Bab 2

1940 Words
Sesuai dengan perintah Adara, mulai hari ini Adnan akan tinggal di rumah istrinya itu. Sebelum pulang ke rumah Adara, Adnan akan mampir ke rumah kontrakannya terlebih dahulu untuk mengambil beberapa barang. Terutama pakaian dan beberapa surat-surat penting. Sesampainya di rumah kontrakan miliknya, Adnan mendapati rumah tersebut telah kosong. Tidak ada satupun barang-barang yang tertinggal disana. Ia langsung panik. Segera ia mengambil ponsel dan menghubungi pihak kepolisian untuk memberitahu musibah yang sedang ia alami. Tapi, saat Adnan membuka telepon genggam miliknya, disana sudah ada sebuah pesan yang masuk. Ia langsung membuka pesan tersebut. Adnan menggelengkan kepalanya pelan, Kamu langsung pulang! Barang-barang mu sudah ada di rumah. Satu buah pesan dari nomor yang tidak diketahui telah menjawab pertanyaan Adnan tentang misteri hilangnya seluruh barang yang ia miliki. Dengan berat hati Adnan pergi ke rumah Adara. Pria itu tidak menyangka istrinya telah membawa seluruh barang-barang yang ia miliki. Hampir setengah jam bersepeda, akhirnya Adnan sampai di depan gerbang sebuah rumah mewah. Adnan langsung dipersilahkan masuk oleh beberapa security yang sedang berjaga. Seluruh pekerja yang ada di rumah Adara sudah mengetahui siapa Adnan. Waktu jenazah pak Handoko di bawa pulang, Adnan ikut mengantarkan. Ia juga yang mengurus seluruh keperluan pemakaman hingga selesai. Ibu Rahayu langsung memperkenalkan Adnan kepada seluruh penghuni rumah, kalau ia adalah menantu sekaligus tuan muda mereka yang baru. Sesampainya di dalam rumah, Adnan langsung diarahkan ke lantai dua oleh Rahayu. Karena kamar Adara berada di sana. Adnan hanya bisa pasrah dan mengikuti perintah ibu mertuanya itu. Di dalam kamar, Adnan melihat Adara yang sedang berbaring diatas ranjang sambil memainkan ponselnya. Walaupun Adara mengetahui kedatangan Adnan, tetapi Adara tetap tidak memperdulikan kehadiran suaminya itu. Adnan menghela nafasnya berat, ia harus memiliki stok kesabaran yang sangat banyak dalam menghadapi Adara. Satu bulan kemudian. Seperti biasanya, setiap pagi Adnan pergi bekerja ke kantor. Di kantor ia masih bekerja sebagai office boy, belum ada sedikitpun niat di dalam hati Adnan untuk mempelajari tentang mengelola perusahaan. Adnan lebih tertarik mengurus usaha martabak manis, yang baru dibuka tiga minggu belakangan, bersama teman-teman kampusnya dulu. Usaha martabak Adnan mulai maju, sehingga ia sering pulang terlambat. "Ibu, Adnan pamit dulu, ya." Adnan meraih tangan ibu Rahayu dan mencium punggung tangan wanita paruh baya yang telah menjadi mertua, sekaligus ibu kandung bagi Adnan. "Nan, malam ini kamu bisa pulang cepat, kan? Ada yang ingin ibu bicarakan dengan kamu, Nak." Ibu Rahayu mengusap bahu Adnan. "Maafin Adnan Ibu, hari ini salah satu teman Adnan ada yang sakit, tidak ada yang bisa menggantikan posisinya. Tapi Ibu jangan khawatir, Adnan akan usahakan untuk pulang terlebih dahulu, sebelum ke gerai martabak." "Kalau begitu … sekarang saja, bagaimana? Apa kamu bisa?" sambung Rahayu Adnan berpikir sejenak, "Baiklah, Bu." Ibu Rahayu tersenyum, "Ayo ikut Ibu! Sebelum Adara turun dari kamar." Adnan mengangguk, dan mengikuti langkah ibu Rahayu. Adnan mengernyitkan dahinya, ia merasa heran kemana ibu Rahayu akan membawanya. Karena mertuanya itu masuk kedalam kamar yang berada di belakang rumah mewah tersebut. "Waktu ayah kamu masih hidup, beliau akan menghabiskan waktunya untuk bekerja di dalam ruangan ini." Ibu Rahayu membuka pintu ruangan tersebut, "Ayo masuk! Ibu tidak ingin Adara mengetahui tentang ruangan ini." Adnan mengangguk, "Memangnya Adara tidak pernah kesini, Bu?" tanya Adnan, sebelum ia ikut masuk ke dalam. "Tidak, Nan. Ruangan ini ada semenjak Dara berhubungan dengan Marcel. Dan ada satu alasan yang membuat ayah membuat ruangan ini." Ibu Rahayu meraih sebuah map besar, dan menyerahkannya kepada Adnan. "Kamu harus sembunyikan ini! Apapun yang terjadi, kamu tidak boleh menyerahkan isi map ini kepada siapapun. Walaupun kepada Dara sekalipun!" perintah ibu Rahayu. "Apa ini, Bu?" tanya Adnan heran. "Bukalah," Adnan langsung membuka map besar yang ada di tangannya, "Bu. I ... i ... ini?" "Iya, Nak. Semua yang kami miliki akan diwariskan kepadamu. Dara hanya berhak menerima nafkah bulanan dari kamu. Ibu juga sudah memberi tahu Adara tentang surat ini kepadanya." "Bu, maaf, Adnan tidak bisa menerima ini semua. Adnan tidak ingin Adara semakin benci kepada Adnan, Bu." Ia menyerahkan kembali map tadi kepada ibu Rahayu. "Ibu mohon, Nan. Ini semua demi kebaikan Adara." "Tapi, Bu …." "Hanya satu pesan Ibu, kamu jaga Adara, dan jaga ini semua untuk cucu ibu kelak." Ibu Rahayu menunjuk map yang ada di tangan Adnan, "Dan Ibu juga ingin, kamu cari tahu penyebab kecelakaan ayah." Adnan menutup kedua matanya, ia ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia sanggup mengemban amanah dari kedua mertuanya. "Baiklah. Adnan aku mengikuti seluruh permintaan, Ibu." Ucap Adnan mantap. "Syukurlah, sekarang Ibu bisa tenang." Ibu Rahayu berjalan ke arah pintu, dan membukakan pintu untuk Adnan. "Sekarang kamu bisa pergi bekerja, cepat pulang ya, Nan. Ibu akan membuatkan ayam tepung kesukaan kamu untuk makan malam kita nanti." "Baik, Bu! Adnan pergi dulu ya … kalau ada apa-apa, ibu segera hubungi Adnan." Adnan meraih tangan ibu Rahayu dan mencium punggung tangan beliau. Ibu Rahayu tersenyum getir melihat Adnan yang menghilang di balik dinding pembatas, antara rumah dan ruangan rahasia tersebut. Ada rasa lega dan rasa takut yang bercampur menjadi satu di dalam hatinya. Ia sungguh berharap Adnan bisa menjaga Adara dengan baik. Karena ia yakin, bahaya tengah mengintai dirinya dan putri tunggalnya itu. Setengah jam perjalanan, akhirnya Adnan sampai di kantor dan langsung memulai pekerjaannya. Sebelum ia dimarahi oleh supervisor. Hari ini ia mendapatkan tugas untuk membersihkan seluruh kaca kantor dengan beberapa orang office boy yang lainnya. Beberapa jam bekerja, akhirnya Adnan sampai di ruangan direktur utama, ruangan yang kini ditempati oleh Adara, istrinya. Segera ia mengetuk pintu ruangan Adara. Cukup lama mengetuk, tetapi ia tetap tidak mendengar suara Adara yang mengizinkan ia masuk. Akhirnya Adnan memutuskan untuk masuk karena ia berpikir istrinya itu tidak ada di dalam. Sekretaris Adara pun tidak berada di tempat, semakin menguatkan keyakinan Adnan kalau Adara sedang tidak berada di dalam ruangan. Begitu Adnan masuk, ia langsung disuguhkan dengan pemandangan yang membuat hatinya hancur seketika. Bukan hanya itu, harga dirinya sebagai suami juga diinjak begitu saja. Adnan mengepalkan tangannya dengan kuat, ingin rasanya ia menghajar pria yang sedang menindih tubuh setengah polos istrinya di atas sofa. Adnan menggelengkan kepalanya untuk menghalau pikiran buruk yang bersarang di kepalanya. Ia tidak ingin amarah menguasai dirinya dan malah memperburuk keadaan. Adnan menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Ia langsung menuju ke arah kaca, yang terletak persis di sebelah sofa tempat Adara dan Marcel, kekasih Adara, yang sedang memadu kasih. Adnan sedikit bersiul dan langsung membersihkan kaca dengan alat yang telah ia bawa. Adara langsung mendorong tubuh Marcel, dan meraih pakaiannya yang tergeletak di atas lantai. Ia mendengus kesal melihat Adnan yang menggangu kesenangannya dan Marcel. "Apa yang kamu lakukan disini Adnan?" ucap Adara sambil berdiri di hadapan Adnan, setelah ia mengenakan pakaiannya. "Saya ditugaskan untuk membersihkan seluruh kaca yang ada di kantor ini, Buk. Termasuk kaca yang ada di dalam ruangan ini," jawab Adnan acuh. "Mas, sebaiknya kamu pergi dari sini, aku ingin menyelesaikan masalahku dengan office boy yang tidak tahu diri ini," ucap Adara kepada Marcel yang sedang merapikan penampilannya. "Baiklah, sayang. Sampai jumpa nanti malam." Marcel melambaikan tangannya kepada Adara sebelum ia keluar dari ruangan Adara. "Apa yang kamu inginkan?" Adara menatap tajam kepada Adnan. "Tidak banyak. Aku hanya meminta kamu jauhi pria itu!" "Tidak akan! Aku mencintainya, dan kamu tidak memiliki hak untuk memintaku untuk menjauhi Marcel!" sergah Adara. "Adara, kamu istriku!" "Bukan! Aku bukan istrimu! Dan kamu bukan suamiku." Adara menghempaskan tubuhnya di atas sofa. "Aku tidak mencintaimu, Nan. Tinggalkan aku! Izinkan aku bahagia bersama Marcel," lirih Adara. Adnan terdiam, hati dan jantungnya terasa diiris secara bersamaan. Sebenarnya Adnan merasa iba terhadap Adara yang harus menikah tanpa cinta dengannya. Tetapi ia tidak bisa menolak keinginan kedua mertuanya. “Terserah padamu. Aku tidak peduli! Dan aku mint ...,” ucapan Adara berhenti, saat ia mendengar telepon genggam miliknya berbunyi. Ia langsung menerima panggilan yang masuk ke dalam telepon genggam miliknya.“Ya ... hallo, Bik. Ada apa?” sahutnya. Begitu panggilan tersebut tersambung. Untuk beberapa saat tidak ada lagi kata yang terucap dari mulut Adara. Ia hanya diam menyimak perkataan orang yang ada di seberang panggilan. Hingga akhirnya telepon genggam tersebut terjatuh dari tangannya. Air matanya pun mengalir di iringi tangis yang nyaring. Suara Adara mengejutkan Adnan yang sedang membersihkan kaca. “Adara kamu kenapa?” Adnan memeluk bahu Adara. “I ... ibu, Nan, Ibu gantung diri ... aku mohon, antarkan aku pulang ke rumah. Aku mohon, Nan.” Adnan terdiam sejenak, ia masih belum percaya apa yang di ucapkan oleh Adara. Tadi pagi, sebelum ia berangkat bekerja, ibu mertuanya itu masih berbicara dengannya. Walaupun setiap kata yang beliau ucapkan mengandung banyak pesan kepadanya. “Ayo, Adnan!” Adara berteriak dan menggoyangkan lengan Adnan yang masih terdiam. “Ayo!" ajak Adnan. Adnan menuntun langkah Adara keluar dari kantor. Melihat Adara berjalan sambil dituntun oleh Adnan, menimbulkan pertanyaan bagi karyawan yang melihat mereka berdua. Mereka merasa heran karena tidak ada yang tahu tentang pernikahan yang mereka langsungkan satu bulan yang lalu. Adnan dan Adara pulang menggunakan mobil milik Adara. Selama perjalanan Adara hanya diam dan menangis. Adnan sendiri bingung bagaimana caranya untuk menenangkan istrinya itu. Ia tidak ingin melangkah terlalu jauh, sehingga Adara menganggap ia memanfaatkan keadaan untuk mendekatinya. Hampir setengah jam perjalanan, akhirnya mereka berdua sampai di rumah. Adara langsung menangis histeris melihat sang ibu yang terbujur kaku di tengah ruangan. Di sana juga ada pihak kepolisian yang sedang menunggu persetujuan Adara untuk membawa jenazah sang ibu untuk di otopsi. Saat Adnan ingin memberi izin untuk otopsi, Marcel yang baru datang langsung menolak. Dan mengatakan Adara sudah rela melepaskan kepergian sang ibu. Ia juga beralasan ibu Rahayu bunuh diri karena ia ingin menyusul suaminya ke alam sana. “Tidak! jenazah ibu harus di otopsi sebelum dimakamkan! Saya menantu beliau, jadi saya juga berhak memberikan perintah, di otopsi atau tidaknya jenazah ibu Rahayu!” ucap Adnan tegas. “Kamu memang menantu ibu Rahayu, Nan, tetapi pernikahanmu dengan Adara terjadi karena paksaan pak Handoko. Sedangkan saya, adalah pria yang dicintaii Adara. Dan Adara sendiri meminta saya melarang jenazah ibu Rahayu di bawa ke rumah sakit.” Marcel tidak mau kalah dengan Adnan. Ia juga mendorong bahu Adnan, sehingga Adnan mundur beberapa langkah. “Seharusnya kamu yang menjaga sikapmu, Marcel! Kamu bukan siapa-siapa di sini!” Adnan bersiap untuk memukul Marcel dengan tinjunya yang telah mengepal erat. Mendengar suara ribut, Adara langsung keluar dan mendorong tubuh Adnan agar menjauh dari Marcel. “Kamu jangan membuat keributan , Adnan! Tolong hargai aku yang sedang berduka.” Adara kembali masuk dan menarik tangan Marcel, “Kamu pergilah. Ibu sudah tidak ada. Jangan pernah tunjukkan wajah mu di hadapan ku.” Marcel tersenyum licik kepada Adnan. Ia merasa menang karena Adara lebih membela dirinya daripada Adnan. Adnan mengusap dadanya sendiri. Ia benar-benar kecewa dengan sikap dan ucapan Adara. Sehingga Adnan langsung memantapkan hati untuk meninggalkan rumah tersebut. Ia langsung masuk ke dalam rumah dan mengemasi seluruh barang yang ia miliki. Tidak lupa. Adnan juga membawa surat wasiat yang diberikan oleh ibu Rahayu kepadanya. Hai... Ini karya orisinal aku yang hanya exclusive ada di Innovel/Dreame/aplikasi sejenis di bawah naungan STARY PTE. Kalau kalian membaca dalam bentuk PDF/foto atau di platform lain, maka bisa dipastikan cerita ini sudah DISEBARLUASKAN secara TIDAK BERTANGGUNGJAWAB. Dengan kata lain, kalian membaca cerita hasil curian. Perlu kalian ketahui, cara tersebut tidak PERNAH AKU IKHLASKAN baik di dunia atau akhirat. Karena dari cerita ini, ada penghasilan saya yang kalian curi. Kalau kalian membaca cerita dari hasil curian, bukan kah sama saja mencuri penghasilanku? Dan bagi yang menyebarluaskan cerita ini, uang yang kalian peroleh TIDAK AKAN BERKAH. Tidak akan pernah aku ikhlaskan. Walaupun karyaku tidak sebagus milik penulis lain, setidaknya ini adalah hasil karyaku sendiri. Dari hasil kerja keras memeras otak dan tenaga.. Dan aku berharap, kalian semua menyayangiku seperti aku menyayangi kalian semua. Salam Desi Nurfitriani
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD