First Meet After a Long Time
"Bagaimana hasilnya?" tanya lelaki bergaya perlente yang sedang berbicara dengan bluetooth handsfree yang terpasang apik di sepasang telinganya. "Apakah mual-mualmu pagi ini karena positif?"
Bisa didengar olehnya seseorang di seberang panggilan sana justru menghela napasnya pelan, terasa sama lelahnya dengan dirinya yang selalu menanyakan pertanyaan yang sama—namun, konteksnya berbeda. Perempuan di sana sudah terlampau lelah karena haruz mengecewakan si lelaki berjas perlente ini dengan jawaban yang sama. "Tidak, hasilnya negatif."
Hening.
Si lelaki yang sedang berkutat dengan berkas-berkasnya justru terdiam fokus ke pekerjaannya ketimbang meladeni istrinya yang masih tersambung di telepon dengannya.
"Kevin, maafkan aku, oke?" Wanita itu berusaha untuk menghibur suaminya. Ia tahu ia harus memiliki anak untuk menjadikannya penerus perusahaan, mungkin tidak sekarang. Tapi, ia yakin ia mampu memberikannya untuk Kevin, sang suami kecintaan. "Aku akan mengikuti program kehamilan sehabis pulang dari sini."
"Lakukan sesukamu, Sharon. Aku hanya ingin kau hamil secepat mungkin."
Dan tanpa berperasaan, Kevin mematikan sambungan teleponnya. Meninggalkan Sharon yang hanya tersenyum miris menatap layar ponsel yang menghitam pasca dimatikan secara sepihak.
-
Satu suap.
Tatap.
Satu suap lagi.
Tatap lagi.
Kevin menggeram tertahan. Ia ingin pura-pura tak peduli dengan anak kecil berumur sekitar tujuh tahunan yang berada di balik kaca transparan dekat tempatnya makan, tapi ia merasa kerisihan sebab anak itu menatapnya—lebih tepatnya ke arah makanan dan sendokan makanannya—dengan sangat intens. Sendok turun, mata anak itu ikut turun. Sendok naik, mata itu ikut naik. Bagaimana Kevin bisa makan dengan tenang jika diperhatikan sedemikian rupa oleh sang bocah?
Diliriknya sang anak kecil yang menatapnya dengan penuh harapan bak anjing kecil yang minta dibawa di tengah hujan dengan mata bulatnya yang berkaca-kaca. Kevin meniliknya, agaknya jika membawa anak itu masuk rasanya tak akan membuatnya malu. Karena alih-alih terlihat seperti gembel kelaparan, anak ini justru terlihat menggemaskan dengan kulitnya yang putih bersih dan pipi gembilnya yang seperti buah persik. Sangat imut. Sangat indah. Mengingatkannya pada seseorang.
Tidak, jangan pikir Kevin p*****l. Ia hanya kagum dengan bocah di luar restoran yang mungkin tengah tersesat dan kelaparan itu.
Lagipula ia memang menyukai anak-anak, tolong dicatat. Ia tidak p*****l.
Akhirnya lelaki perlente itu berdiri dari duduknya, membuat si lelaki kecil cemberut karena paman yang di dalam restoran justru beranjak pergi, bukannya memanggilnya untuk masuk—padahal dia sudah mengeluarkan jurus sakti sok imutnya.
"Hey, apa yang kau lakukan melihati orang makan seperti itu, Bocah? Tak tahukah bahwa itu sangat tak sopan?"
Anak berjubah cokelat itu tersentak. Matanya melotot melihat paman yang tadinya di dalam malah sekarang sudah berada di sampingnya dengan tubuh menjulang tingginya itu.
"M-maaf, Tuan. Emer lapar." Lelaki tujuh tahun itu menunduk sambil memainkan ujung jubahnya takut-takut. Sebuah kebiasaan yang tak asing bagi seorang Kevin Baldwin.
"Jadi namamu Emer?" tanya Kevin sembari mengacak surai halus Emer pelan. "Kalau begitu, Emer, ayo makan bersamaku."
Mata itu mendongak menatap uluran tangan di depannya, berbinar dengan senyum lebarnya pula. Ia mengangguk bersemangat sambil menyambut tangan besar nan hangat itu. Bergandengan menuju restoran dengan makanan yang ia inginkan.
-
"Lalu, kenapa kau berjalan sendirian begini?" tanya Kevin dengan tangan bersedekap menatap sang anak yang tengah lahap menyantap makanannya yang terhidang apik memenuhi meja.
Emer mengunyah makanannya cepat, menelan stik daging itu dengan susah payah untuk kemudian menjawab, "Aku mengejar kucing putih lucu yang kutemui dekat day care, tanpa sadar aku sudah berjalan terlalu jauh hingga tersesat seperti sekarang. Ayahku pasti sedang panik mencari-cariku."
Sorot anak itu terlihat sedih. Seolah bersalah akan kekhawatiran ayahnya yang bahkan belum ditemuinya itu.
"Kau tahu alamat rumahmu, Emer?" Kevin mulai bertanya, berharap mendapatkan sedikit informasi mengenai tempat anak itu tinggal.
Pria kecil itu mengangguk, ia mengetahui alamatnya tapi tak mengetahui di mana ia sekarang. Maka dari itu, ia merogoh tas ransel cokelatnya dan mengambil buku tulis yang berisikan sedikit biodata dirinya yang tentu saja ada alamat tempat di mana ia tinggal. "Ini alamatku, Paman."
"Oh, namamu Emerald Markley, ya?" Kevin bertanya. Sebenarnya ia juga bertanya dalam hati. Marga Markley membuat ingatannya terlempar jauh kepada seseorang di masa lalunya kembali. "Baiklah, akan kuantar kau ke apartemenmu untuk bertemu ayah dan ibumu."
"Aku tak punya ibu," jawab anak itu santai, ia mengunyah makanannya dengan perlahan, menikmati dessert es krim vanila yang melumer nikmat di mulut kecilnya.
"Ibumu ke mana?" Kevin bertanya lagi. Sedikitnya ia penasaran dengan jawaban Emerald barusan.
"Kenapa Paman ingin tahu?" Alih-alih menjawab, bocah itu malah balik bertanya dengan nada skeptis. Terdengar sangat arogan—yang mana membuat Kevin takjub. Bisa-bisanya anak sekolah dasar atau taman kanak-kanak ini sebegitu pongahnya menjawab pertanyaannya.
Lelaki berumur tiga puluh dua tahun di depan Emer hanya mengangkat bahunya enteng, berusaha untuk terlihat biasa saja. "Hanya bertanya."
-
"Papa! Buka pintunya!" Emer menggedor pintu apartemennya dengan brutal setelah memencet bel beberapa kali namun tiada respons yang didapatkan sama sekali. "Emer sudah pulang!"
"Mungkin ayahmu sedang mencarimu sekarang, Emy," sahut Kevin menunduk guna menatap Emer yang balik menatapnya dengan kernyitan di dahi.
Bocah itu mengerutkan dahinya tak terima. "Namaku Emer, Paman!"
Kevin merotasikan bola matanya malas. "Ya, ya, ya, Emer. Mungkin ayahmu sedang mengelilingi seisi kota agar menemukanmu sekarang."
"Lalu, aku harus bagaimana, Paman? Yang pegang kunci apartemen hanya ayahk—"
"EMER!" teriakan nyaring seketika menggema di sekitaran lorong disertai dengan derap langkah yang cepat menyusul kedua lelaki yang berbeda usia ini.
"Papa?"
"Emer! Emerald-ku, akhirnya kau pulang! Syukurlah Tuhan memberkatimu hingga membawamu kembali ke Papa ...." Pria mungil itu berjongkok guna memeluk buah hatinya seraya mulutnya terus memanjatkan rasa syukur pada Tuhan yang mengembalikan anaknya setelah hilang selama empat jam lamanya.
"Ehem." Kevin berdeham pelan, berusaha menarik atensi ayah dari peranakan Markley ini.
Setelah mendrama dengan menatap anaknya, ia tersadar bahwa mereka tak hanya berdua tatkala melihat sepatu hitam mengkilap di belakang Emer. "Kau pulang dengan siapa?"
"Ah!" Seolah tersadar, Emer langsung mendongak ke arah Kevin. Diikuti dengan sang ayah yang menatap wajah si penolong. "Aku pulang bersama—"
"Kevin?"
"Eren?!"
-
"Bagaimana kabarmu?"
"Kau semakin manis." Bukannya menjawab pertanyaan Eren, Kevin justru menyuarakan pikirannya yang sangat jauh dari ekspektasi Eren. Menatap si androgini dengan tatapan yang tak bisa lepas dari paras Emer senior ini.
Wajah itu merona, agaknya terkejut dengan gombalan dadakan yang Kevin baru saja lontarkan. "Kev?"
"A-ah!" Lelaki menjulang itu tiba-tiba tergagap sendiri. Ia terlalu mengagumi teman lamanya, masa lalunya dan juga ...
... kekasihnya sepuluh tahun lalu.
Bagaimana takdir bisa se-dahsyat ini kepada dirinya dan Eren Markley?