Bab 2

1204 Words
"Jadi aku harus apa, Jes?" lirih Riyanti. Merasa bod'oh karena memberikan tawaran yang tidak masuk akal pada Avan. "Jangan lagi bertanya harus apa dan bagaimana. Yang jelas saat ini kamu batalkan rencana itu. Selagi hanya sebatas wacana semata. Belum ada hukum yang mengikat kesepakatan kalian berdua." "Semoga saja," gumam Riyanti. Seraya mengeluarkan ponsel dari tasnya. Mengetik nomor seseorang dan menghubunginya. "Eh, tunggu dulu! Apa maksudmu barusan? Semoga saja?" tanya Jesi cepat. Tubuhnya sedikit condong ke depan. Mendengar gumaman Riyanti. Meskipun hanya sebatas gumaman, Jesi bisa mendengar dengan baik gadis itu khawatir dan tidak yakin dengan ucapannya sendiri. Alih-alih menjawab, Riyanti justru tampak gelisah. Berusaha menghubungi seseorang dari ponselnya. "Di mana dia?" Lagi-lagi Riyanti bergumam. Tanpa menghiraukan kehadiran Jesi, apalagi menjawab pertanyaan wanita hamil itu. Melihat Riyanti yang tampak gelisah, Jesi bisa menebak apa yang terjadi. Pastinya gadis itu dan Avan, sudah mulai memproses perjanjian antara mereka berdua. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Jesi, selain berdoa seraya menunggu Riyanti selesai dengan ponselnya. Sesuai dengan dugaan Jesi. Sebelum bertemu dengannya, Riyanti menghubungi pengacaranya dan meminta untuk datang ke tempat Avan. Agar mengurus kontrak pekerjaan dan kontrak pernikahan antara ia dan Avan. "Tidak bisa dihubungi, Jes. Sebaiknya aku kembali ke tempat Avan. Untuk membatalkan ini semua," ucap Riyanti. Seraya bangkit dari tempat duduknya. Jesi mengangguk. "Aku berharap kamu bisa mencari orang pengganti Avan, Ri. Agar semuanya kembali baik seperti sedia kala;" pesan dan doa Jesi terucap dengan tulus. "Aku berharap yang sama, Jes!" Riyanti menarik kedua sudut bibirnya. Sebelum melangkah pergi. Akan tetapi, baru saja dua kali kaki jenjangnya melangkah, ponsel Riyanti berdering. Membuat gadis itu kembali menghenyakkan bokongnya pada kursi. Perasaannya mendadak tidak enak. Karena yang mengunjunginya saat ini adalah, tidak lain dan tak bukan adalah pengacara yang ia utus untuk bertemu dengan Avan. "Jangan katakan semuanya sudah selesai," lirih Riyanti. Begitu panggilan tersambung dengan pengacaranya itu. "Tebakan Anda benar. Semuanya sudah beres, dan Minggu depan anda dan Avan akan menikah. Dalam kurun waktu lima tahun, karena dia memperpanjang kontrak dengan perusahaan selama lima tahun pula." Seorang pria paruh baya menyahut dari ujung panggilan. Mata Riyanti terpejam dramatis. Secepat itu kesepakatan dibuat. Padahal baru saja ia ingin membatalkan semuanya. Akan tetapi, semua sirna. Karena pernikahannya dan Avan sudah ditetapkan. "Terima Kasih atas bantuannya. Temui aku sekarang! Aku ingin melihat apa saja perjanjian yang dibuat oleh Avan." "Tidak bisa. Setelah ini ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Jadi kita bertemu besok saja!" Pria paruh baya itu menolak secara halus. Padahal yang sebenarnya ia masih berada di tempat Avan, karena sudah menerima sogokan pria itu. Yang sebenarnya terjadi, belum ada satupun kesepakatan yang buat. Hanya saja Avan sengaja, agar Riyanti tidak membatalkan niat untuk menikah dengannya. Seandainya batal, tentu saja akan membuat rencana balas dendam yang terlanjur di susun musnah begitu saja. Sadar Riyanti akan berubah pikiran, ia langsung menghubungi pengacara gadis itu dan membuat kesepakatan pula berdua. Agar posisinya semakin menguntungkan sebagai suami kontrak Riyanti. Mendengar perkataan pengacaranya, Riyanti semakin lemas. Seakan tulang belulang yang menjadi penyangga tubuhnya menghilang. "Tidak bisa dibatalkan lagi. Ternyata pengacaraku sudah melakukan tugasnya dengan baik." Tanpa ditanya oleh Jesi, Riyanti menjelaskan. Keringat dinginnya pun ikut mengucur dengan deras. Bagaimana bisa ia menyerahkan hal sepribadi itu pada pengacaranya. Bahkan Riyanti tidak tahu apa saja syarat yang diajukan oleh Avan. Sangat mustahil tidak ada syarat tambahan dari pria itu. Jesi menggelengkan kepalanya. "Aku akan membantumu lepas dari pernikahanmu dan Avandy. Seandainya ada perjanjian gila atau perlakuan kurang pantas darinya." Mengusap punggung tangan Riyanti. Gadis itu menarik kedua sudut bibirnya. Jesi yang sempat ingin ia singkirkan, justru menjadi tempat mengadu saat ini. ** "Apa? Kau gila, ya?" Riyanti tersentak. Tangannya refleks melemparkan kertas-kertas, yang baru saja di serahkan oleh pengacaranya. Sesuai dugaannya kemarin, banyak poin tambahan yang merugikan posisinya sebagai istri Avan. "Kamu itu pengacara aku atau pengacara laki-laki itu? Yang benar saja poin-poin ini." Menunjuk surat perjanjian yang telah berserakan di lantai. "Aku tidak diizinkan untuk ikut campur dalam urusan pribadinya. Akan tetapi, dia bisa dan boleh mengaturku. Apa saja!" sergah Riyanti. Matanya memancarkan kilatan amarah yang begitu besar. Pria paruh baya itu memungut kertas-kertas tersebut. Menyusunnya hingga rapi dan meletakkannya di hadapan Riyanti. "Seandainya kamu tidak setuju, tinggal batalkan saja. Karena Avan tidak akan mau memperpanjang kontraknya seandainya perjanjian ini tidak disetujui. Dan kamu mengatakan lakukan apapun dan bagaimanapun caranya agar Avan mau. Dan inilah caranya agar dia mau." Pengacara tersebut menjelaskan dengan santai. Seakan ia tidak tahu menahu apa yang sebenarnya terjadi. Riyanti mengepalkan tangannya. Avan ternyata bukan orang sebaik yang ia duga. Ternyata dia begitu licik dan pandai memanfaatkan situasi. Itu artinya, apa yang ditakutkan oleh Jesi bisa menjadi kenyataan. "Aku akan menemuinya!" Meraih surat perjanjian tersebut dan membawanya ke tempat Avan. Ia akan menunjukkan dengan siapa sebenarnya pria itu berhadapan. Amarah Riyanti yang menggebu-gebu, sirna begitu saja. Saat ia melihat apa yang dilakukan oleh Avan dan Reina di dalam ruangannya. Gadis kecil itu tengah merengek meminta sang ayah untuk bertemu dengan sang bunda. Bunda yang tidak akan pernah kembali lagi untuk selamanya. "Ayok, Ayah … mau tempat bunda!" Reina yang menangis sesenggukan menarik-narik tangan Avan. Hak yang selalu dilakukan oleh gadis kecil itu ketika merindukan sosok bundanya. Bunda yang waktu hanya pamit pergi memeriksakan kandungan, akan tetapi hingga kini tidak pernah lagi pulang Dan memeluk dirinya. Mata Avan terpejam. Kematian Zahra, istrinya, masih menorehkan luka yang sangat dalam. Luka tersebut semakin besar karena tangisan Reina yang selalu ingin bertemu dengan Bundanya itu. Avan sudah berusaha untuk menjelaskan. Bundanya tidak akan pernah kembali lagi untuk selama-lamanya. Akan tetapi Reina tidak peduli. Baginya sang bunda pasti akan kembali padanya. Memeluk, mencium, dan melimpahkan kasih sayang yang begitu besar untuknya. Sebelum Zahra dan Avan pergi ke rumah sakit, Reina sempat ingin ikut dengan mereka. Akan tetapi, Zahra melarang karena ibunya akan datang untuk menjemput Reina pagi itu. Agar Reina mau melepaskan kepergiannya, Zahra berjanji akan pulang cepat. Agar mereka bisa bermain dengan adiknya Reina. Sudah menjadi kebiasaan. Gadis kecil itu bermain dengan adiknya, yang masih berada di dalam kandungan. Mengelus perut buncit Zahra dan bersenda gurau dengan wanita cantik berlesung pipi itu. Avan berjongkok di hadapan Reina. Menghapus jejak air mata yang mengalir di kedua pipi gadis kecil itu. "Bunda sudah tidak ada, Sayang. Beliau sudah tenang di surga. Menanti kita berdua datang, agar bisa berkumpul lagi seperti dulu." "Maka dali itu, Ayah. Kalau bunda tidak bisa datang ke sini, kita yang halus temui bunda …" Reina tetap pada pendiriannya. Ia ingin bertemu sang bunda, setelah sekian lamanya tidak pernah lagi bertemu dan mendapatkan pelukan. Mata Avan mulai memanas. Melihat Reina keadaan Reina saat ini. Selalu menangis ingin bertemu dengan Zahra, yang tidak akan pernah kembali lagi ke sisi mereka berdua. "Reina!" seru Riyanti. Gadis itu melangkah masuk dan melebarkan kedua tangannya. Melihat keadaan Reina saat ini, membuat Riyanti menganggap wajar kemarahan Avan kepadanya. Dan ia mengakui.. Seandainya hari itu tidak mendesak ,Avan agar segera datang, tentu saja saat ini gadis kecil itu masih bisa merasakan hangatnya pelukan dan kasih sayang seorang ibu. "Tante!" Tanpa diduga. Reina langsung berhenti menangis dan menyusut air matanya. Gadis kecil itu langsung bersiap untuk lari ke dalam pelukan Riyanti. Wanita yang dikenal sebagai tantenya Joan. Sahabatnya. Yang tidak lain adalah putra sulung Jesi dan Okta. Avan tertegun. Cukup terkejut melihat Reina yang langsung merespon kehadiran Riyanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD