Bab 4

1047 Words
"Gery," Gery, pria tinggi berambut gondrong belah tengah itu melirik ke Hans, memandangnya dari atas hingga ke bawah, mengamatinya tajam. "Siapa dia?" tanya Gery, suaranya seakan menghakimi. "Dia pacarku," ucap Hana dengan suara lantang seraya bergelayut manja ke lengan Hans tanpa persetujuan dari Hans. Tapi, untungnya Hans tidak menunjukkan reaksi yang berlebihan yang mungkin akan membuat Gery curiga. "Apa?! Pacarmu?! Kita baru putus 2 hari yang lalu dan kamu sudah punya pacar saja? Jangan-jangan kamu juga selingkuh." Hana mendengus, menatap jijik pria gondrong itu. "Aku tidak sehina kamu. Aku baru jadian hari ini dan baru kenal kemarin. Ya 'kan sayang?" Hana meminta Hans untuk berbicara. Ia menatap Hans dengan mata memohon, memberikan kode lewat matanya. Untungnya Hans mengerti. "Oh iya tentu saja. Kebetulan kami baru jadian hari ini. Saya pacarnya. Lantas kamu mau apa?" Hana menarik sudut bibirnya sedikit ketika Hans mau membantunya bersandiwara di depan mantannya. Gery memicingkan mata selidik namun itu membuat Hans semakin mengeratkan gandengan tangannya dan mengangkat wajahnya angkuh. Gery akhirnya pergi tanpa mengatakan apapun. Hans menarik tangannya sesaat setelah Gery pergi. "Pak, maafkan saya. Saya terpaksa melakukan ini agar dia tidak mendekati saya lagi. Tolong maafkan saya." Hana berkali-kali meminta maaf dengan gesture tangan mengatup. "Saya tahu. Memangnya dia siapa?" "Dia mantan saya, baru putus 2 hari yang lalu karena dia ketahuan selingkuh." "Ooh. Dasar laki-laki," celetuk Hans tak sadar. "Loh, tapi 'kan bapak juga laki-laki." "Saya laki-laki yang berbeda." Hana mencebik bibirnya ketika mendengar jawaban dari Hans namun dia tidak mempermasalahkannya. "Sekali lagi saya minta maaf ya Pak." "Ya, tidak apa-apa. Sekarang kita kembali ke perusahaan." "Baik Pak." Hans mendahului Hana menuju parkiran mobil. Beberapa saat kemudian, mereka tiba di perusahaan. Hana mengikuti Hans dari belakang memasuki perusahaan. Ia harus mempersiapkan kebutuhan untuk rapat dengan direktur keuangan yang akan dimulai sebentar lagi. Mereka naik ke lift menuju lantai paling atas dimana ruangan mereka berada. Di dalam lift hanya ada mereka berdua, mereka berdiri berjarak dan hanya diam saat lift mulai bergerak. Namun lift perusahaan berhenti mendadak karena gangguan listrik saat ditengah jalan. Lampu meredup, hanya tersisa cahaya darurat yang temaram. “Astaga …” Hana menyentuh dinding, sedikit terhuyung. Hans yang berdiri di sebelahnya ikut bergerak, mencoba menjaga keseimbangan. Tapi saat lift berguncang lagi, tubuh Hana terdorong ke samping. Refleks, Hana mengangkat tangan, tapi yang ia sentuh adalah d**a bidang Hans. Mereka terdiam. Napas terasa saling menyentuh, jarak yang tersisa nyaris tak ada. Hana mendongak menatap Hans yang sedang menatapnya juga, matanya tajam dan intens seolah membiusnya untuk menatapnya lebih dalam. Sekian menit kemudian lampu tiba-tiba menyala kembali, tapi Hana justru merasa wajahnya makin panas. Begitu pintu lift terbuka, ia langsung menjauh dari Hans seraya membasahi bibirnya, melangkah keluar lebih dulu tanpa menoleh, sementara Hans tetap berdiri di dalam, senyumnya samar namun penuh arti, sampai akhirnya ia keluar dan mengikuti Hana. *** Hana tiba di rumah pukul 9 malam, cukup padat kegiatannya hari ini sehingga ketika ia sampai rumah, tubuhnya langsung tumbang ke atas kasur queen size empuk kesayangannya. Ia bahkan tak bisa beristirahat lama-lama ketika ia teringat belum mandi dan membersihkan rumah. Ia hanya tinggal seorang diri. Kedua orangtuanya telah meninggal 3 tahun yang lalu karena kecelakaan tunggal. Kepolisian setempat menyimpulkan kecelakaan terjadi karena pengemudi mengantuk saat berkendara. Hidupnya hancur setelah mengetahui kabar itu. Ia sampai ingin mengakhiri hidupnya saking frustasinya tapi beruntung ia bisa melewati semuanya dan masih bisa bernapas sampai sekarang. Ia pikir semua kejadian di hidupnya memberikan pelajaran pada dirinya untuk tumbuh dewasa. Hana menarik napas panjang, memandang langit-langit kamar yang terasa jauh. Rasanya seperti semua beban hari ini dan semua beban masa lalunya menumpuk di dadanya. Ia bangkit dengan malas, menyeret langkah menuju kamar mandi. Air hangat yang mengalir di tubuhnya membuat pikirannya sedikit ringan, namun ingatan tentang masa lalu tetap datang seperti hantu yang terus menghantuinya. Setelah selesai, ia pergi ke dapur melihat tumpukan cucian piring di dapur yang tadi pagi belum ia cuci, membuatnya menghela napas lagi. “Besok saja deh,” gumamnya lalu memilih menyalakan televisi agar sekadar ada suara yang menemani sambil memeriksa laporan yang akan dibawanya besok saat bekerja. Namun tiba-tiba ia menggelengkan kepalanya ketika terbayang dengan kejadian tadi siang di lift perusahaan. Dengan jarak yang begitu dekat, sentuhan itu, tatapan itu, hembusan napas itu masih teringat jelas di benaknya. Ia mengacak rambutnya, itu membuatnya frustasi. "Arrghh kenapa itu bisa terjadi? Aku malu sekali." Bahkan dengan mengingatnya saja sudah membuat pipinya memanas kembali. "Bahkan setelah itu dia hanya diam, 'kan canggung sekali. Lagipula aku juga nggak sengaja," ia mencoba membela diri, tapi bayangan wajah Hans dengan tatapan matanya yang dalam dan sedikit terkejut itu kembali hadir begitu nyata. Hana meraih bantal sofa, meremasnya kuat. "Ya Tuhan … kalau besok ketemu, aku harus bersikap gimana? Apa pura-pura lupa? Tapi kalau dia ngegoda aku gimana? Ah, gawat!" Hana berbicara sendiri memikirkan kemungkinan yang akan terjadi besok di tempat kerja. Televisi yang sedari tadi menyala hanya menjadi latar belakang yang tak terdengar jelas. Ia sibuk hanyut dalam pikirannya bahkan laptop yang menyala di depannya juga dia abaikan. *** Keesokan harinya Drtt drtt! Ponsel Hana bergetar di atas meja, mendapati bosnya menghubunginya. Setahunya bosnya belum datang hari ini. Ia segera mengangkat panggilan tersebut. "Halo, Pak." "Halo. Kamu di mana sekarang?" Mata Hana bergerak gugup, dadanya tiba-tiba berdebar. "Saya sudah di ruangan, Pak." "Ke lobi sekarang. Saya tunggu kamu di sini." Hana terkejut ketika Hans menutup telepon sepihak setelah menyuruhnya untuk pergi ke lobi tanpa menyatakan maksud dan tujuannya. "Aduh, ngapain dia nyuruh aku ke lobi?" Hana bertanya-tanya namun ia tetap bergegas memenuhi permintaan Hans. Saat tiba di lobi, dari kejauhan ia bisa melihat Hans rapi dengan setelan jas hitamnya sedang berdiri tak jauh darinya dengan tangan di belakang seolah sedang menyembunyikan sesuatu. Senyumnya mengembang saat melihat Hana bergerak mendekatinya. Senyum yang tampan dan tulus seperti seseorang yang sedang melihat orang tercintanya datang. "Selamat pagi, Pak Hans. Ada ap—" Kalimat Hana terhenti ketika Hans tiba-tiba berlutut di hadapannya seraya menyodorkan cincin kristal yang cantik. Hana reflek mundur beberapa langkah seraya menutup mulutnya yang menganga. Orang-orang di lobi spontan berhenti bergerak, menatap ke arah mereka dengan mata membesar dan ponsel siap merekam. “Pak … a-apa yang kamu lakukan?” suara Hana tercekat, pipinya memanas hebat. Orang-orang sudah mendekat mengerumuni mereka. Hans mengangkat wajahnya, tersenyum penuh percaya diri. “Maukah kamu menikah dengan saya?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD