bc

Maaf, Boss. Salah Kamar!

book_age18+
269
FOLLOW
1.1K
READ
comedy
sweet
humorous
serious
like
intro-logo
Blurb

"Kamu saya pecat!"

"Salah saya apa ya, Pak?"

"Bisa-bisanya kamu masih nanya salah kamu apa? Kamu kan yang kirim pesan ke saya yang isinya foto wajah saya yang dikasih stiker monyet? Kamu juga jelek-jelekin saya di situ."

"Maaf, Boss! Kemarin kan saya udah bilang kalau saya salah kamar. Maaf, ya, Bos. Plissss maafin, yaaa?"

"Nggak."

Inggit menarik napas dalam-dalam. "Jadi, Bapak mau pecat saya?"

"Iya," sahut Suga lantang.

"Kalau Bapak pecat saya, saya akan buka aib Bapak ke semua orang di muka bumi ini."

"Apa? Aib? Aib maksudnya?"

Inggit menyeringai dan dia segera mengeluarkan ponselnya.

chap-preview
Free preview
1. Pertama bertemu
“Aku mau putus.” Senyum yang tadi merekah bak bunga kuburan yang sedang mekar, seketika layu seperti baru disiram air mendidih. Inggit berkedip sebanyak dua kali, lantas bertanya, “Apa?” Pria di depannya itu menghela napas. “Aku mau kita putus, Nggit. Kita udah nggak cocok lagi.” “Nggak cocok lagi gimana?” “Yaaa, kita udah nggak cocok lagi aja. Aku merasa hubungan kita ini udah nggak se… se… se—“ “Se-se, apa? Setann?” “Bukan. Maksud aku, udah nggak seharmonis dulu lagi gitu. Jadi, aku pikir, sebaiknya kita putus aja. Oke?” Gantian Inggit yang mengembuskan napas panjang. “Kok tiba-tiba gini, sih? Kita baik-baik aja loh sebelum ini. Seminggu yang lalu kita masih jalan bareng loh. Masih nonton, masih makan malam, masih panggil-panggil ayang. Tapi, kenapa kok sekarang kamu minta putus? Kenapa?” Pria bernama Dera itu tampak kelabakan menjawab pertanyaan Inggit. “Kayaknya… kita lebih baik temenan aja. Aku nggak bisa lanjutin hubungan ini. Gimana menurut kamu?” “Bentar deh. Kamu tuh lagi cari lahan buat bercocok tanam, ya?” “Hah? Lahan? Bercocok tanam? Gimana maksudnya? Nggak ngerti.” “Kita udah setahun pacaran tapi kamu emang belum bisa bercocok tanam di lahan aku, karena lahanku emang belum bisa dipakai buat bercocok tanam sebelum dapat sertifikat halalnya. Jadi, sekarang kamu mau cari lahan baru gitu. Iya, kan?” “Sori, Nggit, aku nggak ngerti maksud kamu.” “Kamu mau cari cewek yang bisa kamu tidurin kalo kamu lagi kepengen anu, iya, kan? Soalnya selama ini, jangankan buat grepe-grepe aku, buat pegang tangan aku aja kamu udah ketakutan karena aku langsung kayak kerasukan reog.” “Nggak gitu, Nggit. Aku—“ “Ya udah kalau mau putus. Tapi….” “Tapi apa?” “Balikin baju yang pernah aku kasih. Sekalian sama celana, jaket, sepatu, jam tangan, jam dinding, kompor gas, piring-piring gratisan dari sabun yang sering kubeli, satu set panci, keset kaki, celana dalam, pokoknya semua yang udah pernah aku kasih ke kamu. Aku mau, kamu balikin semuanya." Dera tidak bisa berkata-kata mendengar Inggit menyebut semua daftar benda yang pernah diberikan Inggit untuknya. “Kamu sadar, nggak? Selama ini, hidup kamu aku yang nanggung, loh! Udah sebaik itu tetap aja ya aku masih ada kurangnya di mata kamu?" “Nggit, aku tuh cowok. Terus kamu pikir orang pacaran itu ngapain aja kalau nggak macem-macem sedikit? Masa iya, setahun pacaran kita belum pernah ciuman? Jangankan nyium, mau peluk bentar aja kamu udah kayak kucing kerasukan reog.” “Aku emang nggak kayak cewek-cewek yang lain.” Inggit tertawa mendengus. “Sejujurnya, selama kita pacaran, aku nggak pernah benar-benar sayang sama kamu. Aku tuh cuma kasihan sama kamu. Kamu anak kuliahan dan nggak punya kerjaan. Jadi, niat aku baik mau bantu kamu dengan beliin kamu barang-barang yang emang kamu nggak bisa beli sebelumnya. Kalau kamu berpikir aku cinta mati sama kamu, itu salah. Kalau mau putus ya udah putus aja.” Dera menelan ludah kering. “Aku cuma pengen punya cewek yang normal. Eh, maksud aku, hubungan yang normal, kayak orang pacaran pada umumnya. Jalan bareng tapi gandengan tangan, terus cium pipi sebelum besoknya jumpa lagi, atau pelukan kalau ada momen-momen yang bikin bahagia.” “Itu poinnya.” “Hah?" “Aku nggak bahagia sama kamu. Jadi, aku nggak bisa melakukan itu sama orang yang nggak bikin aku bahagia. So, ya udah, ayo putus! Mulai hari, jangan pernah muncul lagi di hadapan aku, mending kamu balik sana ke hadapan Allah.” Setelah mengatakan itu, Inggit bangkit dari duduknya. “Oh, ya, barang-barang yang tadi kusebutin nggak usah dibalikin deh. Anggap aja sedekah sama orang yang membutuhkan. Bye.” Dera mendesis kesal. Meski merasa direndahkan, tapi dia juga tidak bisa melakukan apa-apa. “Bisa-bisanya gue tahan pacaran sama dia selama setahun. Untung nggak gila. Cantik sih, tapi udahlah galak, suka kambuh reognya. Dasar cewek aneh!” *** Inggit mencakar-cakar dinding di depannya dengan kesal, sampai orang-orang di sekitarnya memperhatikannya dengan pandangan ngeri. Tak sedikit orang yang menghindar saat melewatinya, mengira saat itu dirinya sudah gila. “Cowok kurang ajar! Udah gue kasih semuanya, tetap aja masih nggak bisa setia. Dasar cowok di mana-mana emang b******k! Kurang apa gue jadi cewek?! Sampai biaya cukur rambutnya aja gue yang nanggung!” Dengan kesal, Inggit mengambil bekas minuman kaleng yang kebetulan ada di dekat sana kemudian dilemparkannya ke sembarang arah saking murkanya. Tuh, kan! Reog-nya kumat. Tanpa sepengetahuannya, kaleng bekas itu justru mengenai kepala seorang pria yang sedang melintas di sana. Seketika, pria bertubuh tinggi dengan pandangan setajam mata elang itu mendengus dan menatap sekitar, mencari tahu dari mana asal mulanya kaleng tersebut bisa terbang ke kepalanya. Satu-satunya manusia yang dilihatnya saat itu adalah Inggit. Cewek berambut panjang sepunggung dan bertubuh agak tinggi, perkiraannya sekitar 156 cm. Sambil menggeleng-geleng kesal, pria itu berjalan menghampiri Inggit yang sedang mencakar dinding dan menendang-nendangnya sambil marah-marah. Tiba-tiba, langkah pria itu berhenti, merasa ragu. Inggit seperti orang yang sedang kerasukan setan. Gimana caranya mau minta tanggung jawab kalau pelakunya lagi kayak gitu? Mungkin orang gila kali ya? pikirnya kemudian memilih melewati Inggit sambil melemparkan kaleng bekas itu sembarangan dan tiba-tiba... tuk! Terdengar bunyi yang cukup keras sehingga dia berhenti dan menoleh ke belakang. “Kurang ajar!” Pria itu lekas-lekas bersembunyi di balik pot bunga yang ada di dekat sana sambil menutup mulutnya. Diintipnya Inggit yang sedang mengusap-usap dahinya yang baru saja terkena lemparan kaleng bekas tadi. “Sialan, kok jadi kena kepalanya?” gumam pria itu dengan jantung berdebar. “Mana orangnya lagi kesurupan pula.” “Siapa yang barusan lempar kepala gue pakai kaleng? Siapa, hah?! Sini lo kalo berani maju! Jangan beraninya main belakang doang! Macem-macem lo ya sama gue!” Inggit bertolak pinggang sambil menengok kesana kemari. “Siapa, sih? Ngeselin banget! Udah tau gue lagi kesel, mau gue gigit apa, ya?” Pria di balik pot itu melirik ke kiri dan kanan dengan cemas. Hmmm, begini, ya. Dia memang cowok tulen, tapi… untuk menghadapi orang yang sedang kerasukan setan kayak gitu, jujur dia nggak bisa. Jadi, lebih baik... dia kabur aja! Dengan mengambil langkah seribu, pria itu pun berlari kencang memasuki restoran mewah di depannya, sampai-sampai dia tidak sadar sepatunya terlepas dan ketinggalan di anak tangga. "Woi!!!" seru Inggit ala-ala ketua geng mafia sewaktu dilihatnya pria itu keluar dari balik pot besar yang berada tidak jauh di dekatnya. Inggit lalu mengejarnya, tapi langsung berhenti berlari sewaktu dilihatnya ada sepatu kulit tergeletak di depannya. Inggit kemudian mengambilnya dan menduga kalau itu milik pria tadi. Inggit menatap sepatu tersebut dengan kemurkaan yang tiada tara. “Mahal nih kayaknya,” ucapnya dan tersenyum miring. “Udah ngelempar kepala gue pakai kaleng bekas, terus dia mau kabur gitu aja?” Inggit tertawa mendengus. “Awas aja.” Sementara itu, pria yang tadi dikejarnya langsung menghampiri sebuah meja yang sudah diisi oleh beberapa orang pria. “Selamat malam, Pak Suganda,” ujar salah satunya. Pria bernama lengkap Suganda Alterio itu mengangguk sopan. “Iya, selamat malam. Maaf, ya, saya terlambat." “Kenapa lo? Pucat banget. Sepatu lo satu lagi mana?” tanya pria berwajah campuran arab-indo di sampingnya. Suga menghela napas sebelum menjawab dengan pelan, “Nanti gue ceritain.” *** “Hahahaha!” Suga mendelik kesal mendengar tawa itu meluncur begitu mudahnya dari mulut teman dekat sekaligus rekan kerjanya di kantor bernama Arsen itu. Sesudah makan malam dengan calon investornya tadi dan setelah tinggal mereka berdua di sana, Suga baru mau menceritakan tentang kejadian itu. “Awalnya kan gue yang korban, kenapa sekarang malah jadi tersangka?” ucap Suga lalu mendengus kasar. “Cantik nggak tuh cewek?” tanya Arsen setelah tawanya mereda. Suga mengingat-ingat. “Nggak kelihatan jelas. Agak gelap tadi soalnya.” “Lagian aneh banget deh. Masa iya, seorang Suga takut sama cewek? Hahahaha.” “Gue bukan takut sama dia. Tapi, kayaknya dia lagi kerasukan setan gitu. Kalo lo yang ada di posisi gue, mungkin lo juga sama takutnya kayak gue. Jangan-jangan malah langsung pulang ke rumah.” “Lo tau dari mana kalo dianya kesurupan? Kali aja dia memang lagi badmood, kan? Habis putus cinta mungkin? Atau lagi ada masalah apa gitu? Setahu gue, cewek tuh kalo udah kesel emang suka gitu. Contohnya adek gue, yang biasanya nggak pernah marah, pas putus sama cowoknya, langsung yang kayak garuk-garuk tembok, mukulin samsak sampai copot. Yang ekstrem gitu deh pokoknya.” Suga mengedikkan bahu acuh tak acuh. “Nggak tau juga sih. Ya udahlah lupain aja.” Suga kemudian melirik jam tangannya lalu melihat sekitar. Di restoran itu benar-benar tinggal mereka berdua. “Balik, yuk! Gue juga mau lihat sepatu gue yang tadi ketinggalan di luar.” “Yakin masih di sana?” “Emang ada orang yang mau ngambil sepatu sebelah doang? Kurang kerjaan kalau ada.” *** Baik Suga maupun Arsen, seketika dibuat tercengang dengan sosok perempuan yang sedang duduk di samping pintu resto. Rambutnya yang panjang menutupi seluruh wajahnya dan masing-masing tangannya sedang memegang sesuatu. Di sebelah kiri dia memegang sepatu milik Suga yang tadi ketinggalan di luar, dan yang sebelah kanan, dia memegang kaleng bekas yang menyebabkan insiden ini terjadi. Vibes-nya Inggit saat itu benar-benar horor, persis kayak penunggu tempat angker. Perlahan-lahan, Inggit mengangkat wajahnya yang tertunduk, melirik ke arah kaki Suga yang hanya mengenakan sebelah sepatu, lalu naik sampai mereka saling menatap satu sama lain. Melihat bagaimana cara Inggit menatapnya saat itu, tak bisa dipungkiri kalau jantungnya berdebar kencang dan tubuhnya gemetaran. “Ini cewek yang tadi gue cerita—Sen? Eh, sialan, ke mana tuh anak?” Suga celingukan ke sana kemari tapi dia tidak menemukan Arsen di sana. Kurang ajar! Teman macam apa yang meninggalkan temannya sendirian saat lagi ada musibah gini? Inggit kemudian berdiri lalu mengibaskan rambutnya sehingga Suga bisa melihat wajahnya dengan jelas. Sejenak, Suga tertegun, tak mengira kalau ternyata cewek di depannya ini punya wajah spek bidadari. “Ini sepatu kamu, kan?” Inggit bertanya. Suga mengangguk. “Iya, itu sepatu saya.” “Jadi kamu, yang tadi lempar kaleng ini ke kepala saya?” Suga melirik kaleng tersebut dan mengangguk. “Jadi, sebenarnya gini, kamu duluan yang ngelempar kaleng itu ke kepala saya.” “Jadi, maksudnya, kamu balas dendam sama saya?” “Bukan seperti itu. Saya nggak sengaja buang kaleng itu ke arah kamu.” “Kamu punya mata, kan?” Suga memajukan wajahnya dan mengedip-ngedipkan matanya di depan wajah Inggit. Setelah tahu kalau ternyata Inggit sudah seperti manusia normal, baru Suga berani mengajaknya bicara. “Ini apa namanya kalo bukan mata?” “Terus kalo punya mata, kenapa buang sampah sembarangan? Nggak lihat di sana ada tong sampah?” Suga melihat tong sampah yang ada di tepi jalan kemudian mendengus. “Kamu tadi berdiri di dekat sana, terus kenapa kamu malah buang kaleng itu ke arah saya? Jangan playing victim, ya. Saya yang korban di sini, bukan kamu.” “Playing victim apaan, sih? Saya juga korban tahu di sini!” Suga melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Kejadian tadi terjadi pada pukul sembilan. Kenapa juga Inggit harus menunggunya selama itu hanya untuk mengajaknya berdebat seperti ini? Buang-buang waktu banget. “Korban apa? Korban perasaan? Habis putus cinta, ya, makanya stres?” Inggit menatap garang Suga sebelum akhirnya menginjak kaki Suga yang tidak beralas dengan tumit sepatunya. “Enak aja bilang-bilang orang stres! Rasain tuh, emang enak!” Dengan santainya, Inggit pun melenggang pergi. Tak peduli dengan Suga yang mengeluh kesakitan akibat injakan mautnya tadi. “Udah gila, ya, kamu?!” seru Suga pada Inggit yang kemudian berhenti di ujung tangga. Inggit mengembuskan napas panjang sebelum melemparkan kaleng di tangannya ke arah Suga. Nyaris saja kaleng tersebut mengenai kepalanya. Inggit mencibir dengan kesal, “Enak aja bilangin gue gila. Hari ini kenapa ya kok orang-orang pada ngeselin?" Suga memakai sepatunya dan beranjak dari sana sambil menggerutu. “Jangan sampai gue ketemu lagi sama tuh cewek.”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
190.5K
bc

My Secret Little Wife

read
98.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.0K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook