Bab 1
“Pelan-pelan, Michael!”
Seorang wanita bernama lengkap Arabella Beatrice, harus menahan rasa perih di antara kenikmatan yang tengah ia rasakan saat ini. Pria itu—Michael Alexander, terus bergerak seperti orang kesetanan.
Suara derit ranjang menjadi saksi betapa gilanya permainan mereka berdua. Tapi tentu saja, Michael yang lebih mendominasi kegiatan panas malam ini.
“Tapi nikmat, dan kau menyukainya, kan?
+++
Beberapa bulan sebelumnya,
Jemari lentik seorang wanita yang bernama Arabella Beatrice itu, tengah menari-nari di atas d**a bidang sang suami, yang saat ini sedang berbaring di sampingnya.
Tidak lupa juga bisikan menggoda untuk sang suami—Julian Christoper, juga ia lantunkan. Malam ini, Bella benar-benar tampil sangat menggoda. Berbeda dari malam-malam sebelumnya, wanita itu sengaja mengenakan pakaian dinasnya yang berwarna merah maroon. Bahkan sebelumnya sudah sempat menyemprotkan parfum ke beberapa titik di tubuhnya, guna untuk merayu dan menarik perhatian sang suami. Namun, Julian terlihat tidak peduli sejak tadi.
“Sayang, aku ingin—”
“Singkirkan tanganmu itu! Aku sangat lelah, Bella. Aku ingin tidur,” sela Julian, dalam keadaan kedua matanya yang masih terpejam.
Wanita berusia 28 tahun itu mendengus, namun masih belum mau menyerah. Ia akan terus mencoba merayu suaminya, sebab Bella sudah menunggu momen ini. Rasanya tidak pernah puas jika miliknya hanya dipermainkan dengan jari saja.
Puan itu kembali membelai lembut sisi wajah sang suami. Saat tak ada penolakan, belaian Bella pun semakin turun pada d**a bidangnya. Kemudian menjalar sampai ke bawah. Tepat saat telapak tangannya menyentuh sesuatu dibalik celana pendek pria itu, tiba-tiba saja tangan Bella ditepis.
Lagi dan lagi, setiap kali Bella ingin menyentuh dan memberikan service terbaiknya, Julian akan menghalangi. Bahkan melarangnya untuk disentuh.
“Apa yang salah? Kenapa kau jadi kasar begini?” tanya Arabella dengan wajah yang sudah merah padam, karena menahan rasa kesal.
“Aku sudah beritahu tadi kan untuk berhenti?! Aku benar-benar sedang tidak ingin, Bella! Aku lelah sekali. Baru juga sampai di rumah, setelah melakukan perjalanan bisnis selama 3 minggu. Harusnya kau tahu betapa lelahnya aku!”
“Kau sudah sampai sejak 5 jam yang lalu, Julian. Memangnya tidak cukup waktu istirahat selama itu? Lagi pula, waktu 3 minggu itu lumayan lama. Memangnya kau tidak ingin bermesraan dan bercinta denganku? Kau tidak rindu padaku, Lian?”
Julian mendecih, lalu lekas menyahut, “baru juga 3 minggu, tapi kau ribut begini?”
“Tapi ini bukan soal waktu 3 minggunya, Lian. Apa kau tidak sadar jika sudah setengah tahun, kita berdua tidak pernah melakukan yang seharusnya dilakukan oleh suami istri?”
Pernikahan mereka terhitung sudah berjalan selama 2 tahun. Dari awal pernikahan, Bella tidak pernah kekurangan yang namanya perhatian, kasih sayang, dan juga nafkah batin. Bahkan saat berpacaran selama setahun pun, Bella tidak pernah merasa diacuhkan sama sekali oleh Julian.
Namun, dimulai dari 6 bulan yang lalu, Arabella merasa ada yang berbeda dari sang suami. Julian seperti orang yang sangat sulit untuk digoda. Saat itu, Bella pikir sang suami hanya sedang tidak ingin dan lelah saja. Tapi alasan tersebut justru disebut terus, tiap kali ia menginginkan apa yang seharusnya ia dapatkan.
Apa salahnya jika istri yang meminta duluan? Toh ini juga termasuk hak yang harus seorang istri dapatkan, bukan?
“Bella, tapi aku juga sering membantumu untuk mendapatkan puncak, kan? Memangnya hanya dengan jari saja tidak cukup bagimu?”
“Yakin kau bertanya begitu, Lian? Jelas tidak cukup. Kau pikir aku bisa merasakan kepuasan yang aku inginkan? Kenapa juga kau begini? Sebelumnya kau tidak pernah tahan jika sehari tidak melakukannya denganku. Lalu kenapa sekarang kau seperti malas-malasan begini? Apa aku tidak menarik lagi untukmu? Aku bahkan sudah merias wajahku, memakai gaun tidur yang paling kau suka, tapi masih saja tertolak? Apa aku benar-benar tidak menarik di matamu, Lian? Aku bahkan sudah cukup sabar selama 6 bulan ini. Mengalah dan memilih diam saat kau menolak untuk berhubungan, dengan alasan kau lelah. Tapi sekarang, kenapa alasan itu terus yang kau kedepankan?”
Julian menghela napas panjang. Pria itu terlihat seperti sedang berpikir sesuatu, lalu beberapa detik kemudian ia menyibak selimutnya sedikit kasar.
“Lian—”
“Ya sudah ayo lakukan,” sela pria itu. “Aku benar-benar tidak suka jika kau berpikir aku tidak tertarik sama sekali padamu. Ayo lakukan jika kau terus meminta,”
Sebenarnya Bella agak kesal mendengar kalimat terakhir yang keluar dari mulut Julian. Tapi karena ia sudah kepalang ingin, maka ia tak mendebatnya. Lagi pula, ini merupakan kesempatan yang baik untuk kembali merajut cinta seperti sebelum-sebelumnya.
Tanpa menunggu perintah dari sang suami, Bella dengan cepat kembali melancarkan aksinya. Mungkin sekitar 5 menit melakukan pemanasan, Bella mulai memposisikan diri berada di atas. Julian yang mengerti dengan maksud sang istri sontak mencegahnya.
“Bukankah sudah cukup pemanasannya? Langsung ke intinya saja. Kita lakukan sekarang, Bel.”
“Tapi Lian, aku juga ingin kau memua—”
“Kau ingin aku berubah pikiran lagi?” sela Julian dengan cepat.
“Jangan egois, Lian. Aku juga ingin kau—”
“Astaga Bella, kau benar-benar membuatku jadi tidak nafsu sama sekali. Sudahlah,” Julian sedikit mendorong tubuh Arabella, agar wanita itu menyingkir dari atas tubuhnya. “Memang sudah benar jika kita tidak melakukan apapun. Sudah, jangan ganggu aku. Aku ingin tidur dengan tenang malam ini.”
Malam itu menjadi titik paling menyakitkan bagi Arabella Beatrice. Dalam diam, ia menatap punggung suaminya yang sudah memunggunginya dan tertidur tanpa sedikit pun rasa bersalah. Matanya memanas, bukan karena ingin menangis semata, tetapi karena amarah dan kecewa yang sudah terlalu lama ia kubur.
Ia berusaha, Tuhan tahu seberapa besar usahanya. Bella bukan istri yang egois. Ia mengerti Julian bekerja keras. Tapi sampai kapan ia harus terus menjadi wanita yang memohon untuk diperhatikan, untuk disentuh, untuk dicintai?
Tangannya mengepal di balik selimut. Nafasnya tercekat. Ia ingin menjerit, tapi ia tahu itu hanya akan menjadi bahan pertengkaran baru yang akan membuat Julian semakin membencinya.
Sudah enam bulan. Tanpa cinta, tanpa pelukan hangat, dan tanpa gairah. Hanya sikap dingin dan juga penolakan.
Dan kini, Julian bahkan memperlakukannya seperti beban. Seperti benda yang harus disingkirkan ketika mengganggu kenyamanan pribadinya.
Malam itu, Bella bangkit perlahan dari tempat tidur. Kakinya bergetar, tubuhnya gemetar karena emosi yang ditahan. Ia hanya memakai lingerie tipis, tapi tidak peduli. Ia membuka pintu kamar perlahan, meninggalkan Julian yang bahkan tak menyadari kepergiannya.
Di ruang tamu, Bella duduk sendirian, membiarkan dingin malam menyelimuti tubuhnya. Hanya cahaya temaram lampu lantai yang menyorot tubuhnya yang terlihat begitu rapuh. Ia ingin menangis, tapi air matanya seolah membeku.
Hingga ponselnya mendadak berdering. Satu nama muncul di layar ponselnya.
“Nancy?”