"Semalam kau pulang jam berapa?" tanya Sharon, istri Kevin yang sedang memotong bahan sayuran di counter dapur.
"Lupa," jawab Kevin sekenanya. Nyatanya setelah hampir sepuluh tahun lamanya bersama, mereka tetaplah orang asing dalam rumah tangga keduanya. Rumah tangga yang terasa seperti neraka bagi seorang Kevin Baldwin.
Terdengar kejam, namun itulah adanya.
"Kemarin aku ikut program kehamilan—"
"Ya, ya, ya, aku tahu. Urusi saja program kehamilanmu itu. Aku mau berangkat," sela Kevin dengan cuek. Ia malas mendengarkan suara istrinya itu. Karena sungguh, ia tak mau tahu. Ia hanya menginginkan anak dari wanita yang telah bersamanya selama satu dekade itu.
"Kau tak ingin sarapan?" tanya perempuan cantik itu sambil melirik jam yang menempel di dinding rumah mereka. "Masih terlalu pagi untuk pergi bekerja. Duduklah dulu, kita sarapan bersama-sama."
"Tidak," Kevin langsung menolak diiringi wajah datarnya, "aku ingin sarapan dengan temanku."
"Siapa?"
"Kenapa kau ingin tahu?" Sial, kalimat itu langsung dicuri oleh Kevin dari sepasang ayah dan anak Markley itu.
"Karena aku istrimu," respons Sharon dengan dahi mengerut. Ia tak menyukai kalimat yang Kevin lontarkan, terkesan tidak sopan dan tentu saja, ia berhak bertanya. Karena demi Tuhan! Sharon adalah istrinya. "Aku berhak bertanya dengan siapa suamiku pergi."
"Itu bukan urusanmu," ketus si kepala rumah tangga. "Aku akan pergi. Tak perlu menungguku pulang. Lalu, jangan menerorku dengan telepon-telepon bodohmu seperti semalam."
Dan Kevin pun berlalu, meninggalkan Sharon yang meremas dadanya pelan. Kesakitan dari dalam.
-
"Eh? Kevin?" Eren mengerutkan dahinya bingung ketika pagi-pagi sekali Kevin sudah memencet bel apartemennya, bertamu entah untuk apa. "Masuklah sini."
Dengan senyum tipisnya Kevin berjalan masuk, "Di mana Emer?" tanyanya sambil menatap wajah Eren yang sudah menawan bukan main, bahkan dengan wajah bangun tidurnya.
"Emer belum bangun," tukas lelaki mungil tersebut. "Untuk apa kau datang pagi-pagi sekali? Bahkan kau datang sebelum Emer bangun."
"Hanya berkunjung."
"Pasti kau ingin sarapan 'kan? Apalagi Emer semalam berkata bahwa ia ingin nasi goreng kesukaan kalian. Hahaha," tawa itu memasuki pendengaran Kevin pelan, menulari dirinya hingga timbul menjadi senyuman lebar yang tak dapat ia sembunyikan.
"Kau memang sangat mengetahui aku."
"Baiklah, aku akan memasak dulu. Kau tunggulah di meja makan," titahnya lembut.
Si pria tinggi itu lantas menurut, ia langsung terduduk dengan anteng. Mengamati punggung kecil Eren dalam diam, menahan diri ingin melingkarkan tangannya pada pinggang ramping itu. Ia sangat-sangat ingin mendekap Eren Markley.
Pikirannya kembali terlempar pada sepuluh tahun lalu, ketika ia tak perlu berpikir seperti sekarang untuk memeluk Eren, bahkan untuk menciumnya sekali pun.
"Aku ada buah pisang. Ingin jus pisang?" tanya Eren yang sedang berjongkok di depan lemari esnya, meniti bahan lain yang ingin ia ambil.
"Kalau kau tak keberatan." Kevin masih senantiasa mengikuti pergerakan Eren yang sibuk berkutat dengan masakannya di konter dapur. "Emer tak kau bangunkan?"
"Oh? Apa ini sudah pukul tujuh?"
Kevin melihat arlojinya dan berkata, "Ya, tujuh lewat tujuh menit."
"Astaga! Sebentar, akan kubangunkan dulu anak itu—"
"Biar aku saja!" Pria berjas itu menahan lelaki yang menggunakan apron cokelat polosnya. Ia memegang pergelangan Eren lembut hingga mata keduanya bersibobrok intens. "Ah, maaf," sesal—tak benar-benar menyesal—Kevin sambil melepas posisi tangannya yang dilihati oleh Eren.
"Iya, tak apa." Eren mengusap tengkuknya salah tingkah. "Um ... kau tak keberatan membangunkan Emer? Aku ... akan melanjutkan masakanku. Ya, aku akan melanjutkannya. Hahaha."
Kevin mengangguk mantap dan meninggalkan Emer, berjalan menuju satu-satunya pintu—selain pintu keluar—yang berada dekat ruang keluarga.
"Sial, jantungku," keluh Eren sambil menyentuh dadanya pelan. Ia menggelengkan kepalanya, meniup ibu jarinya agar detakan keras itu kembali berubah menjadi detakan normal. "Tolong, jangan lagi."
-
Saat memasuki kamar Eren dan Emer, indra penciumannya langsung dimanjakan oleh aroma tubuh Eren dan bau pengharum ruangan beraroma citrus. Sangat Eren sekali, tak pernah berubah.
Matanya langsung tertuju pada ranjang berukuran lumayan besar yang terdapat gundukan di dalam selimut di tengah-tengahnya, sudah pasti itu Emer yang tertidur dengan pulasnya.
Kevin langsung mendekat. Ia menarik selimut Emer dan mengguncang bahu bocah meringkuk itu pelan, "Hey, Emer! Bangun!"
"Papa, Emer masih mengantuk," rengeknya dengan mata terpejam.
"Ayo bangunlah, anak kecil!"
"Lima menit lagi," mintanya. "Papa tidur lagi saja bersama Emer." Dan tangan kecil itu menarik leher Kevin, memeluk pria tiga puluh dua tahun itu dengan erat. Memaksa si terduga Eren untuk kembali tertidur bersamanya.
"Tapi ada syaratnya ...." Kemudian, lelaki itu berbisik pelan.
Emer yang mengantuk hanya bisa mengangguk dan menyembunyikan kepalanya di bahu Kevin nyaman.
Pria yang tanpa sadar Emer panggil 'papa' itu pun mengembuskan napasnya pelan. Ia pasrah menunggui Emer sampai lima menit ke depan.
Tapi karena bosan tak melakukan apa-apa, pun dengan kehangatan yang bocah ini berikan, juga dengan aroma citrus yang menenangkan membuat mata keturunan Baldwin ini ikut memberat. Tanpa sadar ia terpejam, bersamaan dengan tubuh kecil Emer yang senantiasa merengkuhnya guna mencari kehangatan.
Di sisi lain, Eren yang sudah selesai masak itu terheran-heran melihat pintu kamarnya yang tertutup rapat, pun hening-hening saja tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali.
Ini sudah pukul tujuh dua puluh satu, tapi mengapa suara anaknya itu belum terdengar? Maka, Emer senior itu pun berjalan ke kamarnya guna memastikan.
Dan benar saja, Eren langsung menggelengkan kepalanya pelan, tangannya langsung berkacak pinggang dengan spatula yang ia bawa, melihat dua laki-laki beda umur itu justru sama-sama terlelap dengan nikmatnya di Rabu pagi ini seperti tak ada hal yang perlu mereka lakukan.
Eren berjalan mendekat, menyibak selimut itu dengan kasar. "Emer! Kevin! Ini sudah siang, astaga! Kenapa kalian tak bangun juga?!" sentaknya sambil menggoncang bahu keduanya brutal. Yang mana membuat kesan garang pada wajah Eren langsung tercetak.
Ia tak habis pikir mengapa Kevin yang ia suruh membangunkan Emer justru ikut tertidur di samping anaknya? Bisa-bisanya.
"Papa, tunggu lima menit."
"Astaga, Eren. Izinkan aku tidur sebentar lagi."
Tunggu, mengapa mereka sama-sama merengek padanya? Oke, baiklah Emer masih tujuh tahun. Tapi ... Kevin bahkan sudah tiga puluh dua, astaga.
Masih pantaskah pria seumurannya itu merengek padanya?
"Jika kuhitung sampai tak bangun juga, aku akan menyiram kalian berdua. Satu!"
"Dua!"
"Iya, Papa-ku sayang!" jerit Emer dan Kevin—Kevin terkejut dengan jeritan Emer di telinganya, ia jadi ikutan latah menyebut Eren 'papa-ku sayang'. Sedangkan Emer yang tak ambil pusing langsung berlari ngeloyor keluar kamar, berlari ke kamar mandi apartemen mereka.
Eren merasakan wajahnya memanas. Apa-apaan dengan ucapan Kevin? Maka untuk menutupi wajah memerahnya, ia pun pura-pura sewot, "Sejak kapan aku menikah dengan ibumu, hah?!"
Kevin terkekeh malu. Ia langsung menggaruk kepala belakangnya yang tak gatal, hanya mengurangi kegugupan. "A-apa sarapan sudah siap?" alihnya.
Pria mungil tersebut menganggukkan kepalanya. "Ya, ayo sarapan dulu."
Kedua pria berumur sama itu pun berjalan beriringan ke meja makan, terduduk dengan manis menunggui Emer yang masih membersihkan badan.
"Emer, cepat mandinya! Nanti kau tak sempat sarapan."
"Iya, ini sudah berpakaian," sahut Emer dari dalam.
"Hey, bukankah itu terlalu cepat?!" protes Eren. "Mandi yang benar, Emer."
"Ih, tadi suruh cepat. Giliran cepat, dimarahi juga." Emer mendumal pelan sambil berpakaian di kamar mandi apartemen mereka.
Anak tujuh tahun itu langsung keluar dari kamar mandi setelah mengancingkan kemejanya dengan baik. "Papa, Emer lapar."
"Kau mandi dengan benar?" Eren menilik anak itu dari atas ke bawah.
Bocah itu mendengus, "... Tentu saja."
"Baiklah. Sini duduk di samping papa, kita sarapan bersama. Lalu kita berangkat ke sekolah, oke?"
"Nanti aku akan mengantar kalian," ujar Kevin ketika Emer sudah duduk dan menyantap sarapannya, begitu pula dengan Eren dan dirinya sendiri.
Eren seperti ada tanda-tanda ingin menolak, tapi tak enak. Jadi ia berusaha mencari-cari alasan. "Aku mau ke kantor pos dulu."
"Akan kuantar."
"Aku juga mau ke swalayan."
"Tak apa, tetap kuantarkan," sahut Kevin lagi, yang mana membuat Eren sebal setengah mati.
"Memang kau tak terlambat ke kantor? Kau masuk jam berapa memangnya?"
"Setengah delapan."
Mata Eren seketika membulat sambil melihat jam tangannya. "Astaga! Bahkan sekarang sudah setengah delapan lebih sepuluh!"
"Tak apa, aku kan bosnya," jawab Kevin santai.
Sialan.
"Tapi ...."
"Sudahlah, Papa. Daddy kan bosnya. Lagipula kita akan terlam—"
"Tunggu, kau bilang apa?" potong Eren menatap anaknya tak percaya.
"Kita akan terlambat?"
"Bukan, sebelumnya."
"Daddy ... adalah bosnya?"
Lagi, ayahnya menatap sang anak tak percaya. "Kau memanggil Paman Kevin dengan sebutan daddy?"
"Iya, katanya Paman Kevin adalah daddy-ku, Papa," ungkap Emer polos. "Ya 'kan, Dad?"