pria itu terdiam. Nama, 'Rain' memang terlihat ada di sana. "Astaga! Apa yang markas pikirkan dengan mempromosikan pemuda semalas kucing ini?" pikirnya. Rambut lurus Si Pria Jangkung, bergerak-gerak diterpa angin sepoi siang itu. Rain kembali menguap, duduk lagi di atas kursi panjang. Ia memicingkan bibir, membaca gestur pria tadi. Toh, dia sepertinya juga tidak menyukaiku, pikirnya. Sambil mendecak, ia bertanya, "kenapa mencari saya?" Pria tadi pun, tersadar dari lamunan. "Mengapa duduk lagi? Mari ikut saya ke TKP!" ajaknya. Sambil memeriksa jam, ia menyeret tangan Rain. "Baiklah, baiklah, tapi lepaskan dulu tangan saya!" Rain. "Tentu!" "Jadi, anda Letnan Andi?" "Benar." Pria tadi mengangguk, membuat Rain geleng-geleng kepala. "Atasan saya memang memberi tahu soal kedatangan anda, tapi saya tidak tahu situasinya," keluh Rain. "Tidak ada waktu lagi, nanti saja saya jelaskan!" Lagi-lagi Letnan Andi melihat jam tangannya. Dari kebiasaan itu, bisa disimpulkan dia tipikal orang yang sangat disiplin soal waktu. Rain mendecak. Sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku, pemuda itu pun, mengikutinya. Masuk ke dalam mobil patroli. ... Di mobil, ia membuka jendela dan menyandarkan tangan ke bibir jendela. Seperti biasa, ia memperhatikan sekeliling menikmati pemandangan sekitar. Sampai tiba-tiba, mobil yang sedang melaju di jalanan lengang mulai tak terkendali. "Maaf bisa ditutup saja pintunya?" tegur, Letnan Andi. "Bukankah jendelamu juga terbuka?" Rain yang melihat jendela seberang, merasa mendapat diskriminasi. "Biarkan satu jendela saja yang terbuka." Letnan Andi beralasan. Rain memutar tuas penutup jendela kuat-kuat. Tampangnya kelihatan sebal. "Awas kamu!" batinnya, seraya mencopot sepatu. Selang beberapa saat, pemuda itu menaikkan kedua kaki ke atas kursi. Dia duduk menyilang, persis seperti dukun asmara yang sedang membaca mantra. Apalagi dia juga menggumam sendiri. Awalnya, Letnan Andi tidak menanggapi, dan hanya menganggapnya kekanak-kanakan. Sampai aroma tidak sedap tiba-tiba terendus hidungnya. "Bau apa ini?" Letnan Andi mendekatkan pengharum mobil, tapi baunya malah campur aduk, dan semakin memperburuk aroma ruangan. Seisi mobil ia pelototi sampai akhirnya, dia melihat sepasang kaos kaki hitam yang melekat di kaki Rain. Mobil semakin ugal-ugalan. Pemuda itu pun, terombang-ambing, terhempas ke kiri dan ke kanan. Namun, ekspresi wajahnya malah kelihatan senang. Seketika, Letnan Andi menginjak pedal rem. Teror itu rupanya berasal dari kaos kakinya yang sudah seminggu lebih tidak dicuci. "Kenapa berhenti?" Rain berkura-kura dalam perahu. Letnan Andi akhirnya sadar, ia keliru. Pemuda itu bukan cuman kekanak-kanakan, melainkan juga kurang ajar. "Jendelanya bisa dibuka, tidak?!" serunya. "Bukannya, memang sudah terbuka?" Rain melirik jendela Letnan Andi. "Maksudnya milikmu!" Letnan Andi. "Lho, tadi suruh tutup, kenapa sekarang suruh buka?" tanyanya, seraya memutar tuas, "kenapa dengan hidup anda?" imbuhnya, seraya meringis geli. "Pemuda ini!" Letnan Andi sontak menoleh. Ingin rasanya memukul wajahnya yang tengil, tapi apalah daya. Pangkat pemuda itu juga Letnan. Bahkan ironisnya, sedikit lebih tinggi dari jabatannya. "Siapa sangka, Letnan Senior itu ternyata seorang pemuda bau kencur?" pikirnya. Kelihatan jelas kalau mereka tidak saling menyukai. Rain menganggap Letnan Andi rewel, begitu pula Letnan Andi yang tak pernah terkesan, dengan segala perangai dan tindak-tanduk Rain, yang terlihat tidak bertanggung jawab. ... Beberapa saat kemudian, mereka sampai di tempat tujuan. Letnan Andi buru-buru turun, menghirup udara segar. Sambil memegangi perut, ia duduk di tepi sungai, berusaha menenangkan pikiran. Pria yang aneh, pikir Rain. Sambil menyilangkan tangan, pemuda itu pun, ikut turun. "Kenapa, komandan?" tegur bawahannya. Bukannya menjawab, Letnan Andi melambaikan tangan. Prajurit yang tahu isyarat itu berati tidak boleh mengintervensi pun, tidak meneruskan pertanyaan. "Bagaimana hasil olah TKP?" Letnan Andi mengeluarkan buku catatan kecil di saku kiri bajunya. Berwarna coklat tua, di apit sebuah bolpoin. Sebuah pita merah kecil yang membatasi kertas ia tarik. Halaman yang diinginkan pun, seketika langsung terbuka. Sang Rekan memberi hormat, balas membuka catatan miliknya. Dengan tegas dia menjawab, "lapor, dugaan sementara, korban meninggal sekitar 2-3 hari lalu, yang diakibatkan oleh sebuah cekikan, dengan menggunakan tali! Barang bukti tali tambang juga berhasil kami temukan..." "Bisakah aku melihat foto-foto korban?" timbrung Rain. Sambil mengantongi tangan, pemuda itu jalan mendekat. "Dia..." Letnan Andi mengangguk, merespon reaksi bawahannya yang tak kalah kaget. "Astaga masih muda sekali!" kagum Si Prajurit. Dia segera memberi hormat. Rain pun, mengangguk membalasnya. Si Prajurit lalu mengulurkan tangan, seraya memperkenalkan diri. Rain menjabat tangannya yang basah, nan dingin. Sambil menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal, pemuda itu balas memperkenalkan diri. "Saya perwira baru distrik 17," kenalnya. Prajurit itu mendehem, manggut-manggut tak jelas maksud. Celananya agak basah. Wajahnya pun, berkeringat. Tangan yang masih dingin menandakan ia baru saja menyentuh sesuatu yang bersuhu rendah. Jadi begitu, dia salah satu tim evakuasi, pikir Rain. "Mana, prajurit?" Dengan kesal, Rain menagih foto forensik yang dijanjikan. "Biarkan dia menyelesaikan laporannya dulu!" sahut Letnan Andi. "Belum selesai, ya?" tanya Rain, "silahkan, siapa tahu masih ada masalah non teknis," imbuhnya. "Lanjutkan prajurit!" seru Letnan Andi. "Siap, lanjutkan!" Si Prajurit membuka catatan, tapi kalimat yang tersisa hanyalah masalah non teknis yang kurang etis dibahas di depan umum. Akhirnya, ia pun, mengulang lagi pembahasan terakhir, yang terkesan memutar-mutar. ... "Barang bukti tali tambang tadi, ditemukan di tubuh mayat, laporan selesai komandan!" pungkasnya. "Sekarang, bisakah aku melihat foto forensik?" sahut Rain. Letnan Andi mendelik, melirik Si Pemuda tak sabaran. "Antar dia Prajurit, nanti aku menyusul!" seru Letnan Andi. "Siap, mari ikut saya, komandan!" pandu Si Prajurit. Prajurit itu membawanya menuju sebuah mobil patroli yang terparkir di tepi sungai. "Foto itu ada di tas merah, di atas dasbor, komandan!" tunjuknya. Tanpa berlama-lama, Rain masuk ke dalam sana, dan segera mengambil barang yang dimaksud. Sambil sesekali melirik ke arah prajurit tadi, dia membuka isi tas merah yang memang sesuai dengan perkataan awal. "Kenapa repot-repot mengajak distrik 17 berpartisipasi? Apa itu artinya, korban merupakan warga distrik 17?" pikirnya. Rain menggeleng, kembali memperhatikan dokumentasi tim forensik. Foto itu memperlihatkan wanita paruh baya yang tubuhnya sudah memucat. Kedua mata korban memerah. Mulutnya berbuih. Luka bekas jeratan melingkari lehernya. Tubuhnya pun, penuh luka. Tiba-tiba, Rain merasa mual. Jari-jari tangan korban nyaris terkelupas. Bentuk kepalanya pun, tak lagi wajar. Kedua kaki korban hancur, serta banyak tulang-tulang dalam kondisi patah. Akan tetapi, mayat yang ditemukan di sungai memang acap kali ditemukan dalam kondisi tidak layak. Sudah terkena tekanan aliran sungai, menabrak material, ditemukannya pun, selang beberapa hari. Apa ini? Rain memungut salah satu foto yang menarik sisi skeptisnya keluar. Sambil mengamati, ia berseru, "jelaskan situasinya!" "Siap!" Petugas yang siap sedia memberi hormat. ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD