"M-maaf, Eren. Bisa kau ulangi?"
Eren menggeleng-gelengkan kepalanya dan terkekeh pelan, membuat Kevin terhenyak dalam binaran matanya. Karena sungguh, entah kenapa tiap ekspresi yang Eren tampilkan malah ia jadikan sebuah kilas balik ke masa itu. Membuat memori yang ia ingin lupakan bertahun-tahun lamanya malahan kembali dengan hitungan tak sampai satu detik.
Masa-masa lima tahun dua ribu sepuluh ke belakang. Saat kebahagiaannya hingga akhirnya justru direnggut secara paksa karena tekanan dari keluarganya yang mewajibkannya menikah dengan yang sederajat dengan keluarganya. Juga, yang pasti harus perempuan. Mana mungkin menjadi homoseksual diperbolehkan? Mengingat membuat seorang penerus adalah sebuah kewajiban bagi mereka.
"Kau tak berubah," ujar Eren tiba-tiba, menyentak Kevin yang takut Eren memikirkan hal buruk tentangnya setelah sepuluh tahun tak bertemu.
"M-maksudmu, Ren?"
"Kau selalu saja gugup denganku, dasar pria kaku!" olok Eren sembari mendengus geli. "Maaf bila aku galak sekali dulu hingga membuatmu takut padaku. Bahkan sampai sekarang," tawa sang lelaki cantik itu pun berderai. Membuat pria di hadapannya ini panas dingin menatap betapa indah ciptaan Tuhan yang satu ini.
"B-bukan! Bukan seperti itu!" Kevin berseru panik sambil mengibas-ngibaskan tangannya bak orang kesetanan.
"Lalu?"
Sungguh bukan seperti yang Eren pikirkan. Kevin memang selalu gugup dengan Eren, tergagap karena selalu tertangkap basah mengagumi androgini ini. Senyumnya, tawanya, suaranya ... apa pun yang berada di dalam diri Eren, Kevin selalu suka.
Memang, b***k cinta. Apa yang mau dikata?
-
[10 Januari 2005]
"E-Eren! Namaku Kevin Baldwin. Aku menyukaimu! Tolong, terimalah cintaku!" Kevin yang berumur tujuh belas dengan kacamata yang bertengger di hidung bangirnya itu memang tampan, tapi demi Tuhan bahwa Eren benar-benar tak mengenalnya!
Sudah baru kenalan, menembak Eren di depan kelasnya ... sesama laki-laki pula. Tak ada yang lebih memalukan daripada ini bagi seorang Eren Markley.
"Eh? Aha-ahahahaha-ahaha ...." Eren tertawa kering. Ia canggung, sangat. Ia tak tahu harus merespons bagaimana karena ini pertama kalinya ia ditembak laki-laki, salah satu pria yang terkenal pula di sekolahnya!—oh, ini ia mendapatkan bisikan dari sahabat dekatnya barusan. Juga melihat bagaimana para gadis dan para submisif memekik kecewa karena pria kesukaannya justru melabuhkan cintanya pada orang lain. Terlebih lelaki biasa macam Eren.
"Terima saja, Er. Dua populer gay pasti akan sangat keren!" Sebutlah gadis di sampingnya ini Brittany, sahabatnya yang satu ini memang aneh. Seringkali ia menyuruh Eren untuk berpacaran dengan pria dengan alasan tipe wajah Eren yang androgini terlampau cantik.
Ya, androgini. Tampan tapi cantik, katanya.
Eren mendengus jika mengingat hal itu. Bukan keinginannya untuk menjadi pemilik wajah yang sembilan puluh persen menurun dari ibunya dengan bulu mata lentik teduh, bibir tipis, dan hidung mancungnya yang indah. Persis seperti ibunya yang seorang model.
"Maaf, aku ... straight."
Alih-alih menunjukkan kekecewaannya, Kevin muda justru menampilkan wajah penuh ambisinya yang terlihat berapi-api. "Aku tak akan menyerah! Aku akan membuatmu jatuh cinta padaku, Eren. Aku bisa membuktikan itu! Biarkan aku berusaha, oke?"
Eren tertegun dan merasa tertantang. Dengan wajah manisnya, ia menyeringai tipis. "Coba saja kalau bisa, Baldwin."
-
"Kevin, kau melamun!" Dengan kesal Eren menepuk bahu Kevin agak keras karena ia merasa tak dihiraukan oleh si pria jangkung.
"M-maaf!" Minta maaf lagi, Eren sampai memutar bola matanya malas.
"Mungkin kau lelah, Kev," kata Eren. "Sebaiknya kau pulang. Beristirahatlah yang cukup."
"Um ... apa kau mengusirku?"
Tawa indah itu kembali terdengar. "Tidak, aku hanya merasa kau kecapekan sehingga banyak melamun dan kurang fokus. Perbanyaklah istirahat, tidur paling tidak delapan jam saat malam dan minum air putih delapan gelas lebih per hari. Oke?"
Nasihat itu sudah lama tak didengarnya. Lagi-lagi menenggelamkannya pada kilasan saat mereka masih bersama.
"Eren, apakah kau sudah menikah?"
"Eh?"
"Emer ... apakah ia anak kandungmu?"
Eren tersenyum tipis dan mengembuskan napasnya pelan. "Ya ... Emer anak kandungku dan Brittany, sahabat sekaligus mantan istriku."
Kevin tak bisa untuk lebih kaget daripada ini. "Mantan istri? Lalu ... kenapa kalian bercerai?"
"Kenapa kau ingin tahu?"
Sepertu deja vu, Kevin benar-benar percaya kalau Emerald dan Eren adalah sepasang ayah dan anak kandung. Dapat dilihat dari kalimat keduanya yang sama persis—untuk konteks di sini, tentu saja Eren yang lebih menyebalkan karena astaga, bahkan ia sedang serius dan sangat ingin tahu akan detail ceritanya!
"Hanya ... bertanya. Dan sangat ingin dapat jawabannya."
"Aku dan Brittany—"
"Papa, Emer mau s**u," rengek Emer yang tiba-tiba berada di ruang keluarga tempat sang ayah dan paman yang membantunya tadi berbincang. Menginterupsi dengan gerakan linglung seperti zombie. Matanya pun yang setengah terpejam ia usap dengan pelan.
"Oh, kau terbangun lagi. Mimpi buruk, hm?" tanya Eren sambil berdiri menggendong anaknya. Ia menepuk-nepuk b****g Emer pelan. "Sebentar ya, Kev. Aku ke dapur dulu." Dan tanpa menunggu jawaban, Eren meninggalkannya ke dapur yang terlihat dari ruang TV ini.
Tak heran, apartemen ini memang sederhana. Tak terlalu besar dengan hanya ada satu kamar, ruang keluarga, dapur sekaligus ruang makan maupun kamar mandi. Tapi entah kenapa tempat ini sangat nyaman, Eren mendekorasinya dengan sangat baik, pun selalu dibersihkannya setiap hari. Pria cantik itu memang selalu tahu bagaimana membuat orang nyaman.
Kevin menatap punggung kecil Eren dengan kepala Emer yang nongol di perpotongan lehernya, melingkari bahu sang ayah dengan tangan-tangan kecilnya.
Tak berselang lama, Eren kembali duduk di hadapannya dengan Emer yang setengah tertidur dengan botol dot besar yang menempel di mulutnya. "Sampai di mana kita tadi?"
-
"... Ya, Brittany lesbian. Setelah melahirkan Emer, ia meminta bercerai karena ia tak pernah mau memiliki anak. Apalagi kami masih sam-sama muda kala itu. Tapi karenaku ...." Wajah manis itu mendadak murung, pria yang seumuran dengan Kevin itu lantas memilih untuk menunduk. Mengeratkan tubuhnya pada sang anak yang tengah asyik terlelap, mengarungi mimpinya.
"Maafkan aku," sesal Kevin. "Aku menyesal. Sungguh menyesal."
"Ini semua bukan salahmu. Tak perlu menyesal juga, karena setelah semua ini membuat Emer ... Emerald-ku datang ke dunia untuk menemaniku sampai detik ini." Eye smile itu terbentuk sempurna. Itulah titik kemanisan dalam senyuman Eren.
Ah, sudah berapa kali disebutkan bahwa Eren sangat-sangatlah indah dan manis, juga cantik? Lelaki ini terlalu sempurna untuk disebut laki-laki.
"Papa, Emer lapar," adu Emer yang kembali terbangun. Anak itu memang tak bisa tidur jikalau lapar ataupun kehausan.
"Eh!" Eren tersentak saat melihat jam dindingnya telah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Mereka terlalu asyik berbincang, juga dengan Emer yang begitu kelelahan hingga langsung tertidur dengan lelap tadi. "Kalian belum makan malam, ya? Kalian pasti lapar. Kevin, mind to late dinner? Akan kumasakkan sesuatu untuk kalian."
Yang diajak bicara hanya mengangguk. Sebenarnya Kevin tak lapar, hanya saja rasanya ia masih betah di sini. Ia masih ingin mengobrol sembari bersitatap dengan Eren. Ia ingin tahu bagaimana kisah hidup Eren setelah sepuluh tahun tak bertemu. "Kurasa aku juga lapar. Aku mendadak ingin bernostalgia dengan masakanmu, apakah masih seenak dulu? Hahaha."
Eren yang sedang berjalan menuju dapur langsung membalikkan tubuhnya dan memicingkan matanya tak terima, "Hey, jangan menghinaku! Aku sangat mahir, tahu!"
Kevin tertawa, humor mereka selalu sama. Receh.
Eren mencebikkan bibirnya—hoi, apakah ini sikap dari bapak satu anak?—dan berjalan melanjutkan perjalanannya menuju dapur bersama dengan Emer si bocah tujuh tahun di gendongan.
"Emer, bisa turun dulu? Duduklah di meja makan, papa mau masak."
Kaki anak itu menggeliat merajuk. Ia kembali merengek enggan diturunkan.
"Kalau Emer tidak turun nanti Emer kena minyak panas," lanjut Eren yang masih ditolak Emer. Anak itu kalau mengantuk dan lapar memang agak keras kepala, persis seperti dirinya di kala kecil dulu.
"Sini, Emer biar denganku," tawar Kevin yang tiba-tiba sudah berada di balik punggung Eren. Begitu dekat sampai Eren dapat mencium aroma memabukkan dari tubuh lelaki itu.
"Tak per—"
"Paman~" Emer langsung merentangkan tangannya ke arah Kevin, membuat Eren merasa tak enak akan kelakuan anak semata wayangnya itu. Sedikitnya Eren heran, sejak kapan anaknya dekat dengan Kevin yang masih orang asing baginya? Emer tak pernah mau digendong oleh orang lain selain dirinya. Tapi, lihatlah sekarang sang anak justru menyamankan dirinya dalam dekapan orang lain.
Emer memosisikan dirinya dengan baik di rengkuhan Kevin, semakin menghangatkan dirinya dari perpotongan leher Kevin yang lebih hangat serta dadanya yang lebih luas dan keras berisi—tak seperti papanya yang jika posisinya tak pas, maka kepalanya akan bersinggungan dengan tulang selangka Eren.
Sedikit informasi, sebenarnya Emer hanya tetap ingin digendong, namun ia tak ingin tubuhnya terkena cipratan minyak panas seperti yang ayahnya katakan. Maka dari itu ia mau-mau saja digendong oleh orang lain untuk kali ini—atau lain kali boleh juga, atau seterusnya? d**a paman ini sudah ia cap sebagai hak miliknya karena sangat-sangat nyaman.
-
"Masakanmu tak berubah, tetap enak seperti dulu," puji Kevin.
"Papaku memang sangat pintar memasak," timpal Emer sambil mengunyah ayam gorengnya dengan bersemangat. "Apalagi jika bikin nasi goreng polong. Waaaah, enak sekali!"
Keduanya bahu orang dewasa menegang.
Bagaimana mereka bisa lupa akan hal kecil itu? Nasi goreng yang dicampur kacang polong adalah makanan kesukaan Kevin. Masakan andalan Eren yang sangat Kevin sukai.
"Aha-ahahahaha-haha." Eren tertawa garing, berusaha mencairkan suasana yang mendadak kaku di antara para lelaki dewasa. "Emer memang menyukai nasi goreng—"
"Iya, nasi goreng kacang polong pakai kecap sedikit, ayamnya disuwir sama telur mata sapi di atasnya! Nyammm, besok bikinkan Emer untuk sarapan ya, Pa!"
Sebenarnya ini anak Eren atau Kevin? Kok makanan dan rincian kesukaannya sama?
"Paman juga menyukai itu, Emer," kata Kevin sambil mengelus rambut Emer yang di sampingnya, namun matanya melirik Eren sembari menyeringai tipis. Membuat Eren tergugu canggung dan menundukkan kepalanya memalu.
Sialan.