We Have Each Other's Lives

1011 Words
"Mengapa kau mengajari Emer untuk memanggilmu seperti itu?" Eren mulai menginterogasi Kevin setelah mengantar Emerald ke sekolahnya. "Memanggil seperti apa?" "D-daddy?" cicit Eren malu sendiri. Sungguh, ia sangat geli ketika kata itu keluar dari bibirnya. "Yes, baby?" Sialan, Kevin! Eren hanya mencontohkan, untuk apa lelaki itu menyahut dengan kata yang tak kalah menggelikan pula? Eren berdecak dan menatap Kevin dengan jengkel. "Jawab saja pertanyaanku, Kevin!" Kevin terkekeh. Ia senang menggoda Eren, karena respons pria kecil itu sangat menghiburnya. "Tak apa. Dipanggil paman aku merasa tua—" "Lalu jika tak ingin terasa tua, mengapa kau tak minta dipanggil kakak saja ketimbang meminta dipanggil daddy?!" omel Eren sambil berkacak pinggang sok galak. "Memang kau siapanya? Aku hanyalah ayahnya satu-satunya asal kau tahu." "Kau papanya, aku daddy-nya." "Apa-apaan itu!" Eren memaki tak terima. "Aku papanya, ayahnya, daddy-nya. Kau bahkan hanya orang asing!" "Aku bukan orang asing bagi Emer, bahkan kau!" Kevin yang tadinya hanya berniat menggoda Eren mendadak emosi dikatai orang asing. "Kau orang asing! Oke, aku mengenalmu dulu, tapi sekarang bahkan aku tak mengenalmu. Emer pun baru kau temui kurang dari dua puluh empat jam! Tolong jangan sok dekat dengan kami, Tuan Baldwin!" Kevin menepikan mobilnya. Dengan menekan amarahnya ia berkata dengan suaranya yang berat. "Kau mengenalku. Aku mengenalmu. Demi Tuhan, kita sepasang kekasih!" "Mantan," koreksi Eren dengan nada dinginnya. "Kau hanya masa laluku, Kevin. Tolong, berhenti. Kita tak bisa kembali dan aku tak ingin kita dekat seperti dulu lagi. Anggap saja kita hanya dua orang teman lama, yang bertemu dengan keadaan saling asing karena memang kita tak benar-benar saling mengenal." "Tidak akan," balas Kevin keras kepala, menatap Kevin dengan raut memaksa. "Aku ingin kita seperti dulu lagi. Berjalan bersama tanpa khawatir akan apa pun. Ayo, kita berpacaran kembali, Eren." "Kau bahkan sudah beristri, sialan!" pekik Eren dengan keras. Ia benar-benar sakit kepala memikirkan ucapan Kevin barusan. Rasanya pria ini sudah gila, karena ... ya ampun! Mereka bahkan baru bertemu semalam! "Kau benar-benar sudah gila!" Dan mereka merasakan atmosfer kian memanas hingga membakar keduanya dengan amarah. Membuat kepala mereka rasanya nyaris pecah. "Iya, aku gila karenamu!" bentak Kevin hingga Eren terlonjak di duduknya. "Hampir sepuluh tahun aku berusaha melupakanmu, tapi wajah cantikmu terus saja datang ke pikiranku! Dan sialan kau, Eren! Kau justru semakin cantik ketika kita bertemu dan dengan mudahnya aku kembali jatuh cinta padamu. Kau menghilang setelah aku dinikahkan dengan Sharon, kau tak tahu betapa frustrasinya aku mencarimu?!" Dengan terengah, Kevin menenggelamkan wajahnya di balik kemudi. Ia lega mengeluarkan emosinya selama ini. Tak ada yang mengetahui hal ini selain dirinya sendiri. "K-Kevin, kau ...." Seperti banyak hal yang berkecamuk di pikiran Eren, tapi tak ada satu pun hal yang bisa ia lontarkan. Ia tak bisa berkata-kata lagi. "Tak tahukah kau bahwa aku sakit ketika tahu kau sudah memiliki anak setelah lama tak bertemu?" "Kau pikir aku tak sakit melihatmu di menikah dengan orang lain?!" Emosi Eren ikut tersulut. Ia juga ingin dimengerti kalau ia sama lelahnya dengan apa yang Kevin curahkan dari tadi. "Kau tak tahu saking depresinya aku melihatmu menikahi perempuan itu hingga aku mabuk dan menghamili Brittany! Kau tak tahu 'kan?!" raung Eren dengan air matanya yang mengalir deras. "A-apa?" "Aku akan turun," final Eren dingin sehabis menyeka air matanya dengan kasar. Begitu ia hendak menyentuh pembuka pintu mobil, tubuhnya sudah disentak menghadap Kevin. "T-tunggu!" cegah Kevin. "Lepaskan, b*****h! Aku mau turun!" Eren memberontak sekuat tenaganya. Sialnya, ia baru saja menghabiskan separuh kekuatannya untuk menangis tadi. Kevin agak kelabakan karena serangan berantakan dari Eren yang minta dilepaskan. Oleh karena itu, Kevin langsung mengaktifkan kunci semua pintu mobil dari tombol di sampingnya dan melepas pegangannya pada tangan Eren. "Sialan! Apa sebenarnya maumu?!" jerit Eren yang sekarang tak bisa keluar dari mobil Kevin. "Jadi ... kau menikahi Brittany karena menghamilinya dan ... itu semua karena aku?" Eren membuang pandangannya ke jendela, mulutnya memilih untuk bungkam. Enggan untuk menceritakan. "Jawab, Eren," peringat Kevin dengan nada mengintimidasinya. "Kau mau mengantarkan aku ke kantor atau tidak?" Eren berujar dengan nadanya yang dingin, enggan menjawab pertanyaan Kevin. Sebenarnya itu sudah jelas, tapi mengapa pria ini masih meminta pengulangan? "Jika tidak, aku akan turun. Aku tidak ingin telat." Kevin membuang napasnya kesal. "Akan kuantarkan." Dan Kevin pun langsung tancap gas dengan kecepatan di atas rata-rata, siapa tahu emosinya dapat sedikit mereda. - "Kau pulang jam berapa? Nanti akan kujem—" "Tak perlu, aku bisa pulang sendiri," potong Eren tanpa repot-repot menoleh menghadap Kevin. "Dan jangan kau temui aku maupun Emer lagi." Cukup sudah! Dengan sedikit kasar, Kevin menarik lengan Eren yang mau beranjak keluar dari mobilnya hingga pria kecil itu kembali terduduk di jok sambil meringis pelan. "Lepaskan aku, Kevin!" "Tidak, sampai kau mencabut omonganmu." "Omongan apa yang kau maksud?" Dahinya berkerut tak senang, ia memegang pergelangan Kevin agar cepat dilepaskan. "Aku akan tetap menemuimu dan Emer. Apa pun yang terjadi." Lagi-lagi sifat ambisius si pemaksa ini keluar kembali. Lelaki ini memang tak pernah berubah, dari dulu sampai sekarang pun terasa sama. "Kau bahkan sudah berkeluarga! Cukup jalani hidup kita masing-masing, Kevin!" Mata Eren berkaca-kaca antara menahan sakit di lengannya atau sakit di hatinya. "Lepaskan aku. Kau egois!" "Persetan!" Salahkan saja Eren yang terus menguji emosinya. Kevin sedikitnya berubah temperamental semenjak masalah-masalah dan sakit hati yang orang tuanya torehkan sejak dulu. Orang berubah karena rasa sakit itu benar-benar nyata adanya. Maka dengan segala sifat otoriternya, Kevin menarik Eren semakin dekat, pegangannya pun mengencang. Ia menatap wajah sembab Eren, menyelami mata kebiruan yang menatapnya penuh ketakutan itu. "Kau tahu aku selalu mencintaimu, 'kan?" Eren berkedip lemah hingga air mata itu kembali meluncur dengan bebas. Pria mungil itu menggigit bibirnya agar isakan itu tak keluar. "Kau masih mencintaiku kan, Eren?" Mata itu terpejam. Ia menggelengkan kepalanya pelan. "T-tidak." "Tatap mataku, Eren." "Tak akan!" Maka selanjutnya yang Eren rasakan adalah bibirnya yang dilumat secara menuntut, menghisap bibirnya kasar hingga tubuhnya semakin melemas. "Uh!" lenguhnya ketika merasakan perih pada bibirnya yang digigit keras, memercikkan darah yang membuat ciuman Kevin terasa anyir memenuhi rongga mulutnya kecilnya. Tangisnya semakin deras merasakan sakit di bibirnya dan juga di lengannya—atau mungkin hatinya? Ia tak tahu. Kevin berubah, tak seperti Kevin-nya yang ia kenal dulu. Lelaki ini hampir berubah menjadi semakin menjadi-jadi menyebalkannya. Ia juga merasakan sakit akan respons tubuhnya yang justru melemah akan segala perlakuan yang Kevin berikan. Jika iya Kevin telah berubah, namun mengapa hatinya masih terasa sama?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD