Bab 1

1078 Words
Sebagai anak tunggal, Riyanti Alexandra terbiasa hidup mewah dan dimanja oleh kedua orangtuanya. Apa yang diinginkan oleh gadis itu selalu dituruti. Tapi, ada satu kesalahan fatal yang dibuat oleh ayahnya Riyanti. Terlalu memanjakan, sehingga beliau lupa kapan saja ajal akan datang menjemputnya. Sedangkan Riyanti, tidak pernah sedikitpun diajarkan untuk menjalankan perusahaan milik keluarga mereka. Maka dari itu, saat ayahnya meninggal secara tiba-tiba, Riyanti kelabakan mengurus perusahaan. Sehingga ia memutuskan untuk mengontrak seseorang menjadi direktur perusahaannya. Semuanya berjalan lancar. Hingga kontrak pertama yang berjalan selama hampir lima tahun itu usai. Namun, saat direktur bayaran yang bernama Avandy William tersebut ingin memperpanjang kontrak, ada satu insiden kecelakaan yang membuatnya kehilangan istri yang tengah hamil enam bulan. Dan itu semua karena Riyanti yang tiba-tiba saja memintanya untuk segera datang ke kantor. Padahal Avan sudah meminta izin untuk datang terlambat. Riyanti sendiri sudah menyetujui. Karena desakan Riyanti itulah. Avan mengalami kecelakaan. Istrinya yang sedang hamil terlempar keluar mobil dan tewas ditempat. Menggores luka di dalam hati Reina, gadis kecil berusia lima tahun, yang tidak lain adalah putri dari Avan. Kecelakaan tersebut tidak hanya menghadirkan luka bagi Reina. Melainkan Avan sendiri. Berujung pada enggannya pria itu memperpanjang kerja samanya dengan perusahaan Riyanti. Tapi, bukan Riyanti namanya. Seandainya tidak bisa mencari jalan keluar demi para karyawan yang menggantungkan hidup pada perusahaannya. Dan kini, di sinilah Riyanti. Duduk tak kalah angkuhnya dari Avan. Membicarakan kesepakatan baru, serta iming-iming gaji yang lebih besar dari sebelumnya. Akan tetapi, keras Riyanti lebih keras pula Avan. Pria itu tetap pada pendiriannya. Menolak keras perpanjangan kontrak tersebut. Ia juga mengungkit penyebab kematian istrinya. "Gara-gara menuruti keinginanmu, aku kehilangan istri sekaligus calon anakku. Dan membuat putriku menjadi piatu, di usianya yang masih belum tahu apa itu kematian. Sampai sekarang dia masih berharap bundanya pulang dan memeluknya seperti dulu," ucap Avan. Mematahkan segala tawaran materi yang ditawarkan oleh Riyanti padanya. Tawaran agar Avan mau memperpanjang kontraknya sebagai direktur di perusahaan peninggalan sang ayah. "Ehem …" Riyanti menegakkan punggungnya. Mengangkat dagu dan berkata. "Aku bisa menjadi ibu dan istri bayaran untukmu." "Maksudmu?" Alis Avan nyaris bertaut. "Ayo kita menikah. Aku akan menjadi ibu untuk anakmu. Lamanya pernikahan kita, tergantung kontrak yang kamu tandatangani. Kamu ingin lima tahun, maka pernikahan kita akan berlangsung selama lima tahun pula." "Aku tidak bisa mewujudkannya. Apa kamu lupa, kamu yang menyebabkan istriku meninggal dunia?" "Kamu salah. Bukan aku yang membuat istrimu meninggal. Akan tetapi, takdir. Walaupun saat itu dia luka parah, kalau takdirnya belum meninggal dunia, maka hingga detik ini dia masih hidup. Dan percayalah. Aku melakukan ini bukan demi diriku sendiri. Ini semua demi karyawan yang menggantungkan hidupnya di perusahaan. Aku rasa, kamu sudah tahu berapa jumlah karyawan yang ada di perusahaan." Avan diam sejenak. Menimbang dan memikirkan dampak positif dan negatifnya tawaran Riyanti. Hingga akal liciknya menemukan jawaban. "Baiklah. Kita akan menikah. Dengan sebuah kontrak dan beberapa syarat serta ketentuan yang harus kamu penuhi!" tegas Avandy. Mengulurkan tangannya. Riyanti tersenyum tipis. "Baiklah kalau begitu. Semua akan diurus oleh pengacaraku." Tanpa menerima uluran tangan Avan, ia bangkit dan segera pulang. Pria itu mendengus. Melihat Riyanti yang mengacuhkan dirinya. Sehingga niatnya untuk membalaskan dendam kepada gadis itupun semakin besar saja. ** Tujuan Riyanti menikah dengan Avandy, tidak lain untuk menyelamatkan perusahaan ayahnya. Dan sebuah harapan, bisa bahagia seperti Jesi dan Okta. Yang menikah tanpa cinta, tapi bisa bahagia layaknya pasangan lainnya. "Aku akan menikah dalam waktu dekat." Riyanti menyandarkan punggungnya pada sebuah kursi kayu. Setelah pertemuannya dengan Avan, gadis itu mengajak Jesi untuk bertemu di sebuah cafe. Mereka berdua duduk santai menikmati cake dan jus buah segar, yang kini tertata rapi di hadapan mereka. Seraya menceritakan apa yang dibicarakan dengan Avan tadi. Jesi tersentak. Nyaris saja cake strawberry yang baru saja masuk ke dalam mulutnya melompat keluar. Sangat wajar. Baru kemarin gadis itu mengatakan belum ada pria yang bisa menggantikan Okta, tiba-tiba saja ia mengatakan akan menikah dalam waktu dekat. "Aku tidak suka gaya becandamu!" Mata Jesi berputar. Sungguh tak percaya apa yang dikatakan oleh Riyanti padanya. Kata-kata yang terlalu bagus dianggap sebagai lelucon. Kedua bahu Riyanti terangkat. "Terserah padamu ingin percaya atau tidak, Jes. Yang pasti aku akan menikah dalam waktu dekat. Dengan Avandy William. Ayahnya Reina, teman Joan." "Uhuk … uhuk!" Kali ini Jesi tidak bisa menghindari cake yang akan ia telah keluar. Akibat perkataan Riyanti. "Ehem, tunggu deh!" Melambaikan tangannya dan menyesap kuat jus mangga miliknya. Hingga gelas tinggi ramping itu tinggal setengahnya saja. "Aku belum bisa percaya tentang pernikahanmu dalam waktu dekat, kini kamu kembali berkata, pria yang akan menikah denganmu adalah Avan, ayahnya Reina?" Mata Jesi membesar. "Aku terpaksa …," lirih Riyanti. Menghela nafas dan mengaduk jus apel miliknya. "Avandy William adalah direktur kontrak yang selama ini bekerja di perusahaan ayah. Akan tetapi, semenjak kecelakaan itu, dia tidak ingin lagi memperpanjang kontrak yang ada. Padahal akan berakhir dalam waktu dekat ini." "Terus apa hubungannya antara pernikahan dan perusahaan?" Jesi menyingkirkan cake dan jus miliknya. Ia yakin ada banyak kejutan yang akan diucapkan oleh Riyanti. "Aku tidak tahu apakah ini keputusan yang tepat atau tidak, Jes. Aku melakukan ini demi perusahaan ayah dan para karyawan." "Terus?" Jesi memburu. Sumpah demi apapun. Ia sangat penasaran sekarang. "Aku akan menikah dengannya, agar dia mau memperpanjang kontrak. Dan lamanya kontrak pernikahan kami, sesuai dengan kontrak dia di perusahaan." "Astaga … Ri!" pekik Jesi. Seraya memukul meja. Riyanti meringis. Dengan bibir yang mengerucut. "Aku tidak tahu harus apa lagi, Jes." "Ri, dengar. Kamu bisa mencari orang lain untuk mengurus perusahaan ayahmu. Tidak harus Avan. Ini sangat merugikan kamu tahu, nggak?" "Aku terpaksa, Jes. Terpaksa!" Mengusap kasar wajahnya. Jesi menggelengkan kepalanya. "Tidak! Kamu tidak boleh menikah dengannya! Apapun alasannya, Ri. Kenapa? Karena Avan mengaggap kamu adalah penyebab kematian istrinya. Pasti ada rasa benci yang teramat dalam untukmu, Ri. Aku takut dia menerima tawaran kamu, hanya untuk balas dendam atas kematian istrinya!" Menegaskan setiap kata yang diucapkan. Jesi berkata demikian bukan tanpa alasan. Karena Avan sering bercerita kepada Okta, bahwasanya sampai mati ia tidak akan memaafkan atasannya. Seandainya bukan menuruti desakan atasannya, hingga kini istrinya pasti masih hidup. Dan Jesi tidak menyangka, atasan yang dimaksud oleh Avan, adalah Riyanti. Tidak bisa dibayangkan bagaimana rumah tangga Riyanti dan Avan kelak. Apalagi pernikahan mereka terikat kontrak di atas kertas. Yang memiliki nilai hukum dan tidak bisa dipatahkan begitu saja secara sebelah pihak. Bukan hanya itu. Ada kontrak, tentu saja ada pula embel-embel perjanjian lainnya. Riyanti meneguk ludahnya. Perkataan Jesi persis seperti alarm bahaya yang tengah menyala dengan sangat nyaring. Memintanya untuk waspada dan mungkin harus membatalkan kesepakatannya dengan Avan tadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD