Bab 6

1164 Words
Mata Adara membesar melihat rumah yang ada di hadapannya sekarang, hanya sebesar ruang tamu rumah peninggalan orang tuanya. "Kamu tinggal disini, Nan?" tanya Adara. Mata bening gadis cantik itu memindai isi rumah tersebut. Saat pintu dibuka, yang terlihat hanyalah sebuah ruang tamu yang berukuran kecil. Dihiasi dengan tikar plastik bergambar. Adnan mengangguk. "Kamu tidak keberatan kan, Mbak? Aku tidak memiliki cukup uang untuk mengontrak rumah yang lebih besar daripada ini. Gajiku di gerai martabak tidak sebesar gaji di perusahaan." Adara menghela nafas berat. "Ya sudah. Lagian saat ini aku tidak memiliki pilihan lain." Masuk ke rumah dan duduk bersila di atas karpet. "Tunggu sebentar ya, Mbak! Aku ambilkan Mbak minum." "Adnan!" Adnan menoleh, "Ya, Mbak?" "Kemarilah!" Adara menunjuk tempat kosong di hadapannya. "Kenapa, Mbak?" Adnan duduk bersila di hadapan Adara. "Nan …, mulai hari ini panggil aku Adara. Jangan 'Mbak' aku bisa tua sebelum waktunya." Gurau Adara santai. Mata Adnan mengerjap. "Eh?" Hatiku begitu bahagia melihat senyumanmu. Semoga saja di tempat sederhana ini aku bisa mengubahmu menjadi istriku sepenuhnya. Aku juga berjanji, akan merebut kembali hak kita berdua. Adnan menarik kedua sudut bibirnya. "Nan … Adnan?" Adara mencondongkan tubuhnya. Wajahnya dan Adnan sangat dekat sekarang. Adnan menelan ludahnya dengan susah payah. Wajah cantik Adara terpampang nyata di hadapannya. Bahkan, ia bisa merasakan hangatnya nafas istrinya itu. "Ah …, aku tidak apa-apa, Mbak. Eh … Adara." Mengusap tengkuknya yang tiba-tiba saja merinding. "Syukurlah. Aku kira kamu kenapa?" Adara menyandarkan punggungnya ke dinding yang ada di belakangnya. "Jadi …," "Jadi …?" Adnan membeo. Menatap bingung kepada istrinya. "Ah … lupakan!" Adara mengibaskan tangannya. "Aku ingin istirahat. Bisa tunjukkan dimana kamar kita?" tanya Adara. Saat Adnan ingin bangkit. "Oh. Ayo ikut aku!" Adnan menarik tangan Adara. Lagi-lagi Adara terkejut dengan keadaan yang ada. Tidak ada yang istimewa di dalam kamar sempit milik Adnan. Hanya ada sebuah kasur tipis, sebuah lemari plastik kecil, dan sebuah kipas angin yang berukuran kecil di samping kasur tipis tersebut. "I--ini kamar kita?" "Iya. Kenapa?" Adnan memiringkan kepalanya. "Tidak …." Ya Tuhan … sampai kapan aku harus tinggal di tempat seperti ini? Kamar tidurku yang dulu bahkan lebih besar daripada rumah ini. Mata Adara terpejam dramatis. Dengan langkah gontai, gadis itu duduk di tepi kasur tersebut. "Maafkan aku, Dara!" "Maaf? Untuk apa?" Adara menatap heran kepada suaminya. "Maafkan aku yang belum bisa menjadi suami yang baik untukmu. Bahkan aku tidak mampu mempertahankan apa yang menjadi hak istriku. Aku sudah lalai dalam menjalankan tugas sebagai seorang suami." "Tidak, Nan!" jawab adara cepat. "Aku yang terlalu percaya dengan kata manis pria itu. Sehingga aku tidak sadar dia sedang menggali lubang yang besar untuk menguburku hidup-hidup. Aku bodoh, Nan." Mata Adara mulai berkaca-kaca. "Seandainya dari dulu aku menuruti perintah ayah dan ibu, pasti ini semua tidak akan pernah terjadi." Menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Adara mulai menangis meratapi nasib buruk yang sedang ia alami. Seumur hidupnya, ia belum pernah berada di titik serendah ini. Akan tetapi ia masih cukup beruntung karena masih ada Adnan bersamanya. "Jangan menangis!" Adnan bersimpuh di hadapan Adara. "Aku bersumpah. Aku akan merebutnya kembali untukmu." Mengusap lembut rambut panjang Adara. "Kamu jangan bersedih lagi, ya. Ada aku di sini." Adara mengangguk, "Terimakasih." Tanpa rasa canggung, Adara langsung memeluk Adnan. Deg. Adnan terdiam. Ia sama sekali tidak mampu untuk mengangkat tangannya sendiri untuk membalas pelukan Adara. Ia tidak ingin Istrinya itu berpikir kalau ia mengambil kesempatan dalam kesempitan. Sehingga Adnan hanya pasrah dan menunggu Adara menyelesaikan tangisannya. Untuk hari ini, Adnan memutuskan untuk tidak datang ke gerai miliknya. Ia memilih untuk menemani Adara yang telah terlelap dalam tidurnya. Sambil menunggu Adara terbangun, Adnan menyiapkan makan malam untuknya dan Adara. Ia tidak ingin istrinya kelaparan saat bangun tidur nanti. Begitu makan malam selesai, tetapi Adara masih terlelap dalam tidurnya. Sehingga Adnan memutuskan untuk kembali ke rumah lama istrinya, untuk mengambil barang-barang Adara Karena gadis itu pulang ke rumah kontrakannya, hanya membawa pakaian yang menempel di tubuhnya saja. Sebelum berangkat, Adnan meninggalkan sepucuk surat untuk Adara. Agar Istrinya itu tidak kehilangan dirinya. Ia juga berpesan, agar Adara makan terlebih dahulu, tanpa menunggu ia pulang ke rumah. Sesampainya Adnan di rumah lama tersebut, suasana rumah terlihat sepi dan gelap gulita. Ia memberanikan diri untuk mendekat. Begitu sampai di depan pintu, Adnan dikejutkan dengan sorotan cahaya lampu mobil, yang baru datang. "Ternyata ada tamu?" Marcel keluar dari mobilnya. "Kenapa nggak memberikan kabar dulu sih, Nan! Biar saya pulang ke rumah lebih cepat." "Saya tidak membutuhkan sambutan. Saya hanya ingin mengambil beberapa barang pribadi milik istri saya di dalam." Sahut Adnan. "Wah … kamu kurang cepat datang kesini. Seluruh barang-barang milik istri kamu telah ludes terbakar." Marcel menunjuk ke samping rumah tersebut Di sana terlihat ada tumpukan barang yang separonya telah hitam terbakar. Adnan mengepalkan tangannya. Dengan nafas memburu ia memeriksa tumpukan barang tersebut. Hatinya mencolos, melihat barang-barang milik Adara. Termasuk bingkai foto kedua mertuanya. Adnan membersihkan dan memungut foto yang masih bisa di selamatkan. Ia sangat yakin, foto tersebut sangat berarti bagi Adara, istrinya. "Untuk apa lagi kau pungut itu semua, Adnan! Kedua mertuamu tidak akan bangkit dari dalam kuburnya, jika kau mengambil itu semua. Lagian, foto-foto tersebut sudah selayaknya berada di sana." "Jangan memancing amarahku, Marcel. Jangan kira aku takut kepadamu. Hanya karena usiamu jauh lebih tua dariku. Bukan berarti kau bisa menjatuhkanku. Aku akui saat ini kau menang. Namun, satu hari nanti aku akan kembali dan merebut semuanya." Adnan menaiki motornya dan meninggalkan Marcel yang terdiam. Coba saja, Nan. Sampai kapanpun aku tidak akan melepaskan ini semua. Aku mendapatkannya dengan cara adil. Aku mengandalkan otakku. Bukan keberuntungan sepertimu. ******** Sebelum pulang ke rumah, Adnan mampir terlebih dahulu, kesebuah toko yang menjual berbagai macam perlengkapan wanita. Ia ingin memberikan beberapa helai pakaian untuk Adara. Walaupun bukan pakaian bermerek, tetapi setidaknya istrinya itu bisa mengganti pakaiannya. Setelah memilih beberapa pakaian luar. Akhirnya Adnan sampai di bagian pakaian dalam wanita. Dengan gerakan cepat, ia meraih beberapa stelan dalaman yang sedang terpajang tanpa melihat ukuranya terlebih dahulu. "Semoga saja pas. Aku tidak mungkin memeriksa ukurannya. Lagian percuma saja, aku tidak tahu ukuran milik Adara." Adnan berbicara kepada tumpukan baju yang ada di dalam pelukannya. Bantu tap love cerita ini ya, bagi yang suka sama alurnya. Terimakasih kesayangan Author. Hai... Ini karya orisinal aku yang hanya exclusive ada di Innovel/Dreame/aplikasi sejenis di bawah naungan STARY PTE. Kalau kalian membaca dalam bentuk PDF/foto atau di platform lain, maka bisa dipastikan cerita ini sudah DISEBARLUASKAN secara TIDAK BERTANGGUNGJAWAB. Dengan kata lain, kalian membaca cerita hasil curian. Perlu kalian ketahui, cara tersebut tidak PERNAH AKU IKHLASKAN baik di dunia atau akhirat. Karena dari cerita ini, ada penghasilan saya yang kalian curi. Kalau kalian membaca cerita dari hasil curian, bukan kah sama saja mencuri penghasilanku? Dan bagi yang menyebarluaskan cerita ini, uang yang kalian peroleh TIDAK AKAN BERKAH. Tidak akan pernah aku ikhlaskan. Walaupun karyaku tidak sebagus milik penulis lain, setidaknya ini adalah hasil karyaku sendiri. Dari hasil kerja keras memeras otak dan tenaga.. Dan aku berharap, kalian semua menyayangiku seperti aku menyayangi kalian semua. Salam Desi Nurfitriani
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD